Nuga Art & Exhibition yang digelar di Bivak Emperom pada Minggu 31 Juli- 2 Agustus 2016, bisa diikuti oleh siapa pun non perupa atau non seniman. Terbuka untuk umum tanpa bea masuk.
Setelah workshop bersama selesai, karya ini akan dipamerkan di Bivak Emperom pada 3 Agustus 2016. pameran akan berlansung di area Bivak Emperom. Baik indoor dan outdoor. Tidak ada karya buruk di sini. Apresiasi sesama perupa berlansung dalam suasana 'hari raya visual'.
Medium Nuga (kayu sisa) diakrabi perupa dengan cat dan pahat. Melukis di atas Nuga masih mendominasi. Satu dua yang menggunakan pendekatan seni kriya. Apa pun itu, Nuga setelah mendapat sentuhan tangan perupa, menjelma karya seni. Komunitas dan peserta personal larut dalam dialog subjek-objek. Dialog ini seakan merekam jejak senirupa Aceh seperti kata Tu-ngang dalam pidato pembuka workshop, "belum bisa bisa keluar dari jebakan warna dasar".
Saya sendiri tidak melihat warna dasar sebagai simbol terisolasinya gerakan perupa Aceh 5 tahun terakhir. Malah, penggunaan warna dasar mewakili kejujuran ungkap, Otentik dan belum terkontaminasi.
Peniadaan tema dalam workshop ini adalah usaha membangun kemerdekaan ekspresi perupa dalam menuangkan ide dan ungkapan. Sebab, peserta punya modal tema sendiri. Karya bercorak dekoratif bersanding dengan gaya kartun dan mural instalatif. Ragam corak tersebut berkontribusi meluaskan wilayah visual Aceh, yang selama ini tergusur oleh lahan politik lokal yang menggiurkan.
Di balik itu semua, dan yang paling penting dicatat adalah, berkumpulnya masyarakat dan perupa di Bivak Emperom. Artinya, ekspresi bukan lagi monopoli seniman. Masyarakat disediakan wadah penampung ungkapan atas apa yang dirasa, dilihat dan dialami. Soal ekspresi sarat kutukan terhadap pemerintah misalnya, itu urusan nomor dua. Daripada kita terpola berekspresi 5 tahun sekali dalam bilik suara untuk memilih caleg, menuangkan dalam karya seni, jauh lebih bermartabat.
Menolak Jawai