Ini adalah tulisan tahun 2014-an lalu saat kami ikut kelas menulis Do Karim, Komunitas Tikar Pandan di Banda Aceh.
Di bawah ini adalah ringkasan bahan ajar yang harus kami pahami dan menuliskannya.
Kelas masih membahas tentang bagaimana meramu fragmen teks
yang tercerai berai. Kehadiran antropolog Jesse Grayman malam itu kian menambah
pengetahuan baru tentang metode interteks. Jesse merujuk pada The Arcade
Project-nya Walter Benyamin. Pola montase Walter Benyamin menjadi acuan
bagaimana bangunan-bangunan produk masalalu berada dalam realitas kekinian itu
ketika dilihat dalam konteks montase ala Walter Benyamin, memunculkan pemahaman
dan penafsiran baru. Montase sendiri
adalah komposisi visual yang dihasilkan dari percampuran beberapa
unsure.
Dalam memproduksi teks, pola montase sangat dimungkinkan
penerapannya. Karena pemahaman bisa timbul dari persinggungan-persinggungan
beberapa teks yang berhasil diramu.
Saya teringat pada lukisan Mahdi Abdullah yang kalau tidak
salah ingat, judulnya ‘Benang Merah’. Mahdi dalam lukisan itu menghadirkan secara
mencolok beberapa anak sedang bermain lumpur pekat hitam kecoklat-coklatan. Seorang
anak yang berdiri paling depan menghadap penikmat lukisan memegang benang merah
dan tersenyum. Senyum itu tentu bebas ditafsir.
Lukisan yang saya lihat saat pameran tunggalnya di epicentrum
Ulee Kareng beberapa tahun lalu itu, awalnya memang terlihat biasa jika abai
terhadap detil teks visual. Ada 3 teks visual sebagai benang merah yang
menjembatani kita menalari sebab akibat.
Teks visual Pertama, beberapa laki-laki menggunakan sinsaw
sedang menebang pohon di atas perbukitan. Dalam komposisinya, teks visual ini
berada diurutan teratas yang mungkin dimaksudkan sebagai penyebab.
Teks visual kedua adalah visualisasi (seingat saya. Maaf
kalau keliru) seuneubok. Sungai,
hamparan sawah dan perkebunan rakyat dan dataran rendah pedesaan dengan
perempuan sedang beraktifitas di sungai. teks
visual ini adalah penyeimbang antara sebab dan akibat. Yang terkandung dalam
teks visual ketiga yaitu beberapa anak sedang girang bermain lumpur yang saya
sebutkan di atas.
Ketiga teks visual ini mempunyai ‘irama yang lurus’, hingga
menciptakan struktur teks visual berpola
rantai. Pembongkaran realitas ala Mahdi
mengenyampingkan penggunaan symbol. Mahdi melihat sebab-akibat perusakan
lingkungan secara polos. Sayangnya saya belum menemukan lukisan itu meskipun
sudah meng-google-kannya. Sehingga, saya belum berani terlalu jauh menerka.
Namun demikian, kembali pada apa yang disampaikan oleh Jesse
Grayman dan Reza Idria malam itu, pola montase W. Benyamin adalah sebuah alat
yang dihasilkan dari evolusi teori Marx dalam kurun waktu yang lama. Bedanya,
kalau Marx menargetkan revolusi sebagai hasil akhir teori-teori pertentangan
kelasnya, W. Benyamin mencukupkan diri
pada alat penggugah kesadaran baru.
Menulis adalah alat tentu saja. Struktur teks yang amburadul
juga menghasilkan kesadaran yang lebih kacau juga. Ini menjadi catatan bagi
saya sendiri.
Meskipun diskusi kelas malam itu berjalan hampir dua jam
lebih, saya tidak menangkap semua.terutama soal bagaimana Marx membongkar
kapitalisme. Ini diskusi berat namun terlalu renyah diperbincangkan dengan
bumbu-bumbu realitas yang dikemukan peserta kelas. Dengan modal teori seadanya,
agak rumit memahami apa yang diinginkan Marx untuk merobohkan bangunan
kapitalisme. Ke depan, kelas saya kira menghadirkan filsuf sedapat mungkin jika
diperlukan dan berkaitan dengan penulisan. Walau, untuk memahami kondisi sosial
sekarang kita amat butuh mereka dalam menajamkan analisis, daya kritis hingga
terbukanya wacana berpikir.
Mungkin harus ada kelas khusus diperuntukkan untuk membahas
ini. Agar semua peserta kelas bisa aktif mencurahkan pikiran-pikiran yang ia
pahami benar. Demikian saya kira.
Oh iya, kalau ada lukisan karya Mahdi Abdullah ‘benang
merah’ itu, mohon diposting di sini. Agar tidak saya bisa merevisi tulisan ini.
Terimakasih.