Setelah paginya mengalami dingin serupa malaria, akhirnya,
dibantu seorang rekan saya diantar ke rumah sakit. Tepatnya ke Rumah Sakit
tentara di Kawasan Kuta Alam Banda Aceh. Di Rumah Sakit Kesdam tersebut, saya
diperiksa seorang dokter perempuan. Dengan sikap standar seorang dokter, dia
memeriksa saya sampai selesai. Setelah menunggu tidak berapa lama, akhirnya
dokter mengatakan bahwa saja terserang gejala Malaria. dia menyarankan untuk rawat inap atau rawat
jalan. Teman yang mengantarkan saya waktu itu menanyakan tentang fasilitas JKA
(Jaminan Kesehatan Aceh), agar saya bisa rawat inap dan tidak perlu bolak-balik
menghabiskan banyak pengeluaran.
Dokter mengatakan di
rumah sakit Kesdam saat itu belum ada fasilitas JKA,
hingga akhirnya kawan saya
memutuskan untuk membawa saya pulang setelah mengambil resep yang sudah
disiapkan sang dokter. Menunggu urusan kawan saya dengan dokter itu, saya duduk
di kursi panjang di luar gedung laboratorium. Di samping saya duduk seorang
tentara berseragam lengkap mungkin sedang menunggu hasil diagnosa keluarganya
yang sakit. Karena tak tahan duduk dan kondisi tubuh yang sudah tidak bertenaga
lagi, saya akhirnya minta izin sama tentara di samping untuk merebahkan diri.
Tentara mengangguk dan mempersilahkan saya untuk rebahan menunggu teman. Lega
rasanya mendapat tempat merebahkan diri. Teman saya keluar memegang kertas dan
memapah saya keluar komplek rumah sakit militer itu. Kami menyetop becak. Saya
tidak kuat duduk, dan lagi-lagi harus rebahan. Becak berhenti depan Apotek
Kimia Farma di jalan Dipenogoro depan Mesjid raya Baiturrahman, Banda Aceh. Ketika
kawan kembali ke becak, ia mengatakan ongkos nebus obat Rp. 120.000. lalu becak
mengantarkan kami kembali ke rumah.
Obat yang ditebus tadi sudah saya telan. Saya berbaring di
kasur. Masih lemas dan perut bawah kanan kembali beraksi dengan rasa sakit
tiada tara. Saya muntah berkali-kali siang itu. Suhu tubuh makin dingin,
setelah melihat kondisi saya belum berubah, teman saya menyarankan untuk
kembali ke rumah sakit, tapi bukan ke Kesdam. Dibantu teman seorang lagi, kami
berboncengan bertiga menuju RSUZA (Rumah sakit Zainoel Abidin) yang letaknya di
Kawasan Lampriet, kota Banda Aceh. Sesampai di sana, saya sudah benar-benar
lemas dan tak sanggup berdiri sama sekali. Saya duduk di antara pasien dan
keluarganya yang sedang menunggu panggilan. Jam menunjukkan angka 3 siang.
Teman saya memapah saya menuju ke unit gawat darurat. Menurutnya langkah ini
diambil menghindari antrian dan urusan administrasi yang berbelit-belit.
Sementara saya sendiri sudah lemas benar. Jika terlambat penanganan, nyawa
melayang.
Karena melalui jalur IGD,urusan administrasi bisa diurus
belakangan. Saya akhirnya setelah menunggu sejam kurang lebih, bisa lega
mendapat ranjang dan diinfus. Dengan cekatan, dokter-dokter muda mendiagnosa
saya. Dalam keadaan berbaring kaki kanan
saya disuruh lipat, dokter menekan dari lutut. Saya mengerang kesakitan. Dokter
menekan sekali lagi.
“saudara terkena usus buntu! Dan harus diangkat malam ini
juga” katanya pendek. Setelah kesimpulan dokter diketahui, para dokter muda
yang bertugas segera mengambil sampel hingga memasang kateter, Menyuntik dan
segala hal ihwal menyangkut pra operasi. Saya sudah mulai merasa tidak selemas
tadi. Walau perut terus saja meronta kesakitan. Tapi, setidaknya sudah lega
dengan diketahui sebab dan jelas penanganannya.
Sementara itu, teman yang mengantar saya tadi mengurus
urusan administrasi. Petugas jaga yang berjarak hanya beberapa meter dari
tempat saya dibaringkan terdengar meminta KTP dan kartu keluarga pada teman
saya. Kata teman saya untuk mengurus JKA. Waktu itu, kami tau sudah ada JKA,
tapi bagaimana pengurusan dan kapan peluncurannya, kami sama sekali tidak
paham.
Beruntung sekali ketika saya masuk rumah sakit 3 Juni 2010,
JKA baru diluncurkan secara resmi 1 Juni 2010. Secara kebetulan entah bukan,
saya termasuk orang-orang beruntung, Alhamdulillah. Dengan modal entah berapa
ratus ribu di kantong kawan saya itu, kami berobat tanpa pikir panjang.
JKA sendiri diluncurkan ketika Aceh dipimpin oleh Irwandi
Yusuf. Mantan propagandis Gerakan Aceh Merdeka ini dipuji sampai sekarang
karena programnya yang satu ini bersentuhan lansung dengan hajat hidup orang
banyak. Terlepas bagaimana soal pelayanannya setelah itu, JKA telah
menyelamatkan ribuan orang berekonomi lemah seperti kami. Bahkan, setelah masa
kepemimpinan Irwandi, JKA sudah mulai meluaskan jaringannya hingga dapat
dilayani oleh rumah sakit swasta.
***
Dokter mengatakan jadwal saya masuk ruang operasi adalah jam
23.00 WIB malam itu juga. Seorang laki-laki berpakaian putih dengan masker
dililitkan di leher menghampiri tempat tidur saya,
“takut dioperasi?” Tanya dia
“takut, dok”
“jangan takut! Sekarang operasi tidak seberat dulu lagi. Dan
dalam ilmu kedokteran, operasi usus buntu adalah operasi kecil. Saya tunggu di
ruang operasi,yaa!” katanya sebelum beranjak.
Di atas tempat tidur menunggu jadwal operasi, saya tidak
dibenarkan makan minum. Saya menerima sahabat yang datang menjenguk dan ngobrol
di tengah hiruk-pikuk IGD yang setiap menit kedatangan pasien yang butuh
penanganan cepat. Dari yang melahirkan hingga korban kecelakaan. Jerit tangis
hingga jerit kesakitan terdengar dalam ruangan yang tidak begitu besar itu.
` ***
Angka sudah menunjukkan di jam sebelas malam. Petugas ruang
operasi mengangkut saya ke ruang operasi. Setelah berganti pakaian operasi,
saya dimasukkan dalam ruang kecil yang sangat dingin. Di sana beberapa dokter
laki-laki sudah menunggu. Saya ditidurkan. Ditidurkan begitu saja di
tengah-tengah ruangan dengan pakaian operasi yang terbuka. “Dokter anestesi
sedang menyiapkan bius” kata dokter yang saya tanyakan kenapa lama sekali. Saya
tidak tahan lama dalam ruang AC.
Singkat cerita, akhirnya sesudah kelar semua proses operasi,
saya dikeluarkan dan harus ‘transit’ sebentar di ruangan besar tapi sepi. Hanya
ada bayi menangis bersama seorang dokter perempuan. Ruangan itu lumayan gelap
dengan lampu redup. Saya ditidurkan sendiri di situ sekitar setengah jam.
Dokter muda yang mengantar saya entah kemana. Barangkali sedang mengurus kamar
saya inap selama proses penyembuhan, pikir saya.
Akhirnya saya dimasukkan dalam kamar 2 ruang Jeumpa I. petugas
jaga malam itu meninggalkan dua botol air mineral sedang dan berpesan untuk
tidak saya minum banyak. Kecuali untuk membasahi tenggorokan saja satu sendok.
Dalam haus teramatnya, saya tertidur.
***
“selamat pagi, pak Idrus. Bagaimana masih sakit perutnya?”
sapa pak dokter dengan senyum khas.
“pagi, dok! Sudah berkurang nih sakitnya” jawab saya
“pak Idrus tenang saja. Gak lama lagi sudah bisa pulang
dengan sehat” katanya menyemangati saya.
“terimakasih, dok. Tapi ada pantangan tidak paska operasi?”
Tanya saya
“oh. Tidak ada setau saya. Cuma jangan makan yang
tajam-tajam” katanya tersenyum
“wah. Apa saja contohnya, dok?” Tanya saya penasaran
“yaah seperti pisau cukur, lampu neon, beling dan
sejenisnya.” Ungkapnya tertawa
Kami tertawa lepas pagi itu walau dalam kamar saya tidak ada
orang yang ngurus saya. Hanya seorang kakek dan istrinya. Adik saya dari
kampong belum tiba. Karena dikabari pas siap operasi jam 2 dinihari. Bagaimana
pun, dengan lelucon pembuka hari itu dari dokter yang tidak saya tanyakan nama
itu, saya tidak merasa sendiri. Tidak salah jika orang bijak katakana, ‘obat
mujarab itu adalah tertawa’. Konon lagi menertawai diri sendiri. Justru
menyehatkan.
Waktu itu, yang tidak menyehatkan justru kantong dan
tabungan saya. Saya tidak pegang sepeserpun uang. Dan ketika sudah beberapa
hari di rumah sakit, saya juga tidak terpikir biaya pengobatan nanti dibayar
siapa. Untuk biaya konsumsi tentu sudah ada dari keluarga. Namun, mengingat
operasi tentu tidaklah murah biayanya. Walau operasi paling mudah.
Ketakutan saya sirna ketika dokter terakhir yang cek kondisi
saya. Dia bilang saya sudah bisa pulang dan hanya perlu rawat jalan untuk
penyembuhan luka paska operasi. Dan ketika pengurusan administrasi, dengan
berlembar-lembar kertas keterangan, dari diagnosa penyakit, surat tanda
bersedia dioperasi hingga hasil cek darah, saya tidak menemukan daftar biaya
yang harus dibayar.
Dan siang itu, di tengah hujan mengguyur kota Banda Aceh,
saya dijemput teman dengan mobilnya, kami tidak mengeluarkan sepeser pun uang.
Keberadaan JKA telah memberi kelancaran bagi kami yang berekonomi lemah. Begitu
juga dengan keberadaan dokter yang dalam sibuk luar biasa, masih mampu berbagi
tawa dengan lelucon-lelucon segar.
***
Idealitas bisa saja jadi utopia. Namun, membangun system
layanan kesehatan masyarakat tidak saja dimulai dari dokter. Seperti keberadaan
guru di sekolah, tanpa inovasi system secara kontinyu dari dinas (pemerintah), pengawasan
dari masyarakat sipil sampai pada penghargaan atas jasa-jasa para pekerja
medis.
Untuk skala Aceh, JKA adalah jawaban yang sejak dulu coba
dijawab pemerintah dengan segala macam layanan namun belum memuaskan. JKA bisa jadi jawaban tepat atas kerinduan
masyarakat akan pelayanan kesehatan memuaskan dan tentunya, gratis. Semoga JKA
berlanjut dengan makin inovatif dalam pelayanan meskipun penguasa Aceh
berganti-ganti. Semoga saja. Wassalamu.
Banda Aceh. 8 Desember 2013