senirupa

Monday, April 28, 2014

Kami Santai Orangnya



kopi sareng Aceh
Hingga mencapai usia ke 809 tahun, Banda Aceh seperti gadis tiga puluh tahunan yang terus meremajakan diri dengan selalu tampil bergaya mutakhir. Penanda kota tumbuh dan dipugar menyesuaikan diri dengan laju perkembangan masyarakatnya yang kian moderen. Kota dengan sentuhan estetika sarat aksen lokal itu berkembang menyesuaikan diri dengan perkembangan karakter masyarakatnya. 


Meskipun akrab dikenal sebagai kota seribu mesjid, Banda Aceh ibarat kota di Eropa dengan kehidupan masyarakatnya yang terlihat santai menjalani hiup. Budaya jep kupi  atau ngopi misalkan, rutinitas ini kian kuat mengakar dalam pola hidup kami di Banda Aceh. seiring meluasnya kota dibuka hingga hampir mencapai gerbangnya; Lambaro. Budaya jep kupi juga kian mendapat tempat di hati kami saat disambut dengan menjamur warung kopi yang amat tidak sulit ditemukan di seantero Banda Aceh. 

Kebiasaan nongkrong di warung kopi yang tumbuh dalam masyarakat kami baik itu di kampung-kampung pedalaman hingga ke pusat kota, ramai dianggap orang sebagai bentuk kemalasan dan buang-buang waktu. Tentu tidak benar demikian. 

Warung kopi selain menyediakan kopi dan penganan khas dengan suasana khas, menjadikan warga kami Banda Aceh menjadi amat mudah berbaur dalam keberbedaan. Dalam bahasa lain kami hidup di tengah pluralitas baik itu secara etnisitas, agama, dan bahkan kewarganegaraan. Di atas semua itu, kami santai menerima semua kebaruan yang datang ke kota kami. Baik itu cara pandang suatu masalah, budaya, hingga yang bersinggungan dengan politik. Tidak heran jika pada masanya dulu, Banda Aceh menjadi pusat perniagaan antar bangsa. Hal itu kini bergeser ke warung-warung kopi. 

Budaya ngopi yang mengakar dalam keseharian kami terbawa hingga cara kami menerima tamu. Sejalan dengan tagline promosi wisata kota Banda Aceh; peumulia jamee adat geutanyoe. Yang bermakna, memuliakan tamu, adat kita. Dalam budaya terkini, kami sering menerima tamu kebanyakan di warung kopi sebelum diajak ke rumah. Kenapa demikian? Karena warung kopi bukan ruang pribadi yang memungkinkan tamu malu-malu. Warung kopi tempat privasi masing-masing kami hormati, Walau itu ruang publik. 

Beberapa tahun lalu, di sebuah warung kopi tepi sungai Aceh di pusat kota, seorang aktris senior ibukota yang memerankan tokoh Cut Nyak Dhien ngopi di sana. Kehadirannya yang tentu saja berpenampilan berbeda dari kebanyakan pengunjung lain, menjadi daya tarik bagi kami. Namun, hingga ia menghabiskan tegukan kopi terakhir, tak ada orang yang datang ‘menggangu’ meskipun untuk minta foto bareng hingga minta tanda tangan. Ia disambut sealamiah mungkin sebagai seorang pengunjung warung kopi. Tanpa melihat latar belakangnya. 

Santai saja. mungkin Banda Aceh tidak seartistik Yogja juga tidak seeksotis Bali secara keseluruhan. Namun, di mana pun itu, tidak mudah menolak aroma kopi Aceh yang disaring pagi-pagi. Belum lagi kenikmatan sanger dengan roti srikaya disandingkan sore hari dalam suasana hangat penuh kekeluargaan. Juga bagaimana mampu mengikis memori tentang aroma kopi Gayo yang diracik secara murni dan disuguhkan malam hari menikmati gelap yang turun pelan-pelan menggenapi dingin Kutaraja.

Warung kopi bisa dikatakan sebagai tempat kami memugar kembali tali kekeluargaan yang sempat terputus kala konflik panjang mendera Aceh satu dekade lalu. Di tengah perdamaian yang mulai bertunas ini, kehadiran warung kopi secara massif kian memperkuat komitmen untuk memupuk kebersamaan tanpa diembel-embeli ras dan suku bangsa. Banda Aceh sebagai miniatur Aceh dan bahkan Indonesia, tidak ingin terjebak dalam kesempitan sudut pandang dalam memandang keberbedaan. 

Sebagai kota peninggalan para raja, kami warganya tetap santai dan merdeka dalam mengekspresikan diri di meja-meja kopi hingga ke jauh malam. Semua hal diperbicangkan di sana sedemikian rupa hingga meledak tawa dan larut dalam kepulan asap kopi panas. Warung kopi menjadi salah satu tempat merawat ingatan dengan obrolan-obrolan hangat yang mungkin tidak terpecahkan di majelis wakil rakyat. 

Bagimana pun, kalau belum pernah sampai di Banda Aceh untuk sekali saja, sulit rasanya merasakan atmosfer santai. Karena, hidup di kota besar yang sedang tumbuh pesat melaju bagai deru pesawat. Cepat dan tak menunggu. Namun, warung kopi menyelamatkan kami dari ketergesa-gesaan. 

Untuk itu, kami menunggu di Kutaraja.  Jak laju!


 Bivak Emperom, 28042014