senirupa

Friday, August 5, 2011

Dan Gadis Kecil Itu Pergi Akhir Desember (Delvi)

Wak dan Delvi
Terakhir kali aku menatap matanya yang bundar seperti globe itu, pada saat matahari belum lagi mendidih. saat kota kami masih berkemas menyambut tahun baru yang sebentar lagi datang . aku mengantarnya pagi-pagi sekali dengan mengayuh sepeda menuju sekolahnya. ia gadis periang yang menyempurnakan warna pelangi di punggung kota kami yang bising klakson mobil. di atas sepeda ia ceritakan tentang sekolahnya yang membosankan dan ibu guru yang rata-rata cerewet.
Delvi, dengan mengenakan seragam merah putih di senin pagi kuantarkan dia ke depan gerbang sekolahnya yang lumayan menarik dengan pagar kawat setinggi dua meter yang belum berkarat. SDN 20 Banda Aceh yang setiap sudutnya pot-pot bunga besar ditanami beragam bunga menyegarkan mata siapa saja. ditambah senyum tulus guru-guru, menambah indah pagi senin sesaat sebelum upacara.
 Delvi sering meminta tambah  jajan lagi  sama saya meskipun ibunya sudah membekali dengan
sebotol teh manis dan sebungkus nasi goreng buatan sendiri ditambah uang jajan untuk jaga-jaga sebesar tiga ribu rupiah. sebenarnya sudah lebih dari cukup. tapi Delvi masih merengek minta tambah pada saya. bagaimanapun, saya jarang menolak permintaannya. Sebagai seorang anak yang kesukaannya bermanja, sungguh tidak sampai hati untuk mengecewakan hatinya. hati seorang gadis kecil yang Tuhan titipkan ke tengah keluarga kami, sebagai penyempurna kasih sayang. 
yang paling aku ingat dari tatapannya tatkala ia dibius televisi pagi minggu, film kartun kesukaannya sering membunuh waktunya dari pagi hingga siang hari. namun ibunya tak pernah melarang atau mengusik sedikit pun. aku sering berpikir ini kah bentuk lain kasih sayang yang harus dialirkan itu?. namun aku selalu akan mengingat tatapan dari mata bundar seperti globe itu. mata yang selalu menelan kasih sayang saya mentah-mentah, menelan apa saja yang aku punya manakala ia menangis sehabis saya marahi karena pernah suatu kali ia minta dibelikan siomay sementara saya sedang tidak pegang uang satu rupiah pun. Di atas sepeda ia menangis tak henti-henti hingga mencapai pagar rumah kami yang sederhana. aku perhatikan matanya yang polos dan tak mengada-ada minta dibelikan siomay kesukaannya. kadang kalau saya mengingat kembali hal itu, penyesalan tak bisa kuenyahkan dari pikiran. 
Ia tak pernah malas untuk bangun pagi, selalu dari matanya yang bundar aku temui optimisme, walau kala itu ia masih duduk di kelas tiga sekolah dasar. matanya mengajarkan saya arti semangat untuk selalu ceria di pagi hari. mata yang menyimpan energi. 
Delvi, lahir dari ibu yang juga periang. seorang ibu hitam manis berambut poni sebahu. rambut halus dan hitam pekat. seorang ibu yang terkesan bagai seorang teman bagi ke dua anaknya. dialah kakakku, kakak yang punya selera humor lumayan tinggi. aku katakan demikian karena hampir setiap sore jika ia sedang mengunjungi rumah kami, ia sempatkan diri walau satu atau dua jam untuk menghabiskan kopi dan gorengan di teras rumah sambil haha..

Banda aceh. 2010