senirupa

Monday, August 1, 2011

Penanda Sajak Untuk Liya




kita tak pernah lelah mengaminkan doa-doa. melambungkan harapan ke langit mulai fajar hingga ufuk barat memerah.
kemarin
kita selalu berusaha menjadi pemimpi. mengasingkan diri dalam bawah sadar. atau mengajukan bentuk-bentuk mimpi saat membasuh kaki menuju ranjang. segalanya mudah, menciptakan suasana adalah keahlian manusia.
bertemu dengan engkau saat masalalu kubangkitkan kembali di tengah kambuhnya kepikunan, adalah terapi. mengobati ingatan saat malam-malam memanjangkan keangkuhannya, barangkali pertanda aku belum begitu pintar benar membersihkan kenangan. mengibaratkan pertemuan sebagai anugerah, aku rasa tak cukup. mesti ada bekal lain untuk mengait-ngaitkan sejauh mana aku terlihat bodoh jika sedang bicara tentang perasaan. sebab, puisi dari hari ke hari makin menukik ketika kita larut dalam suasana-suasana imitasi. seandainya kita mampu terjun berkali-kali dalam esensi-esensi. jangan harap menjadi bijaksana seketika. harus tenggelam beberapa kali dalam imaji. atau mati sendiri dalam sunyi yang sedikit keji.
maka, kembalilah ke ruang-ruang pengap. agar engkau memahami seperti apa penat. atau, pulanglah sesekali ke rumah tak beralamat, maka akan sadar tersesat.
di sini, sebelum azan menyempurnakan gelap,
kita mesti merapikan ingat
membasuh semangat
menghadap kiblat
hari ini
dengan gamang dan ketidakmampuan ungkap, aku hadir dalam baris dan kalimat sebagai pengusir penat. puisi menderu di kepalaku bagai peluru. aku tuntaskan dengan dawat putus-putus.
kelak, tandailah ini sebagai bentuk apa saja. yang pernah membuat suasana batin terekayasa.
lalu, museumkan dalam kepala. pengganti alarm pengingat rasa.
Magrib. 10 Juli 2011