lincah |
Di pintu masuk rumah sakit
Fakinah Banda Aceh, saya sering membeli lincah yang diracik oleh seorang
laki-laki yang tergolong muda dengan
tangannya yang cekatan. Dari lincah, yang paling unik terdengar bagi saya
adalah “pisang beun”. Pisang
yang saya yakin tidak akan menemui kematangan karena terenggut oleh kepentingan
lincah. Dan anehnya lagi, sampai sejauh ini saya tidak pernah melihat secara
lansung bagaimana bentuk pisang beun dimaksud. Atau jangan-jangan pisang beun
hanya tumbuh ditempat-tempat tertentu laksana Kopi Gayo misalkan. Namun, para
pembuat Lincah selalu tak kekurangan stok pisang beun
Lincah disebut rujak mungkin saja
oleh bangsa Indonesia. Tapi saya tidak tahu. Karena syarat
menjadi Lincah tentu saja berbeda. Atau cara penyajiannya juga berbeda. Misalkan
“Rujak Aulia” yang terlihat seperti cendol kecoklatan.
Rumah sakit Fakinah berada di
jalan Sudirman, Geuceue. Arah ke Keutapang. Jika sore hari, Bang Lincah dipadati pembeli yang
sedang pulang kantor. Kita harus menunggu sedikit lama. Karena antrean pembeli
itu. Sayangnya, untuk makan di tempat, Bang Lincah tidak menyediakan tempat
layaknya warung kopi. Maka hampir semua orang membungkus untuk disantap di
rumah bersama keluarga atau tetangga. Itu terserah mereka.
Harga satu porsi hanya lima ribu
rupiah. Terlalu murah untuk lidah dan sekelompok buah-buahan yang jenisnya
bermacam-macam.
Untuk lidah penyuka pedas, bisa dipesankan agar campli Cina (Cabe Rawit) mendominasi. Juga sebaliknya pembenci pedas, campli Cina disuruh agar jadi minoritas dalam komunitas buah campuran. Atau bahkan ditiadakan saja samasekali.
Walau rutin membeli, saya tidak
pernah berbasa-basi untuk sekedar menanyakan nama atau omset lincah bulanan
atau harian. Saya paling menikmati adegan mecincang buah dengan kecepatan
setara jurus Kungfu.
Saya rasa,
Lincah telah begitu intim dengan orang Aceh hingga bahkan group musik reggae
Aceh “Seuramoe Reggae” membuat khusus lagu tentang lincah. Yang berkisah
tentang kebiasaan menikmati Lincah dari hari ke hari hingga ciret (mencret)
melanda.
Di Meureudu,
tepatnya di kampung saya Teupin Pukat, Lincah terkenal tidak hanya sekitaran
kampung. Tiap sore, keudee lincah kampung saya itu penuh pengunjung. Kak Yah. Demikian
sang pembuat lincah itu disapa. Namanya harum hingga sekarang walau ia telah
pensiun dari dunia perlincahan.
Terletak persis
di pinggir jalan dekat Mesjid Tgk Japakeh kemukiman Kuta Simpang, keudee lincah
Kak Yah posisi belakangnya lansung menghadap persawahan. Selain menikmati
lincah, pengunjung juga menikmati panorama sawah yang indah. Walau pengunjung
di kampung sendiri sudah bosan dengan panorama begituan.
Bagi saya,
lincah menarik karena selain buah segar juga taburan kacang tanah goreng yang
ditabur tanpa ditumbuk. Hingga,ketika bertemu dengan buah segar rasanya agak
sulit saya jelaskan dengan bahasa Indonesia. Apalagi penguasaan bahasa
Indonesia saya kurang begitu bagus.
“Senin meuseulincah, Selasa meuseulincah, Rabu ka saket pruet, Hameh jeut keu ciret, Jumat rumoh saket, Sabtu woe u rumoeh, Minggu istirahat. Senin seulicah loem Oooww
Oww…”
Menikmati Lincah
dengan kondisi perut kurang mendukung sama seperti ingin poligami tapi kondisi
tidak mendukung. Dan lincah itu amat menggoda. Kalau tak percaya, silakan coba!