senirupa

Thursday, April 16, 2015

Lincah, dari Seuramoe Reggae, Kak Yah hingga depan RSU Fakinah


lincah
Di pintu masuk rumah sakit Fakinah Banda Aceh, saya sering membeli lincah yang diracik oleh seorang laki-laki yang tergolong muda dengan tangannya yang cekatan. Dari lincah, yang paling unik terdengar bagi saya adalah pisang beun. Pisang yang saya yakin tidak akan menemui kematangan karena terenggut oleh kepentingan lincah. Dan anehnya lagi, sampai sejauh ini saya tidak pernah melihat secara lansung bagaimana bentuk pisang beun dimaksud. Atau jangan-jangan pisang beun hanya tumbuh ditempat-tempat tertentu laksana Kopi Gayo misalkan. Namun, para pembuat Lincah selalu tak kekurangan stok pisang beun
Lincah disebut rujak mungkin saja oleh bangsa Indonesia. Tapi saya tidak tahu. Karena syarat menjadi Lincah tentu saja berbeda. Atau cara penyajiannya juga berbeda. Misalkan “Rujak Aulia” yang terlihat seperti cendol kecoklatan. 


Rumah sakit Fakinah berada di jalan Sudirman, Geuceue. Arah ke Keutapang. Jika sore  hari, Bang Lincah dipadati pembeli yang sedang pulang kantor. Kita harus menunggu sedikit lama. Karena antrean pembeli itu. Sayangnya, untuk makan di tempat, Bang Lincah tidak menyediakan tempat layaknya warung kopi. Maka hampir semua orang membungkus untuk disantap di rumah bersama keluarga atau tetangga. Itu terserah mereka.

Harga satu porsi hanya lima ribu rupiah. Terlalu murah untuk lidah dan sekelompok buah-buahan yang jenisnya bermacam-macam.

Untuk lidah penyuka pedas, bisa dipesankan agar campli Cina (Cabe Rawit) mendominasi. Juga sebaliknya pembenci pedas, campli Cina disuruh agar jadi minoritas dalam komunitas buah campuran. Atau bahkan ditiadakan saja samasekali. 

Walau rutin membeli, saya tidak pernah berbasa-basi untuk sekedar menanyakan nama atau omset lincah bulanan atau harian. Saya paling menikmati adegan mecincang buah dengan kecepatan setara jurus Kungfu. 

Saya rasa, Lincah telah begitu intim dengan orang Aceh hingga bahkan group musik reggae Aceh Seuramoe Reggae” membuat khusus lagu tentang lincah. Yang berkisah tentang kebiasaan menikmati Lincah dari hari ke hari hingga ciret (mencret) melanda. 



Di Meureudu, tepatnya di kampung saya Teupin Pukat, Lincah terkenal tidak hanya sekitaran kampung. Tiap sore, keudee lincah kampung saya itu penuh pengunjung. Kak Yah. Demikian sang pembuat lincah itu disapa. Namanya harum hingga sekarang walau ia telah pensiun dari dunia perlincahan. 

Terletak persis di pinggir jalan dekat Mesjid Tgk Japakeh kemukiman Kuta Simpang, keudee lincah Kak Yah posisi belakangnya lansung menghadap persawahan. Selain menikmati lincah, pengunjung juga menikmati panorama sawah yang indah. Walau pengunjung di kampung sendiri sudah bosan dengan panorama begituan.
Bagi saya, lincah menarik karena selain buah segar juga taburan kacang tanah goreng yang ditabur tanpa ditumbuk. Hingga,ketika bertemu dengan buah segar rasanya agak sulit saya jelaskan dengan bahasa Indonesia. Apalagi penguasaan bahasa Indonesia saya kurang begitu bagus. 

Senin meuseulincah, Selasa meuseulincah, Rabu ka saket pruet, Hameh jeut keu ciret, Jumat rumoh saket, Sabtu woe u rumoeh, Minggu istirahat. Senin seulicah loem Oooww Oww…”

Menikmati Lincah dengan kondisi perut kurang mendukung sama seperti ingin poligami tapi kondisi tidak mendukung. Dan lincah itu amat menggoda. Kalau tak percaya, silakan coba!