dari atap lantai dua
apakah nasib bisa diterka dengan benar?
jika matahari seolah-olah tanpa belas kasihan
dari gedung ke gedung di kota ini
kita tak pernah menabung peluh
untuk melicinkan masadepan
karena keadaan menelantarkan kita
dalam kalender-kalender tidak resmi
tanpa upah bulanan selayak pegawai
tapi, pada adukan semen
kita menafsirkan warna-warna kelabu
sebagai bentuk paling primitif
dari keterbatasan kita membaca harapan
di kedalaman drainase kota
kita lebarkan ingatan tentang alasan
bahwa anak istri mesti tetap makan
walau upah pas-pasan.
5 februari 2011
lamteumen