senirupa

Monday, December 9, 2013

Pesan Dokter, “jangan makan yang tajam-tajam!”





Setelah paginya mengalami dingin serupa malaria, akhirnya, dibantu seorang rekan saya diantar ke rumah sakit. Tepatnya ke Rumah Sakit tentara di Kawasan Kuta Alam Banda Aceh. Di Rumah Sakit Kesdam tersebut, saya diperiksa seorang dokter perempuan. Dengan sikap standar seorang dokter, dia memeriksa saya sampai selesai. Setelah menunggu tidak berapa lama, akhirnya dokter mengatakan bahwa saja terserang gejala Malaria.  dia menyarankan untuk rawat inap atau rawat jalan. Teman yang mengantarkan saya waktu itu menanyakan tentang fasilitas JKA (Jaminan Kesehatan Aceh), agar saya bisa rawat inap dan tidak perlu bolak-balik menghabiskan banyak pengeluaran. 

Dokter mengatakan  di rumah sakit Kesdam saat itu belum ada fasilitas JKA,
hingga akhirnya kawan saya memutuskan untuk membawa saya pulang setelah mengambil resep yang sudah disiapkan sang dokter. Menunggu urusan kawan saya dengan dokter itu, saya duduk di kursi panjang di luar gedung laboratorium. Di samping saya duduk seorang tentara berseragam lengkap mungkin sedang menunggu hasil diagnosa keluarganya yang sakit. Karena tak tahan duduk dan kondisi tubuh yang sudah tidak bertenaga lagi, saya akhirnya minta izin sama tentara di samping untuk merebahkan diri. Tentara mengangguk dan mempersilahkan saya untuk rebahan menunggu teman. Lega rasanya mendapat tempat merebahkan diri. Teman saya keluar memegang kertas dan memapah saya keluar komplek rumah sakit militer itu. Kami menyetop becak. Saya tidak kuat duduk, dan lagi-lagi harus rebahan. Becak berhenti depan Apotek Kimia Farma di jalan Dipenogoro depan Mesjid raya Baiturrahman, Banda Aceh. Ketika kawan kembali ke becak, ia mengatakan ongkos nebus obat Rp. 120.000. lalu becak mengantarkan kami kembali ke rumah.

Obat yang ditebus tadi sudah saya telan. Saya berbaring di kasur. Masih lemas dan perut bawah kanan kembali beraksi dengan rasa sakit tiada tara. Saya muntah berkali-kali siang itu. Suhu tubuh makin dingin, setelah melihat kondisi saya belum berubah, teman saya menyarankan untuk kembali ke rumah sakit, tapi bukan ke Kesdam. Dibantu teman seorang lagi, kami berboncengan bertiga menuju RSUZA (Rumah sakit Zainoel Abidin) yang letaknya di Kawasan Lampriet, kota Banda Aceh. Sesampai di sana, saya sudah benar-benar lemas dan tak sanggup berdiri sama sekali. Saya duduk di antara pasien dan keluarganya yang sedang menunggu panggilan. Jam menunjukkan angka 3 siang. Teman saya memapah saya menuju ke unit gawat darurat. Menurutnya langkah ini diambil menghindari antrian dan urusan administrasi yang berbelit-belit. Sementara saya sendiri sudah lemas benar. Jika terlambat penanganan, nyawa melayang. 



Karena melalui jalur IGD,urusan administrasi bisa diurus belakangan. Saya akhirnya setelah menunggu sejam kurang lebih, bisa lega mendapat ranjang dan diinfus. Dengan cekatan, dokter-dokter muda mendiagnosa saya. Dalam keadaan berbaring  kaki kanan saya disuruh lipat, dokter menekan dari lutut. Saya mengerang kesakitan. Dokter menekan sekali lagi. 

“saudara terkena usus buntu! Dan harus diangkat malam ini juga” katanya pendek. Setelah kesimpulan dokter diketahui, para dokter muda yang bertugas segera mengambil sampel hingga memasang kateter, Menyuntik dan segala hal ihwal menyangkut pra operasi. Saya sudah mulai merasa tidak selemas tadi. Walau perut terus saja meronta kesakitan. Tapi, setidaknya sudah lega dengan diketahui sebab dan jelas penanganannya. 

Sementara itu, teman yang mengantar saya tadi mengurus urusan administrasi. Petugas jaga yang berjarak hanya beberapa meter dari tempat saya dibaringkan terdengar meminta KTP dan kartu keluarga pada teman saya. Kata teman saya untuk mengurus JKA. Waktu itu, kami tau sudah ada JKA, tapi bagaimana pengurusan dan kapan peluncurannya, kami sama sekali tidak paham.
Beruntung sekali ketika saya masuk rumah sakit 3 Juni 2010, JKA baru diluncurkan secara resmi 1 Juni 2010. Secara kebetulan entah bukan, saya termasuk orang-orang beruntung, Alhamdulillah. Dengan modal entah berapa ratus ribu di kantong kawan saya itu, kami berobat tanpa pikir panjang.
JKA sendiri diluncurkan ketika Aceh dipimpin oleh Irwandi Yusuf. Mantan propagandis Gerakan Aceh Merdeka ini dipuji sampai sekarang karena programnya yang satu ini bersentuhan lansung dengan hajat hidup orang banyak. Terlepas bagaimana soal pelayanannya setelah itu, JKA telah menyelamatkan ribuan orang berekonomi lemah seperti kami. Bahkan, setelah masa kepemimpinan Irwandi, JKA sudah mulai meluaskan jaringannya hingga dapat dilayani oleh rumah sakit swasta.
                                                                               ***
Dokter mengatakan jadwal saya masuk ruang operasi adalah jam 23.00 WIB malam itu juga. Seorang laki-laki berpakaian putih dengan masker dililitkan di leher menghampiri tempat tidur saya,

“takut dioperasi?” Tanya dia

“takut, dok”

“jangan takut! Sekarang operasi tidak seberat dulu lagi. Dan dalam ilmu kedokteran, operasi usus buntu adalah operasi kecil. Saya tunggu di ruang operasi,yaa!” katanya sebelum beranjak.

Di atas tempat tidur menunggu jadwal operasi, saya tidak dibenarkan makan minum. Saya menerima sahabat yang datang menjenguk dan ngobrol di tengah hiruk-pikuk IGD yang setiap menit kedatangan pasien yang butuh penanganan cepat. Dari yang melahirkan hingga korban kecelakaan. Jerit tangis hingga jerit kesakitan terdengar dalam ruangan yang tidak begitu besar itu. 

`                                                                                ***

Angka sudah menunjukkan di jam sebelas malam. Petugas ruang operasi mengangkut saya ke ruang operasi. Setelah berganti pakaian operasi, saya dimasukkan dalam ruang kecil yang sangat dingin. Di sana beberapa dokter laki-laki sudah menunggu. Saya ditidurkan. Ditidurkan begitu saja di tengah-tengah ruangan dengan pakaian operasi yang terbuka. “Dokter anestesi sedang menyiapkan bius” kata dokter yang saya tanyakan kenapa lama sekali. Saya tidak tahan lama dalam ruang AC. 

Singkat cerita, akhirnya sesudah kelar semua proses operasi, saya dikeluarkan dan harus ‘transit’ sebentar di ruangan besar tapi sepi. Hanya ada bayi menangis bersama seorang dokter perempuan. Ruangan itu lumayan gelap dengan lampu redup. Saya ditidurkan sendiri di situ sekitar setengah jam. Dokter muda yang mengantar saya entah kemana. Barangkali sedang mengurus kamar saya inap selama proses penyembuhan, pikir saya. 

Akhirnya saya dimasukkan dalam kamar 2 ruang Jeumpa I. petugas jaga malam itu meninggalkan dua botol air mineral sedang dan berpesan untuk tidak saya minum banyak. Kecuali untuk membasahi tenggorokan saja satu sendok. Dalam haus teramatnya, saya tertidur.

                                                                              ***
 “selamat pagi, pak Idrus. Bagaimana masih sakit perutnya?” sapa pak dokter dengan senyum khas.

“pagi, dok! Sudah berkurang nih sakitnya” jawab saya

“pak Idrus tenang saja. Gak lama lagi sudah bisa pulang dengan sehat” katanya menyemangati saya.

“terimakasih, dok. Tapi ada pantangan tidak paska operasi?” Tanya saya

“oh. Tidak ada setau saya. Cuma jangan makan yang tajam-tajam” katanya tersenyum

“wah. Apa saja contohnya, dok?” Tanya saya penasaran

“yaah seperti pisau cukur, lampu neon, beling dan sejenisnya.” Ungkapnya tertawa

Kami tertawa lepas pagi itu walau dalam kamar saya tidak ada orang yang ngurus saya. Hanya seorang kakek dan istrinya. Adik saya dari kampong belum tiba. Karena dikabari pas siap operasi jam 2 dinihari. Bagaimana pun, dengan lelucon pembuka hari itu dari dokter yang tidak saya tanyakan nama itu, saya tidak merasa sendiri. Tidak salah jika orang bijak katakana, ‘obat mujarab itu adalah tertawa’. Konon lagi menertawai diri sendiri. Justru menyehatkan. 

Waktu itu, yang tidak menyehatkan justru kantong dan tabungan saya. Saya tidak pegang sepeserpun uang. Dan ketika sudah beberapa hari di rumah sakit, saya juga tidak terpikir biaya pengobatan nanti dibayar siapa. Untuk biaya konsumsi tentu sudah ada dari keluarga. Namun, mengingat operasi tentu tidaklah murah biayanya. Walau operasi paling mudah. 

Ketakutan saya sirna ketika dokter terakhir yang cek kondisi saya. Dia bilang saya sudah bisa pulang dan hanya perlu rawat jalan untuk penyembuhan luka paska operasi. Dan ketika pengurusan administrasi, dengan berlembar-lembar kertas keterangan, dari diagnosa penyakit, surat tanda bersedia dioperasi hingga hasil cek darah, saya tidak menemukan daftar biaya yang harus dibayar.
Dan siang itu, di tengah hujan mengguyur kota Banda Aceh, saya dijemput teman dengan mobilnya, kami tidak mengeluarkan sepeser pun uang. Keberadaan JKA telah memberi kelancaran bagi kami yang berekonomi lemah. Begitu juga dengan keberadaan dokter yang dalam sibuk luar biasa, masih mampu berbagi tawa dengan lelucon-lelucon segar. 

                                                                                 ***

Idealitas bisa saja jadi utopia. Namun, membangun system layanan kesehatan masyarakat tidak saja dimulai dari dokter. Seperti keberadaan guru di sekolah, tanpa inovasi system secara kontinyu dari dinas (pemerintah), pengawasan dari masyarakat sipil sampai pada penghargaan atas jasa-jasa para pekerja medis. 

Untuk skala Aceh, JKA adalah jawaban yang sejak dulu coba dijawab pemerintah dengan segala macam layanan namun belum memuaskan. JKA  bisa jadi jawaban tepat atas kerinduan masyarakat akan pelayanan kesehatan memuaskan dan tentunya, gratis. Semoga JKA berlanjut dengan makin inovatif dalam pelayanan meskipun penguasa Aceh berganti-ganti. Semoga saja. Wassalamu.

Banda Aceh. 8 Desember 2013