senirupa

Monday, August 22, 2011

Surat Mual Untuk Edi Miswar

(Edi Miswar Mustafa: Tapi, semenjak saya tak lulus PPL, sungguh saya malas memikirkan sekolah. Bahkan melihat seragam anak sekolah pun terasa mual bagi saya.)

Bung EM, terimakasih.

ketika PPL dulu di SDN 51 geuceue meunara (kau tau ini berdekatan dengan rumah mantan pacar saya.*gak penting). saya salahsatu mahasiswa yang paling telat tau tata aturan PPL. kerana saya tak ikut waktu pelepasannya. ketika saya datang seninnya. saya dipanggil kepala sekolah. menghadap ia tentu saja seperti menghadap malaikat pencabut nyawa tak ubahnya. saya diceramahi sampai sampai saya mual sendiri. saya tak ambil pusing soal itu. besoknya saya datang jam setengah 9 ketika anak-anak sudah siap membaca doa sebelum belajar. RPP saya selalu nyusul setelah memberi mata pelajaran. dan yang paling membanggakan saya ketika saya tak memenuhi syarat 25 buah RPP dengan bermacam alasan.
saya hanya mampu menyelesaikan 19. maka dengan begitu, saya hanya berhak mendapat nilai B. di antara teman-teman PPL seangkatan saya. tiga orang yang mendapat nilai dimaksud. salahsatunya, saya.

kau tau? saya tak suka anak-anak ketika itu.apalagi harus memulai berbicara untuk memancing mereka tertawa. lama kemudian, ketika situasi menuntut kita untuk tidak merasa asing dengan anak-anak. kita tentu dengan bermacam cara mencari jalan dimana kelemahan saat berhadapan dengan mereka yang masih polos-polos itu.

saya teringat almarhum bapak kau. idealnya seorang guru memang mestilah kiranya memenuhi keinginan siswa untuk memenuhi 'udara segar' dalam kelas. guru yang tak memaksa siswanya untuk mengikuti seleranya, mencontoh tingkah lakunya dengan jalan menyuruhnyuruh.

kau pasti tau soal selera bersekolah saya dari kita SD dahulu. sampai saya masuk ngajar di SD sekarang. saya sangat mual dengan sekolah, baik sebagai siswa maupun sebagai guru. rasa mual saya tak saya muntahkan di depan anak-anak (kadang2 tak tahan dengan terpaksa saya muntahkan di depan mereka, walau mereka samasekali tidak paham dengan maksud-maksud buruk saya).

calon guru sastra makan malam di bivak emperom dengan telor gosong
seperti yang kerap kau ceritakan pada kami tentang sekolah kau itu, kami paham benar. mahasiswa PPL memang menjadi korban dari kemalasan guru. korban dari sistem perkuliahan yang masih sangat primitif. kita dijadikan budak di zaman moderen ini di bawah kekuasaan guru pamong. guru pamong bagi saya hanyalah alat kekuasaan yang kapan saja bisa memvonis dan bahkan bisa membungkam sikap kritis mahasiswa PPL. apalagi bila guru pamong tersebut termasuk guru yang disegani di sekolah itu. mereka hanyalah PNS. mereka  bertindak sangat mekanistik. sesuai JUKLAK dan JUKNIS dari Dinas Pendidikan. pula bertindak sesuai dengan apa yang sudah disepakati sebelumnya dengan kampus dimana kita menimba ilmu kependidikan.

kita pantas menjadi calon guru yang keras kepala tanpa membuat siswa kita menjadi keras juga kepalanya. kita layak mencemoohkan sistem pembelajaran sekolah kita yang minim inisiasi dan kreatifitas. karena dari kita sekolah dahulu sampai sekarang ini. sistemnya masih begitu-begitu saja. pagi masuk dengan  tertib. baca doa. duduk menghadap papan tulis dan diabsensi satu persatu seperti kaum pekerja paksa zaman kolonial. kita tak ubahnya kerbau sehat yang
dikandangkan dari jam delapan sampai ba'da zuhur.kemudian dilepaskan pulang untuk makan di rumah.

di sana kita menghafal sesuatu yang sebenarnya tak ingin samasekali kita hafal. kita hanya teringat kantin dan jam keluar yang membahagiakan jiwa remaja kita kala SMA. teringat adik-adik kelas yang kita sukai. yang selalu tersenyum ketika kita sambangi di jendela yang bolong kacanya. kadang senyumnya menghanyutkan, apalagi ketika pikiran terpengaruh zat-zat yang memabukkan. senyumnya kita tau hanya dibuat-buat saja, agar terkesan tak sombong. karena kita termasuk orang yang jarang disukai bersebab ke sekolah suka berpenampilan nyentrik, kau ingat tas kasab Aceh ibumu kau bawa lari ke sekolah selama kita kelas tiga. dan aku dengan tas nenekku bergambar bunga mawar merah bertuliskan 'red rose' di bawahnya. mana ada orang yang sepakat dengan perilaku kita itu. namun, kita merasa nyaman saja.

dan sekolah bukanlah dunia kampus yang agak lebar sedikit kebebasannya. sekolah tak pernah sampai kapan pun memaklumi siswanya berambut gondrong. atau memakai sandal. maka, lagi-lagi aku teringat  sepeda unta (ontel) Tgk Is yang kau bawa ke sekolah agar kita kelihatan berbeda dari siswa kebanyakan. kataku dalam hati waktu itu, kita diciptakan berbeda. maka harus ada yang memaklumi.

tentu kau ingat Almarhum Pak Bahar. guru PPKN yang tema pembicaraannya selalu suka membandingkan kemajuan Jepang dan Indonesia. waktu itu kita masih kelas I2, kita duduk paling belakang, waktu itu tahun 1997 akhir, zaman krisis moneter masih mencengkram bangsa indonesia. aku ingat satu kata-kata dalam jawaban essay PPKN-mu, 'Soeharto keparat'. pastilah tahun itu masih kuat-kuatnya Orde Baru. dari kata-kata itu, sekarang aku baru sadar bahwa kau berpikir jauh lebih kritis dari kami. walau untuk ukuran kampung yang minim informasi seperti bacaan dan tontonan televisi di kecamatan kita.

ah, walau kita mual terhadap sekolah. namun kita sudah dan akan terus muntah karena itu. dan aku yakin, kita sangat tau cara memuntahkan itu kapan dan media apa yang akan kita gunakan.

kelak, ketika mualmu sudah sembuh, masuklah kembali ke kelas. ajarkan anak-anak kami tentang apa yang perlu diperhitungkan. bukan saja belajar hitung menghitung. puisikan mereka dengan kalimat-kalimat panjang yang memberi wacana baru dalam alam berpikir mereka. bukan menjadi guru bahasa indonesia yang mengajarkan semata-mata cara penempatan kata 'di' dan 'ke' saja. bukan pula guru bahasa indonesia yang mengajarkan teater yang selalu bercerita tentang 'Malin kundang anak durhaka' atau teater yang bercerita tentang seorang gadis yang bunuh diri karena depresi asmara. dari imajinasimu, kami yakin lahir kesegaran penciptaan baru yang jauh lebih bisa berbicara.

aku kutip dengan sangat terpaksa (karena kata teman-teman tulisan yang baik bukan tulisan yang banyak kutipan) sebait puisi Dj Enright yang berjudul 'Logistik':

"kita tidak bisa berterus terang tanpa mesin tulis, menenangkan diri tanpa stabilitas, menyampaikan protes tanpa teater, meluncurkan nilai tanpa gelombang radio."

untuk apa panggung teater kalau kami menjadi penonton yang disuguhi cerita layaknya sinetron. atau panggung komedi seperti pengantar sahur di televisi. yang menjual laki-laki lemah gemulai kebanci-bancian untuk memancing tawa kami yang seperti orang kehilangan selera humor tahunan.

maka, ke sekolahlah engkau mesti kembali

wassalamu