senirupa

Monday, September 6, 2010

Adik perempuan dan logika kejengkelan



ke hadap Misria adikku

Ada beberapa masalah besar yang mengendap seperti ampas kopi sisa, mengakui kecurigaan orang tak ubahnya secawan kopi kurang gula.

Kita tahu tak mudah memberi argumen dalam keterjepitan, jalan keluar, tentu saja melabrak meja.
Karena kita tak beda jauh dengan pelatuk yang melesatkan peluru. Kita ditinggalkan orang-orang tersayang, terseok-seok mengemis buaian. Menanti mereka di ujung malam, melambai-lambai dengan sapu tangan. jangan bersedih, walau kita sisa-sisa, aku memastikan tetap rukun walau kerap bertengkar. itulah tanda, rumah dan meja makan selalu tersaji hangatnya tukar pikiran.bagai kasih tak lazim, kita mesti memelihara senyum, mengabaikan benci. Dan kalau perlu menyediakan ruang bagi pemusnahan amarah.kita adalah prototip ibu kita yang tidak mau dipojokkan. Maka, menangis satu-satunya jalan keluar.

Aku pikir , aku sudah tak berairmata lagi. Cinta saja tak tahu harus aku kemanakan, apakah aku campakkan ke dinding atau kulempar ke muka seorang perempuan. pantas jika kau curigai aku sebagai sikeras hati yang tak bosan mabuk puisi.
Benar katamu, aku perlu diwaspadai jika sedang mengata-ngatai orang.tapi aku tak selamanya membenci apa-apa yang bagiku tak layak untuk terus dibenci, meskipun itu musuh sendiri.
Rumah kita bagiku adalah tempat di mana aku bisa diterima dengan ikhlas. Walau aku kurang dalam banyak hal.pesanku, sekali waktu kau mesti memaki, atau beristighfar. Ketika situasi menjepitmu di pojok perdebatan.

Aku hanya butuh damprat yang tepat.dan sekali waktu kelak kau akan menemukanku di panggung sedang menyerapahi ketimpangan . aku berharap kau tetap bertepuk tangan.
Aku tak terlalu pandai menggambarkan nasib sial. Bagiku takdir sudah Tuhan tetapkan. Kita hanya membolak-balikkan saja, walau itu bukan perkara gampang. Puisi saja tak cukup. Mestilah kita bertindak lebih. Karena hidup berjalan sesuai penentuan yang maha kuasa atas segala.kita hanya diberi insting yang agak lebih dari Binatang.di sekolahmu pun tak diajari cara membedakan itu, bukan?

Pengajaran bagiku adalah rumah menyenangkan. Di mana kita mengistimewakan kepentingan bersama. Bukan hanya bicara budi pekerti baik saja. Tapi memindahkannya ke kehidupan nyata. Karena hidup tidak saja cukup ketika uang mampu memenuhi hasrat-hasrat konsumtif. Kita tetap jadi orang miskin hari ini. Kalau di hatimu masih menyisakan anggapan keliru tentang kegunaan alat pembayaran. Anggapan salah tentang benda-benda mahal yang memenuhi ruang tamu dan meja makan.

bukan berarti aku ingin dimiskinkan saja, tidak sekali-kali. aku juga butuh makan, mengunyah daging atau menyeruput segelas Wine. dan memanjakan diri di dalam kamar yang nyaman. aku butuh kasur empuk butuh alat komunikasi canggih, tapi bukan semata-mata itu. kadang hidup sangat layak ditertawakan selama ia sudah menguasai jalan lurus menuju tempat di mana kita semua dikumpulkan.

aku tanyakan, agama bagimu untuk apa?. hanya sebagai penghias mimbar? atau sekedar pajangan ceramah-ceramah pengisi waktu luang sesaat sebelum azan?. kalau itu fungsi agama, aku persilakan engkau berbuat sesuka hati, mengencingi ayat-ayat suci, atau merobohkan surau di kampung kita. silakan saja. toh agama tak mempunyai pasukan khusus untuk menghadang niatmu,tapi agama tak sesederhana yang kumaksud, ia punya tatanan bertingkat hanya saja aku masih terlalu bodoh untuk bicara ajaran Tuhan.
aku bukan atheis atau Marxis yang ditakutkan orang. dan jangan sekali-kali mencurigai aku sebagai Komunis.aku anak manis yang suka melawan,jika sebuah ideologi tak sesuai pikiran.disusup sembarangan ke dalam kepalaku yang sering ketombe-an. 
"adikku, tidurlah" by. Idrus Bin Harun


Aku anak ibumu yang baik-baik
dilahirkan dalam era di mana sesuatu masih sangat ajaib dan sentralisasi masih kuat. dan masyarakat masih sangat instan, se- instan bubuk kopi seduh. dibesarkan dalam tahun-tahun yang memilukan, tatkala kampung sering didatangi artis ibukota . untuk menghibur kita yang ketakutan dilanda prahara dan jam-jam malam penuh penghilangan paksa.
di tahun-tahun tersebut semua berjalan sesuai intruksi dari atasan. kantor-kantor dipenuhi orang-orang alim bermuka ular, jika kau sibak cadarnya.pos-pos pemeriksaan bertebaran tiap jalan. memanjang seperti ular, mengikuti liuk sepanjang kenangan kami yang serba hitam.
tahun-tahun yang memberi kita pelajaran, pelajaran bagi jiwa-jiwa kita yang kasar, bahwa sejarah mesti dibawa ke permukaan. dikabarkan ke pusat-pusat kekuasaan. ditempelkan selembar perangko berdawat merah. dari darah saudara kita yang telah berpulang karena penyiksaan. saudara kita yang pergi karena peluru tajam yang sengaja dinyasarkan. kita dianjurkan memaki untuk kondisi ini. kondisi stabil di permukaan, namun bergolak di dalam.
kuburan-kuburan massal terkuak dan berbicara panjang lebar mengenai sistem pemusnahan massal terselubung. maka aku harap kau tak taat pada aturan dan segala anjuran serta simbol-simbol kekuasaan. demi mereka yang telah pergi.
maka jangan heran,jika hari ini aku tidak terlihat dalam barisan pengantri nomor ujian tes kepegawaian.aku sudah menceraikan itu dari pikiran.

begitulah, walaupun begitu, aku ingin suatu saat ketika kau mampu memahami aku, ajaklah aku berdiskusi kembali, kita bicarakan kebun di rumah kita yang luas dan pohon melinjo yang menghasilkan uang. atau tentang rumpun bambu yang gemulai dimainkan angin laut belakang rumah kita. ceritakan padaku lembut nyiur yang melambai, dan dengan itulah ibu menghaluskan citarasa batin kita. walau ibu telah tiada, cintanya tetap terbawa. dan suatu saat akan ku kalungkan pada perempuan berleher jenjang. kubisikkan nyanyian alam dan cericit unggas di musim sawah, cintanya adalah serupa cinta ibu kita. cinta yang proporsional dan penuh perhatian.
dan aku tahu kau akan menyematkan cinta itu ke dada bidang laki-laki yang mencintaimu dengan tanggung jawab besar.bukan cinta yang semata-mata sebagai alat untuk dapat menidurimu dan makan gratis di rumah kita yang serba kurang.
Maka, izinkan kau menuntaskan ini dengan tulisan. sebagai pelengkap debat kita di meja makan, saat hujan sering menjebol atap rumbia dapur kita, saat jangkrik-jangkrik berpesta dalam gelap kampung. saat mata masih belum bisa kita pejamkan. dan saat samudera belum bisa membawa pulang abang kita yang telah lama hilang.
hanya yang tersisa dariku adalah cinta dan kasih sayang, serupa bulan. serupa matahari. dan banyak lagi rupa-rupa yang jujur dan ikhlas berkorban. hanya untukmu adikku. adik perempuanku. peninggalan ibu.

1 syawal 1430 H. rumahku di meureudu