senirupa

Thursday, October 28, 2010

sejarah di sekolah


Setidaknya inilah beberapa pertanyaan yang membuat saya menemui kesulitan, apalagi pertanyaan itu tidak keluar dari pikiran seorang teman yang sehobi membaca buku sejarah, khususnya sejarah Aceh dengan lika-likunya yang mendebarkan. Beberapa pertanyaan itu bukan sulit dijawab pada dasarnya. Mengingat akhir-akhir ini banyak literature sejarah Aceh yang dengan sangat mudah didapatkan, baik melalui toko buku atau jurnal dari peneliti yang menaruh perhatian kepada kemegahan Aceh di masa lalu.

Yang membuat saya kaget sebagai guru di sekolah dasar di pesisir barat kota Banda Aceh adalah pertanyaan yang saya sebutkan di atas, keluar dari mulut seorang anak yang baru kelas empat. Ceritanya, suatu pagi yang cerah dan udara pantai yang tenang, saya sedang mengajar mata pelajaran Ilmu pengetahuan sosial. Kebetulan pokok bahasannya mengenai peninggalan sejarah di Indonesia, dalam buku penerbit dari Jawa isinya melulu membahas peninggalan kerajaan Jawa seperti Majapahit, Tarumanegara, Pajajaran dan lain sebagainya. Banyak peninggalan kerajaan-kerajaan tersebut itu yang menghiasi setiap lembaran buku IPS kelas empat. Dari prasasti sampai candi-candi.

Setelah membolak-balikkan buku IPS selama 15 menit, saya kebingungan sendiri buat menjelaskan.baik itu bentuk candi dan letaknya secara geografis. Namun, apa jadinya kalau dalam kelas itu merasa asing dengan benda yang bernama candi dan prasasti. Serta daerah-daerah di jawa tempat benda bersejarah itu berada. Kelas semakin riuh karena saya asyik membolak-balikan halaman buku untuk mencari cara bagaimana penyampaian yang efektif dan mudah diterima anak-didik saya. Beberapa anak yang sudah bosan menunggu saya memulai pelajaran nampak berteriak-teriak. Ada yang mengganggu teman sebangku untuk membunuh waktu.

Setelah memutar otak ke sana kemari, lantas saya teringat pada rawa-rawa dan semak-semak di samping kiri dan kanan sekolah saya, ya. Jika anda berada di dua tempat itu, memori anda dengan lancar akan terbawa ke dua era yang berbeda, yang pertama ke a bad-abad di mana Aceh masih berbentuk kerajaan merdeka, dan satunya lagi memori anda akan terbawa pada masa-masa tentara Nippon jepang masih menguasai Aceh di tahun 40-an.

Di samping kiri sekolah tempat saya mengajar, ada beberapa rumah penduduk yang tidak begitu rapat. Beberapa penduduk di situ memelihara ternak, salahsatunya, ayam dan bebek. Persis di belakang kandang bebek dan ayam itulah terdapat beberapa batu nisan berukir dengan aksara Arab yang sudah sangat sulit untuk dikenali karena sudah berbilang tahun tak terawat lagi barangkali.

Sementara di samping kanan sekolah saya, di dekat balee yang didirikan paska tsunami untuk nelayan ulee cot gampong Deah Glumpang, kecamatan Meuraxa. Teronggok satu benteng pertahanan jepang seperti yang banyak kita temui di daerah pesisir hampir sepanjang pantai Aceh. Keberadaannya memang sedikit menyedihkan, karena tertutup semak belukar dan sedikit oleng karena di hantam tsunami 2004. tak ada seorang pun siswa berani bermain di situ, karena selain angker, letaknya dalam rawa yang sedikit dalam karena Lumpur.

Nah, pada hari itu saya putuskan untuk tidak jadi memberi materi ajar mengenai peninggalan bersejarah kerajaan Jawa, sebab menurut penilaian saya, selain tidak mencerminkan sisi lokalitas, ini bisa menjauhkan siswa dari kebanggaan akan warisan peninggalan nenek moyangnya di daerah masing-masing. Saya mengambil keputusan indisipliner dari kurikulum yang sudah jelas untuk sesekali mencoba suasana baru belajar di alam terbuka dan lansung pada objek nyata. Jadi anak-anak tidak perlu menerka-nerka objek yang ingin dipelajari. Dan setelah mereka turun semua dari kelas ke lapangan untuk melihat kedua benda tersebut, bukan main kaget mereka, ternyata benda bersejarah tidak hanya terdapat di museum, tapi juga terdapat di kandang ayam penduduk dan rawa-rawa yang paling menyedihkan.

Namanya juga anak-anak, mereka membayangkan sesuatu pasti dengan pikiran mereka yang kecil tentang sesuatu yang besar mesti berada di tempat yang besar pula, namun ketika kenyataan yang mereka alami tidak seperti yang seindah dibayangkan, mereka akan memperlihatkan raut kekecewaan tanpa mampu melisankannya dengan tepat.

Arti benda peninggalan bersejarah bagi anak sekolah dasar sebenarnya tidak begitu penting, toh walaupun tanpa benda tersebut mereka tetap harus belajar dengan membolak-balikkan halaman buku IPS yang melulu hafalan tentang kerajaan nusantara dari masa ke masa. Celakanya kita masih harus mengenal sejarah negeri orang sebelum mengenal baik sejarah sendiri.


“We must know our history”, kata Maxim Gorky,dominasi sejarah yang berlansung adalah kekejaman selevel dominasi dalam bidang ekonomi. Bagaimana kepala anak-anak diisi dengan massif sebuah surga masalalu yang masih samar-samar. Tanpa mampu untuk memandangnya secara kritis, sekolah menjadi pusat doktrinasi persebaran informasi sejarah yang salah kaprah. Lewat buku-buku sejarah yang ditulis orang luar daerah yang sudah pasti mengutamakan sejarah daerahnya masing-masing. Walaupun tak menampik bahwa kita butuh pengetahuan sejarah daerah lain untuk membuat perbandingan dalam membangun peradaban baru di masa depan.

Nasib sejarah tak ubahnya rakyat sehabis pemilu, ditinggalkan sendiri merawat kesukaran-kesukarannya dalam sepi. Maka, jangan sekali-kali melupakan sejarah, ungkap bung Karno.

Mementingkan sejarah Aceh untuk diketahui oleh anak usia sekolah dasar adalah wajib adanya. Sekali sejarah telah dibengkalaikan di sudut-sudut kampong, kita hanya menunggu waktu tepat kelahiran generasi tanpa karakter yang tidak kuat menghadapi rayuan globalisasi.

Penulisan sejarah Aceh masakini lebih ditekankan untuk segmen mahasiswa dari jenjang S1 hingga jenjang di atasnya. Sementara untuk jenjang sekolah dasar hingga menengah, kita masih saja melahap buku lama yang berganti lapik saja.

Di sekolah, tepatnya di perpustakaan. Kita jarang menjumpai buku sejarah Aceh yang ditulis oleh orang Aceh sendiri. Apalagi sarjana luar yang menaruh perhatian pada kajian sejarah Aceh. Buku Denis Lombard yang harganya mahal tidak akan dibuka kertas pembalutnya di perpustakaan sekolah, mengingat harganya mahal dan takut dirusak siswa.

Pada akhirnya, sejarah mesti memunculkan sesuatu bagi generasi sekarang. Dan kelak kita dapati anak-anak yang sadar sejarah bukan karena sikap chauvinistik membabi buta. Tapi lebih kepada cinta pada peradaban.

Yang kita takutkan tentu saja mereka menjadi apatis pada peradaban lampau Aceh hingga keluar pertanyaan; “apakah pemerintah Aceh kurang uang untuk memugar kembali nisan di kandang ayam?”.

Blang oi, 2010