senirupa

Thursday, October 27, 2022

Kelas menulis Do Karim. Versi Subvesif



Ini adalah tulisan tahun 2014-an lalu saat kami ikut kelas menulis Do Karim, Komunitas Tikar Pandan di Banda Aceh.

Di bawah ini adalah ringkasan bahan ajar yang harus kami pahami dan menuliskannya. 

Kelas masih membahas tentang bagaimana meramu fragmen teks yang tercerai berai. Kehadiran antropolog Jesse Grayman malam itu kian menambah pengetahuan baru tentang metode interteks. Jesse merujuk pada The Arcade Project-nya Walter Benyamin. Pola montase Walter Benyamin menjadi acuan bagaimana bangunan-bangunan produk masalalu berada dalam realitas kekinian itu ketika dilihat dalam konteks montase ala Walter Benyamin, memunculkan pemahaman dan penafsiran baru. Montase sendiri  adalah komposisi visual yang dihasilkan dari percampuran beberapa unsure.

Dalam memproduksi teks, pola montase sangat dimungkinkan penerapannya. Karena pemahaman bisa timbul dari persinggungan-persinggungan beberapa teks yang berhasil diramu.

Saya teringat pada lukisan Mahdi Abdullah yang kalau tidak salah ingat, judulnya ‘Benang Merah’. Mahdi dalam lukisan itu menghadirkan secara mencolok beberapa anak sedang bermain lumpur pekat hitam kecoklat-coklatan. Seorang anak yang berdiri paling depan menghadap penikmat lukisan memegang benang merah dan tersenyum. Senyum itu tentu bebas ditafsir.

Lukisan yang saya lihat saat pameran tunggalnya di epicentrum Ulee Kareng beberapa tahun lalu itu, awalnya memang terlihat biasa jika abai terhadap detil teks visual. Ada 3 teks visual sebagai benang merah yang menjembatani kita menalari sebab akibat.

Teks visual Pertama, beberapa laki-laki menggunakan sinsaw sedang menebang pohon di atas perbukitan. Dalam komposisinya, teks visual ini berada diurutan teratas yang mungkin dimaksudkan sebagai penyebab.

Teks visual kedua adalah visualisasi (seingat saya. Maaf kalau keliru) seuneubok. Sungai, hamparan sawah dan perkebunan rakyat dan dataran rendah pedesaan dengan perempuan sedang beraktifitas di sungai. teks visual ini adalah penyeimbang antara sebab dan akibat. Yang terkandung dalam teks visual ketiga yaitu beberapa anak sedang girang bermain lumpur yang saya sebutkan di atas.
Ketiga teks visual ini mempunyai ‘irama yang lurus’, hingga menciptakan struktur  teks visual berpola rantai.  Pembongkaran realitas ala Mahdi mengenyampingkan penggunaan symbol. Mahdi melihat sebab-akibat perusakan lingkungan secara polos. Sayangnya saya belum menemukan lukisan itu meskipun sudah meng-google-kannya. Sehingga, saya belum berani terlalu jauh menerka.
Namun demikian, kembali pada apa yang disampaikan oleh Jesse Grayman dan Reza Idria malam itu, pola montase W. Benyamin adalah sebuah alat yang dihasilkan dari evolusi teori Marx dalam kurun waktu yang lama. Bedanya, kalau Marx menargetkan revolusi sebagai hasil akhir teori-teori pertentangan kelasnya, W. Benyamin mencukupkan  diri pada alat penggugah kesadaran baru.
Menulis adalah alat tentu saja. Struktur teks yang amburadul juga menghasilkan kesadaran yang lebih kacau juga. Ini menjadi catatan bagi saya sendiri.

Meskipun diskusi kelas malam itu berjalan hampir dua jam lebih, saya tidak menangkap semua.terutama soal bagaimana Marx membongkar kapitalisme. Ini diskusi berat namun terlalu renyah diperbincangkan dengan bumbu-bumbu realitas yang dikemukan peserta kelas. Dengan modal teori seadanya, agak rumit memahami apa yang diinginkan Marx untuk merobohkan bangunan kapitalisme. Ke depan, kelas saya kira menghadirkan filsuf sedapat mungkin jika diperlukan dan berkaitan dengan penulisan. Walau, untuk memahami kondisi sosial sekarang kita amat butuh mereka dalam menajamkan analisis, daya kritis hingga terbukanya wacana berpikir.

Mungkin harus ada kelas khusus diperuntukkan untuk membahas ini. Agar semua peserta kelas bisa aktif mencurahkan pikiran-pikiran yang ia pahami benar. Demikian saya kira.

Oh iya, kalau ada lukisan karya Mahdi Abdullah ‘benang merah’ itu, mohon diposting di sini. Agar tidak saya bisa merevisi tulisan ini. 

Terimakasih.