ujong pancu hari minggu |
apakah kita sedang berperan layaknya sinetron pengantar makan malam. jika ya benar, kita lupa membayar upah atas adegan-adegan pura-pura.
jika seorang penyair mampu menjebak desir angin, kenapa kita tak lekas membenamkannya dalam puisi. untuk menjawabnya, kita mesti membunuh banyak teori, karena menggilai puisi saat sekarat di akhir pekan, adalah jalan keluar bagi basa-basi estetik. merekam masalalu dengan maksud-maksud terselubung belum tentu mengantarkanmu ke rumah para penyair yang serba buram.
namun, ingatkan kembali jika kelak kita sama-sama lunglai dalam perasaan senada. bahwa asmara pernah mengekalkan akar-akarnya dalam hati kita. sepi pernah menawarkan kita secangkir wishky untuk kita tenggak di jam-jam tanpa kesibukan.
kita butuh lelucon demi keakraban. membangkitkan selera humor dari sunyi puisi. lantas menjualnya dalam bentuk antologi. menghimpun amarah dan gusar hati berkali-kali. tapi, ratap-ratap pilu dari qalbu pribadi tak mudah kita enyah selagi masih bersikap individualis.
jangan katakan ini puisi, kita sah menyepakati ini sebilah pisau yang akan membunuh sepi. apalagi di bibir laut yang kebiru-biruan kala senja bersiap-siap pergi, kita dengan mudah mengutarakan maksud-maksud tanpa harus terdoktrin ideologi.
Banda Aceh, 3 Februari 2011.