senirupa

Friday, November 4, 2022

Tata tertib singkat Cetak Cukil kayu

 Teknik cukil adalah teknik cetak kuno yang masih dipakai hingga kini. 


Sila cek video ini:

https://youtu.be/nv_csuWVtpI

Thursday, November 3, 2022

Yang Jenaka di Aceh



Lukisan ini karya Tanzilmurda  yang saya potret di ruang lobi Taman Budaya Aceh. Tempat dilansungkan pameran seni rupa. Saya suka kejenakaan dalam lukisan ini.

Lukisan ini mengingatkan saya pada penyebutan GLM milik GAM zaman konflik dahulu. "Jantong pisang" sebut masyarakat masa itu. Lukisan ini amat menyindir kita, kami, kalian, mereka, dan sejumlah kata ganti lainnya. "Boh Jantong" siap luncur, pemantik sumbu di tangan orang lain.

Tepat sekali penempatan objek tertawaan. Dan itu mewakili sekali kita dewasa ini.
Memasuki masa-masa sulit, kita cukup terhibur dengan tontonan yang disuguhkan politisi, penjual agama, para saudagar dan kita sendiri. Walau kadang gak tahan juga ingin terlibat di dalamnya dengan menjadi korban tertawaan atau si pembully.

Kalau tak salah saya, Lukisan ini berjudul "menonton cagok Aceh" di latar pemeran cagok, di atas puing-puing bekas runtuhan, bocah-bocah terkesima dengan aksi cagok yang dimainkan.
Lebih lanjut, dalam pusaran kepentingan politis, kita, kami, kalian dan mereka, serba salah menempatkan diri. Terjun terlibat lansung salah, jadi penonton tak juga berguna.

Mungkin lukisan ini sekata dengan satu pernyataan abadi seorang politikus di masa lalu bahwa, "jika kau tak berpolitik, seribu kali politik akan mencampuri hidupmu". Bahkan mungkin cara dan tempat kamu berak pun, akan diurus politisi. Kira-kira demikian maksudnya.

Pameran di TBA kali ini tergolong mewah dikarenakan gedung baru siap renovasi. Puluhan perupa ikut serta dengan tema bebas. Dari yang berkelas hingga yang pemula. Pembauran ini cukup mengemukakan pada kita bagaimana komposisi ide bisa merespon kekinian Aceh.

Cukup banyak pula perupa/pelukis  yang tampil dengan lukisan yang sama di beberapa pameran beberapa pameran selama bertahun-tahun. Ini mengisyaratkan perupa kita banyak macet berkarya. Atau memang sudah tidak teryantang untuk bikin lukisan lagi akibat merasa sudah berada di puncak kemapanan kreatifitas. Hanya Tuhan yang maha tahu.

Kita mana tahu apa-apa!?

Thursday, October 27, 2022

Kelas menulis Do Karim. Versi Subvesif



Ini adalah tulisan tahun 2014-an lalu saat kami ikut kelas menulis Do Karim, Komunitas Tikar Pandan di Banda Aceh.

Di bawah ini adalah ringkasan bahan ajar yang harus kami pahami dan menuliskannya. 

Kelas masih membahas tentang bagaimana meramu fragmen teks yang tercerai berai. Kehadiran antropolog Jesse Grayman malam itu kian menambah pengetahuan baru tentang metode interteks. Jesse merujuk pada The Arcade Project-nya Walter Benyamin. Pola montase Walter Benyamin menjadi acuan bagaimana bangunan-bangunan produk masalalu berada dalam realitas kekinian itu ketika dilihat dalam konteks montase ala Walter Benyamin, memunculkan pemahaman dan penafsiran baru. Montase sendiri  adalah komposisi visual yang dihasilkan dari percampuran beberapa unsure.

Dalam memproduksi teks, pola montase sangat dimungkinkan penerapannya. Karena pemahaman bisa timbul dari persinggungan-persinggungan beberapa teks yang berhasil diramu.

Saya teringat pada lukisan Mahdi Abdullah yang kalau tidak salah ingat, judulnya ‘Benang Merah’. Mahdi dalam lukisan itu menghadirkan secara mencolok beberapa anak sedang bermain lumpur pekat hitam kecoklat-coklatan. Seorang anak yang berdiri paling depan menghadap penikmat lukisan memegang benang merah dan tersenyum. Senyum itu tentu bebas ditafsir.

Lukisan yang saya lihat saat pameran tunggalnya di epicentrum Ulee Kareng beberapa tahun lalu itu, awalnya memang terlihat biasa jika abai terhadap detil teks visual. Ada 3 teks visual sebagai benang merah yang menjembatani kita menalari sebab akibat.

Teks visual Pertama, beberapa laki-laki menggunakan sinsaw sedang menebang pohon di atas perbukitan. Dalam komposisinya, teks visual ini berada diurutan teratas yang mungkin dimaksudkan sebagai penyebab.

Teks visual kedua adalah visualisasi (seingat saya. Maaf kalau keliru) seuneubok. Sungai, hamparan sawah dan perkebunan rakyat dan dataran rendah pedesaan dengan perempuan sedang beraktifitas di sungai. teks visual ini adalah penyeimbang antara sebab dan akibat. Yang terkandung dalam teks visual ketiga yaitu beberapa anak sedang girang bermain lumpur yang saya sebutkan di atas.
Ketiga teks visual ini mempunyai ‘irama yang lurus’, hingga menciptakan struktur  teks visual berpola rantai.  Pembongkaran realitas ala Mahdi mengenyampingkan penggunaan symbol. Mahdi melihat sebab-akibat perusakan lingkungan secara polos. Sayangnya saya belum menemukan lukisan itu meskipun sudah meng-google-kannya. Sehingga, saya belum berani terlalu jauh menerka.
Namun demikian, kembali pada apa yang disampaikan oleh Jesse Grayman dan Reza Idria malam itu, pola montase W. Benyamin adalah sebuah alat yang dihasilkan dari evolusi teori Marx dalam kurun waktu yang lama. Bedanya, kalau Marx menargetkan revolusi sebagai hasil akhir teori-teori pertentangan kelasnya, W. Benyamin mencukupkan  diri pada alat penggugah kesadaran baru.
Menulis adalah alat tentu saja. Struktur teks yang amburadul juga menghasilkan kesadaran yang lebih kacau juga. Ini menjadi catatan bagi saya sendiri.

Meskipun diskusi kelas malam itu berjalan hampir dua jam lebih, saya tidak menangkap semua.terutama soal bagaimana Marx membongkar kapitalisme. Ini diskusi berat namun terlalu renyah diperbincangkan dengan bumbu-bumbu realitas yang dikemukan peserta kelas. Dengan modal teori seadanya, agak rumit memahami apa yang diinginkan Marx untuk merobohkan bangunan kapitalisme. Ke depan, kelas saya kira menghadirkan filsuf sedapat mungkin jika diperlukan dan berkaitan dengan penulisan. Walau, untuk memahami kondisi sosial sekarang kita amat butuh mereka dalam menajamkan analisis, daya kritis hingga terbukanya wacana berpikir.

Mungkin harus ada kelas khusus diperuntukkan untuk membahas ini. Agar semua peserta kelas bisa aktif mencurahkan pikiran-pikiran yang ia pahami benar. Demikian saya kira.

Oh iya, kalau ada lukisan karya Mahdi Abdullah ‘benang merah’ itu, mohon diposting di sini. Agar tidak saya bisa merevisi tulisan ini. 

Terimakasih.


Monday, February 13, 2017

Menyeberang Pagi di Banda Aceh

Dalam seegelas kopi, kulayarkan puisi
Tanpa diaduk lansung kutenggak

Monday, September 19, 2016

Angin Malam di Lueng Bata

Senja diantar ke tempatnya hari itu, persis saat seorang ketua sebuah partai politik memarahi sopir pick-up. Karena menjadikan haĺaman kantor sebagai parkiran. Urusan sepele akan terus diselesaikan dengan energi ganda. Padahal, Azan Magrib dan lampu jalan berlomba-lomba menguasai Lueng Bata dalam gelap yang masih putik itu.

Warung nasi riuh dengan sendok dan piring beradu. Seperti ciuman sepasang kekasih yang baru jadian kemarin sore. Sehingga, Secangkir kopi yang diseduh oleh Buruh bangunan, tetap pahit meski berton-ton gula dilarutkan.

Angin dari Blang Cut membentur tembok ruko sepanjang jalan Tgk Imum Lueng Bata dengan debu-debu tak bertenaga. Bendera partai nasional yang gerah dengan asap kendaraan, mulai lesu saat azan Isya bersiap-siap hendak dikumandangkan. Seorang kader partai berorasi di depan tukang las terali tentang visi partai, sambil garuk pantat. Mulutnya yang dibuka lebar-lebar saat berseru "partai Anak bangsa, wahai saudaraku!", Ibarat mulut kota memuntahkan alat peraga kampanye politik di perbatasan. Spanduk ucapan selamat lebaran, baliho dukungan dan poster-poster, menyambut penumpang L300 dengan gairah nakal.  Terminal minibus tak henti-henti melumat kendaraan yang datang dari luar kota.

Wangi bu gureng malam itu tak sempat dinikmati seorang calon gubernur sebab keburu pergi. Panggilan dewan pimpinan pusat partai di Jakarta, lebih utama daripada makan malam.

Lueng Bata hingga ke pagi besoknya belum sempat kupuisikan dengan hebat. Karena, kata demi kata pergi bergabung ke dalam baris kalimat penguat dalam janji-janji Pilkada. Braat!!




Menolak Jawai