senirupa

Thursday, January 13, 2011

berbagi kesadaran di bawah pohon rindang





Kesadaran adalah soal pilihan yang jika anda mengikuti ujian untuk suatu lamaran tes CPNS atau sebagainya disediakan empat pilihan. Dalam kehidupan nyata, sebuah pilihan kerap tersedia dalam banyak ragam dengan segala konsekuensi. anda boleh memilih untuk tidak sadar atawa berbuat dengan kesadaran yang tidak dibuat-buat. terserah, yang pasti di negeri ini kesadaran sudah seperti minyak tanah dan bensin, mengalami kelangkaan akut. 
dulu di sekolah tentu kita tak akan pernah lupa dengan daftar piket petugas kebersihan kelas (selain daftar mata pelajaran dan gambar pahlawan yang ditempelkan berdekatan), yang saban hari mesti membersihkan ruangan kelas selepas pulang sekolah secara keroyokan. atau besoknya datang pagi-pagi sekali agar dapat menyelesaikan salahsatu tugas mulia di sekolah. dan pastinya akan mendapat ocehan atau hukuman dari guru jika kebersihan kelas tidak kita laksanakan. 

akan berbeda situasinya kalau sekolah mempunyai tukang sapu yang khusus dibayar untuk tugas tersebut, bagaimana dengan sekolah yang keuangannya pas-pasan?, maka menjadi tugas siswa untuk menjalankannya. setiap siswa berbeda dalam memandang tugas membersihkan kelas tersebut, ada siswa acuh tak acuh dengan itu, dengan alasan itu bukan merupakan tugas siswa, tapi tugas penjaga sekolah. juga ada yang samasekali tidak terpengaruh dengan pendapat siswa yang acuh tak acuh. mereka menjalankan tugas tersebut penuh keikhlasan, bisa dipastikan ini kelompok siswa pecinta kebersihan dan keindahan. mereka bekerja atas rasa ikhlas. guru tidak mau dengan perbedaan pendapat dan cara pandang siswanya, mereka hanya mau tau kelas harus bersih dan nyaman ketika pagi-pagi ia datang memberi mata pelajaran. dan ia inginkan siswa bekerja sesuai daftar piket yang sudah ada. sekolah membiasakan dan melatih kesadaran kita dengan cara yang sedikit kaku.
tapi bukan masalah, aturan di sekolah bukan refresentasi sikap guru. aturan sekolah diciptakan untuk menegakkan ketertiban dan kedisiplinan yang kerap kita dengar nyaris setiap hari di era ordebaru dulu. kebutuhan akan aturan yang dapat dipatuhi secara kolektif tentu saja mesti melibatkan semua pihak dalam komunal sekolah dalam merumuskan aturan. tapi sudahlah itu suatu keluputan birokrasi yang ingin menegakkan aturan tanpa mengerti psikologi social.
seberapa pun buruknya sesuatu, pasti masih menyisakan satu kebaikan.
saya teringat satu quote yang mengatakan begini; ‘anak-anak butuh contoh teladan, bukan kritik’. kami betulbetul tersadarkan suatu ketika atas sikap yang diperlihatkan kepala sekolah kami (sudah pasti ini oknum) yang humoris. pagi itu, ia datang agak cepat dari biasanya, kami sebagai murid kelas tiga SD tidak begitu hirau dengan daftar piket. kami keasyikan kejar-kejaran. sementara kepala sekolah kami sibuk memungut sampah yang bertebaran di sepanjang depan ruangan kelas. ia tidak berkomentar atau menyuruh kami untuk ikut membantu dia. seperti tidak terjadi apa-apa dengan dirinya, ia lanjutkan memungut sampah yang rata-rata bungkusan plastic dan kertas bekas. maklum saja, sampah di sekolah tidak jauh-jauh dari kedua benda tersebut. tidak berapa lama, kami dengan sendirinya berhenti main kejar-kejaran pagi itu. dengan diam kami masuk ke kelas. ketika semua sudah berada di dalam kelas, bapak kepala sekolah yang menyenangkan itu masuk dan berdiri di depan, anehnya hanya satu kata keluar dari mulutnya; “buang sampah boleh di mana saja, asal dalam tempat yang sudah di sediakan”. dia keluar melangkah tenang. kami tidak merasa sakit hati karena dikenai hukuman tidak memungut sampah pagi itu, tapi kami merasakan sesuatu menusuk-nusuk perasaan atas sikap kepala sekolah kami pagi itu, besoknya, setiap teman-teman kami dengan senang hati mengorek-ngorek tong sampah dan sampah yang tertimbun tanah. semua berjalan alamiah dan penuh kesadaran. pemaksaan secara tidak lansung dan menusuk itu benar-benar membekas hingga sekarang.
memaksa orang untuk sadar dan menyadari sesuatu bukan perkara gampang, apalagi dengan menggunakan methode ceramah dan khotbah yang memakan waktu panjang dan menyebabkan mual pikiran serta suasana bosan. bayangkan anda dikumpulkan dalam satu majelis lalu disuruh mendengarkan uraian tentang bahayanya buang sampah sembarangan. sudah barang tentu kita akan mempura-purai takzim mendengar, padahal dalam hati mendamprat habis-habisan. apalagi tanpa diskusi untuk menghidupkan atmosfer hangat sebuah rapat. apalagi untuk anak-anak usia sekolah, sudah pasti ini akan menjadi tempat paling membosankan yang pernah mereka temui selama hidup di dunia ini.
di bawah pohon yang berusia ratusan tahun di taman Putroe Phang, pusat kota Banda Aceh, sebanyak 30 orang anak usia sekolah dasar duduk melingkar asyik mendengarkan teman mereka mempresentasikan karangan kecil tentang hewan amphibi.sianak menjelaskan apa itu amphibi dan macam-macam hewan yang masuk klasifikasi hewan amphibi. dengan sedikit gemetar sianak membaca karangannya (kami menyebutnya begitu). tentu saja menggunakan bahasa anak-anak yang polos dan apa adanya. mereka adalah peserta ‘sekolah lingkungan, gampong putroe phang’. yang diadakan dua minggu sekali oleh komunitas sahabat ulu masen. mengajak anak untuk mengenal lingkungannya melalui game edukatif sekaligus informatif. 
begitulah, kesadaran tidak hadir begitu saja ke kepala kita layaknya delivery makanan siap saji. kesadaran tumbuh bukan karena kita dipaksa menelan doktrin-doktrin, ajaran-ajaran, secara mentah tanpa diberi kesempatan untuk mengunyahnya. apalagi untuk anak usia dini, gelombang perubahan di mana pun di dunia ini adalah akumulasi dari kesadaran kolektif, yang penat dengan status quo.
jangan banyak berharap pada orang yang telah dewasa dan secara politis mempunyai macam kepentingan. kesadaran mesti kita tumbuhkan di kepala anak-anak kita. kelak merekalah yang akan memutuskan mata rantai pemikiran kolot dari orang-orang tua kita sekarang yang berada di posisi strategis dalam pemerintahan.
keberlansungan lingkungan kita berada di tangan orang muda dan anak-anak kita, yang mengabarkan kesadaran dengan jalan mereka yang jauh dari sifat birokratis dan mengagungkan formalitas. anak muda yang idealismenya tidak sekolot tokoh partai.

13 Desember 2011
Idrus bin Harun,

.