senirupa

Monday, September 19, 2016

Angin Malam di Lueng Bata

Senja diantar ke tempatnya hari itu, persis saat seorang ketua sebuah partai politik memarahi sopir pick-up. Karena menjadikan haĺaman kantor sebagai parkiran. Urusan sepele akan terus diselesaikan dengan energi ganda. Padahal, Azan Magrib dan lampu jalan berlomba-lomba menguasai Lueng Bata dalam gelap yang masih putik itu.

Warung nasi riuh dengan sendok dan piring beradu. Seperti ciuman sepasang kekasih yang baru jadian kemarin sore. Sehingga, Secangkir kopi yang diseduh oleh Buruh bangunan, tetap pahit meski berton-ton gula dilarutkan.

Angin dari Blang Cut membentur tembok ruko sepanjang jalan Tgk Imum Lueng Bata dengan debu-debu tak bertenaga. Bendera partai nasional yang gerah dengan asap kendaraan, mulai lesu saat azan Isya bersiap-siap hendak dikumandangkan. Seorang kader partai berorasi di depan tukang las terali tentang visi partai, sambil garuk pantat. Mulutnya yang dibuka lebar-lebar saat berseru "partai Anak bangsa, wahai saudaraku!", Ibarat mulut kota memuntahkan alat peraga kampanye politik di perbatasan. Spanduk ucapan selamat lebaran, baliho dukungan dan poster-poster, menyambut penumpang L300 dengan gairah nakal.  Terminal minibus tak henti-henti melumat kendaraan yang datang dari luar kota.

Wangi bu gureng malam itu tak sempat dinikmati seorang calon gubernur sebab keburu pergi. Panggilan dewan pimpinan pusat partai di Jakarta, lebih utama daripada makan malam.

Lueng Bata hingga ke pagi besoknya belum sempat kupuisikan dengan hebat. Karena, kata demi kata pergi bergabung ke dalam baris kalimat penguat dalam janji-janji Pilkada. Braat!!




Menolak Jawai