senirupa

Sunday, September 4, 2011

Kenyataan Sejarah dari Kandang Ayam

kami pewarisnya
Ceritanya, suatu pagi yang cerah dan udara pantai yang tenang, saya sedang mengajar mata pelajaran Ilmu pengetahuan sosial. Kebetulan pokok bahasannya mengenai peninggalan sejarah di Indonesia, dalam buku penerbit dari Jawa isinya melulu membahas peninggalan kerajaan Jawa seperti Majapahit, Tarumanegara, Pajajaran dan lain sebagainya. Banyak peninggalan kerajaan-kerajaan tersebut itu yang menghiasi setiap lembaran buku IPS kelas empat. Dari prasasti sampai candi-candi.

Setelah membolak-balikkan buku IPS selama 15 menit, saya kebingungan sendiri buat menjelaskan.baik itu bentuk candi dan letaknya secara geografis. apa jadinya kalau murid dalam kelas itu merasa asing dengan benda yang bernama candi dan prasasti. Serta daerah-daerah di jawa tempat benda bersejarah itu berada. terus terang saya kurang suka membuat skenario pembelajaran yang akrab disebut RPP itu. bagi saya, RPP itu hanya mengekang saya. apalagi harus dibuat dengan format yang sudah ada. saya takut kehilangan energi yang eksploratif. saya jauh lebih takut lagi, saya termotivasi ngajar karena rambu-rambunya sudah jelas tinggal saya jalankan saja. bagi saya, keuntungan RPP hanya pada manajemen waktu saja. selebihnya tidak.


Kelas semakin riuh karena saya asyik membolak-balikan halaman buku untuk mencari cara bagaimana penyampaian yang efektif dan mudah diterima anak-didik saya. Beberapa anak yang sudah bosan menunggu saya memulai pelajaran nampak berteriak-teriak. Ada yang mengganggu teman sebangku untuk membunuh waktu.



Setelah memutar otak ke sana kemari, lantas saya teringat pada rawa-rawa dan semak-semak di samping kiri dan kanan sekolah saya, ya. oh iya, sekolah tempat saya ngajar dulu itu SDN 48 Deah Geulumpang kecamatan Meuraxa Banda Aceh.  Jika anda berada di dua tempat itu, memori anda dengan lancar akan terbawa ke dua era yang berbeda, yang pertama ke abad-abad di mana Aceh masih berbentuk kerajaan merdeka, dan satunya lagi memori anda akan terbawa pada masa-masa tentara Nippon jepang masih menguasai Aceh di tahun 40-an.

Di samping kiri sekolah tempat saya mengajar, ada beberapa rumah penduduk yang tidak begitu rapat. Beberapa penduduk di situ memelihara ternak, salahsatunya, ayam dan bebek. Persis di belakang kandang bebek dan ayam itulah terdapat beberapa batu nisan berukir dengan aksara Arab yang sudah sangat sulit untuk dikenali karena sudah berbilang tahun tak terawat lagi barangkali.


Sementara di samping kanan sekolah saya, di dekat balee yang didirikan paska tsunami untuk nelayan ulee cot gampong Deah Glumpang, kecamatan Meuraxa. Teronggok satu benteng pertahanan jepang seperti yang banyak kita temui di daerah pesisir hampir sepanjang pantai Aceh. Keberadaannya memang sedikit menyedihkan (kok menyedihkan sih? kan semua peninggalan sejarah emang ditelantarkan?), karena tertutup semak belukar dan sedikit oleng karena di hantam tsunami 2004. tak ada seorang pun siswa berani bermain di situ, karena selain angker, letaknya dalam rawa yang sedikit dalam karena Lumpur.

Nah, pada hari itu saya putuskan untuk tidak jadi memberi materi ajar mengenai peninggalan bersejarah kerajaan Jawa, sebab menurut penilaian saya, selain tidak mencerminkan sisi lokalitas, ini bisa menjauhkan siswa dari kebanggaan akan warisan peninggalan nenek moyangnya di daerah masing-masing (ini tidak hubungannya dengan doktrinisasi nasionalisme keacehan,ya). Saya mengambil keputusan indisipliner dari kurikulum yang sudah jelas untuk sesekali mencoba suasana baru belajar di alam terbuka dan lansung pada objek nyata. Jadi anak-anak tidak perlu menerka-nerka objek yang ingin dipelajari. Dan setelah mereka turun semua dari kelas ke lapangan untuk melihat kedua benda tersebut, bukan main kaget mereka, ternyata benda bersejarah tidak hanya terdapat di museum, tapi juga terdapat di kandang ayam penduduk dan rawa-rawa  paling menyedihkan.

Namanya juga anak-anak, mereka membayangkan sesuatu pasti dengan pikiran mereka yang kecil tentang sesuatu yang besar mesti berada di tempat yang besar pula, namun ketika kenyataan yang mereka alami tidak seindah dibayangkan.

Arti benda peninggalan bersejarah bagi anak sekolah dasar sebenarnya tidak begitu penting, toh walaupun tanpa benda tersebut mereka tetap harus belajar dengan membolak-balikkan halaman buku IPS yang melulu hafalan tentang kerajaan nusantara dari masa ke masa. Celakanya kita masih harus mengenal sejarah negeri orang sebelum mengenal baik sejarah sendiri.


“We must know our history”, kata Maxim Gorky,dominasi sejarah yang berlansung adalah kekejaman selevel dominasi dalam bidang ekonomi. Bagaimana kepala anak-anak diisi secara massif sebuah surga masalalu yang masih samar-samar. Tanpa mampu untuk memandangnya secara kritis, sekolah menjadi pusat doktrinasi persebaran informasi sejarah yang salah kaprah. Lewat buku-buku sejarah yang ditulis orang luar daerah yang sudah pasti mengutamakan sejarah daerahnya masing-masing. Walaupun tak menampik bahwa kita butuh pengetahuan sejarah daerah lain untuk membuat perbandingan dalam membangun peradaban baru di masa depan.

Nasib sejarah tak ubahnya rakyat sehabis pemilu, ditinggalkan sendiri merawat kesukaran-kesukarannya dalam sepi. Maka, jangan sekali-kali melupakan sejarah, ungkap bung Karno.

Mementingkan sejarah Aceh untuk diketahui oleh anak usia sekolah dasar adalah wajib adanya. Sekali sejarah telah dibengkalaikan di sudut-sudut kampong, kita hanya menunggu waktu tepat kelahiran generasi tanpa karakter yang tidak kuat menghadapi rayuan globalisasi.

Penulisan sejarah Aceh masakini lebih ditekankan untuk segmen mahasiswa dari jenjang S1 hingga jenjang di atasnya. Sementara untuk jenjang sekolah dasar hingga menengah, kita masih saja melahap buku lama yang berganti lapik saja.

Di sekolah, tepatnya di perpustakaan. Kita jarang menjumpai buku sejarah Aceh yang ditulis oleh orang Aceh sendiri. Apalagi sarjana luar yang menaruh perhatian pada kajian sejarah Aceh. Buku Denis Lombard yang harganya mahal tidak akan dibuka kertas pembalutnya di perpustakaan sekolah, mengingat harganya mahal dan takut dirusak siswa.

hari itu, setelah membagi dua kelompok siswa, saya intruksikan mereka untuk 'meneliti' objek masing-masing. batu nisan dan kurok-kurok  (bunker) Jepang. per kelompok siswa berjumlah lima orang. karena jumlah murid tidak banyak kala itu sekitar tahun 2007.
***
setelah selesai bergelut dengan objek telitian, siswa saya kumpulkan di bantaran sungai yang menghubungkan antara jembatan Ulee Lheue dan muara di pelabuhan penyeberangan ke Sabang. setiap jubir membacakan laporan naratif tentang objek telitian masing-masing. Ramazani, mewakili kelompok bungker membacakan laporan dari luas lingkaran, tinggi, hingga ketebalan tembok bunker. dari letak hingga keberadaannya yang terbengkalai itu. saran-saran mereka juga cukup menggemaskan. mereka menyarankan pemerintah untuk menggusur sekolah menjadikan tempat itu sebagai objek wisata. agar masyarakat bisa jualan dan menarik retribusi (tentu dalam bahasa anak-anak). bahkan saran mereka, di sana nantinya dibuat pangkalan ojek antar jemput wisatawan. saya tertawa dalam hati saja. menarik sekaligus mustahil.

kelompok nisan juga melakukan hal sama. Khairunnisa membacakan laporan panjang yang ditulis tangan. mereka sedih nisan peninggalan kerajaan Aceh harus berada dalam kandang ayam dan bebek. mereka menyarankan dipindahkan saja agar nisan itu terjaga.

angin laut Ulee Lheue di siang yang lembut mengantarkan pembelajaran ilmu sosial kami pelan dan tidak berat. saya juga dapat bebas mendampingi sambil menikmati bakau muda yang sedang berpacu tumbuh di pinggir sungai yang dulunya rimbun bakau. tapi dihajar tsunami 2004. memang pembelajaran tidak mendapatkan hasil memuaskan bagi pikiran saya sebagai orang dewasa. tapi saya sudah sangat puas dengan kerjasama mereka. saya lihat semua anak aktif. walau ada juga beberapa yang asik menikmati pemandangan laut dengan langit biru terang benderang itu.

Pada akhirnya, sejarah mesti memunculkan sesuatu bagi generasi sekarang. Dan kelak kita dapati anak-anak yang sadar sejarah bukan karena sikap chauvinistik membabi buta. Tapi lebih kepada cinta pada peradaban.

Yang kita takutkan tentu saja mereka menjadi apatis pada peradaban lampau Aceh hingga keluar pertanyaan; “apakah pemerintah Aceh kurang uang untuk memugar kembali nisan di kandang ayam?”.

Blang oi, 2010