senirupa

Saturday, November 27, 2010

Abangku (dia hanya seorang nelayan)


Kau pernah berjanji akan kembali Bila angin selat Malaka pada saatnya mengecup bibir Ulee lheue, memberikan tangannya yang gemulai. Itu janjimu dulu, saat gelombang merapat ke hatiku. Aku berharap engkau ditakdirkan terus mengingatku saat subuh-subuh engkau berangkat. Dengan sebungkus kopi pahit, sepahit langkah mentari pagi menyingkirkan awan pekat pertanda musim mulai tak bersahabat. 

Dengan apakah kuantarkan berita tentang perasaanku yang mulai dapat mengerti kehilangan ini, Di pusaran ombak pantai, aku tak mampu menuliskan sesuatu sebelumnya, setelah aku tahu, aku tak akan mendapatkan kabar baik apa-apa tentang nasibmu. 

Aku tak seberuntung angin, Apakah aku akan dapat menjumpaimu sekali saja?. Meraba bekas parut di lengan kanan. Sebab aku yakin segalanya mesti meninggalkan bekas, baik tentang rambutmu yang sering dimainkan angin nakal pesisir pantai. Maupun tentang ayam-ayam peliharaanmu yang kerap aku jadikan mainan. Itu dulu, sekarang aku sendiri memandangi gambar-gambarmu di dinding hatiku yang kian buram untuk mengingat bagaimana senyummu memikat banyak perempuan. 

Semuanya telah pergi, tidak berapa lama engkau berangkat, mereka membawa masing-masing kasih sayang dan cinta. Kami ditinggalkan, dalam ketergesaan yang berat. Surat-surat lama tentang kekasihmu sudah aku bakar, aku tak mau kenangan menagih waktuku.

Aku berpikir sesuatu mesti menjadi abu. Meskipun hari ini aku buatkan kamu puisi, aku yakin ini bagian dari kebisuan. Karena aku tak seberapa mahir mengungkapkan rasa sedih atau sejenisnya, aku telah beberapa kali remuk setiap menghabiskan waktu di tepi pantai. Lalu, rumah panggung yang dulu membesarkan kita, telah roboh seiring waktu menggantikan kulit musimnya, tapi aku selalu berusaha menjenguk masalalu kita dengan sedikit tersayat di dada. Jangan ragu aku tak menangis lagi seperti waktu itu, Sekali-sekali, kabarkan aku lewat mimpi. 

  27 november 2010