senirupa

Thursday, November 24, 2011

Kentut Mewangi Dalam Puisi


Puisi boleh jadi salah satu media ekspresi paling agung yang dimiliki manusia selain beberapa lapangan  seni yang lain. Puisi seperti samudera maha luas. Di sanalah kita berenang dengan cara dan gaya masing-masing. Bahkan dalam ombak badai. Penyair tak gentar (ini mengingatkan saya lagu perjuangan yang patriotis).  

bermodal imajinasi dan sedikit teori 'berenang' dalam samudera puisi. penyair bebas mengayuh sampan atau  tanpa apa sekalipun. walau kita tahu, mereka tidak akan pernah benar-benar sampai ke tujuan. karena berpuisi bukan perkara sampai tidaknya ke tujuan. tapi pencarian hakikat-hakikat yang tak berkesudahan.

Penyair DJ Enright pernah berjanji untuk pensiun dari menulis puisi. namun beberapa tahun kemudian ia mengeluarkan antologi kembali. entah apa yang membuatnya memutuskan pensiun dari berpuisi.  bisa saja ia merasa telah menemukan hakikat-hakikat kehidupan atau bahkan jenuh dengan 'gaya berenangnya' yang demikian-demikian terus.

kita tahu. "sebuah sajak menjadi" (dalam istilah Chairil Anwar) adalah sajak yang tercipta dari intensitas menghayati kehidupan. sehingga menimbulkan katharsis bagi penikmat.  yaitu rasa nikmat ekstasi-tekstual, atau 'tekstasi', dalam bahasa Saut Situmorang. semua faktor literasi ini diramu dengan apik oleh penyair sehingga kemudian terungkap sesuatu yang melesak dari benak.


bagi Chairil sendiri, puisi adalah dunia  otonom yang diciptakan kembali oleh si penyair setelah melewati proses pematangan konsepsi. yang terajut melalui penglihatan, pendengaran dan interaksi sekeliling sang penyair. ada semacam proses tawar menawar dalam diri penyair ketika mengungkapkan konsepsinya. antara kehendak pribadi dan pandangan dunia di luar sana yang beragam bentuknya terhadap suatu permasalahan. namun, bukan berarti subjektifitas dinafikan dalam "sajak menjadi" itu. bagi sebagian orang, subjektifitas adalah penanda. pemuliaan terhadap eksistensi daya pikir pribadi. menghilangkan subjektifitas dalam puisi, berarti mengamini kematian imajinasi.

kenapa subjektifitas? sementara seperti kaum akademisi sastra katakan, faktor kesastraan sebuah teks sastra. puisi misalnya, adalah terdapatnya elemen-elemen penting dalam anatomi teks, yakni pola-pola bunyi dan sintaksisnya seperti repetisi, aliterasi, rima, irama dan bentuk-bentuk stanzanya, termasuk juga sering munculnya kata kunci atau imaji tertentu. inilah "alat artistik" bagi kaum formalis Rusia yang saya kutip dari buku Saut Situmorang "Politik Sastra".

"alat artistik" di atas  menempatkan penyair sebagai "tukang" semata-mata. artinya, posisi penyair hanyalah menuliskan puisi dengan petunjuk teknis (Juknis) dan petunjuk pelaksanaan (Juklak). terlihat sangat mekanis sebenarnya. sajak seperti surat resmi yang dikeluarkan intitusi formal untuk kepentingan tertentu. namun, percayalah. peraturan ada untuk dilanggar. kalau tidak begitu, bukan regulasi namanya. 

namun apakah seorang penyair (saya meyakini, yang pernah menulis puisi harus disebut penyair walau tidak terkenal) harus membuang jauh-jauh 'juklak' dan 'juknis' dalam menulis puisi? saya setuju untuk tidak. karena, peran 'alat artistik' versi kaum formalis Rusia, masih dibutuhkan untuk menganalisa sejauhmana ketajaman penyair dalam mempermainkan kata-kata.

"jika kentut adalah amsal puisi
'kan kukentuti kau malam ini
kentut yang mengungkap bermacam
aroma, mungkin rindu atawa cinta"

dan puisi di atas saya comot dengan sadar dari catatan Reza Mustafa. saya melihat, ada keberanian dari penyair dalam mengamsalkan puisi menurut keinginan diri sendiri. dan pilihannya jatuh ke kentut. ini seperti memilih seorang perempuan untuk diperistrikan. susah-susah mudah dalam mempertimbangkan berbagai aspek dan faktor. manalagi harus mempertimbangkan keinginan pribadi dan keinginan orang-orang dekat semisal orang tua. walau tak sama benar, saya pikir ini bukan satu dikotomi.

lalu, kenapa kentut diamsalkan puisi? apakah sebegitu buruknya puisi? sementara yang kita yakini sekarang adalah, puisi adalah nurani sebuah bangsa. manifestasi semangat zaman. saya lebih melihat sebagai bentuk kejenuhan atas puisi-puisi yang gaya ungkapanya statis sekarang ini dari kebanyakan penyair kita. terlepas pesan-pesan moral yang disampaikan penyair mengena.

mungkin orang seperti Remi Sylado, Sutardji CB, dan Chairil Anwar dihinggapi juga hal demikian. mereka jenuh dengan kondisi perpuisian di zaman mereka, sehingga mereka tergerak mencari kemungkinan-kemungkinan baru dalam proses penciptaan. dan hakikatnya sebuah kreatifitas adalah tidak berhentinya proses pencarian. jika seorang seniman (dalam hal ini penyair) telah merasa menemukan apa yang diidealkannya, maka tamat sudah riwayat estetik dan artistik.

harus ada yang berani melawan dan melanggar tata aturan dalam perpuisian. agar kehidupan perpuisian kita menjadi lebih berwarna dari sebelumnya. kemapanan dalam berpuisi itu saya pikir tak ada. yang ada hanya ciri khas semata dari penyair. ketika membaca puisi model Afrizal Malna misalnya, walau tanpa tertera nama, pikiran kita akan lansung tertuju bahwa ini gayanya Afrizal. begitu juga ketika membaca sajak Agus R Sarjono yang umumnya bersifat personifikatif. kita tak akan mengatakan "ini puisi Acep Zam Zam Noer!"

karena kentut tidak mesti buka celana/ maka kau bisa mengeluarkannya di mana saja/ seperti halnya kentut di depan seorang gadis idaman/ ini bukanlah perkara sopan tidak sopan/ tapi ini lebih kepada perkara hajat setiap manusia/di mana hajat ini tentu juga dimiliki oleh seorang gadis rupawan

selain menggunakan instrumen kentut, Reza kerap menggunakan panu  sebagai media untuk mengungkapkan ke-galau-an (ini kata paling booming saat ini untuk menggambarkan hal-hal yang sebenarnya tak berhubungan dengan kondisi psikologis sekalipun), ketidakadilan, merayu sang pacar dan banyak hal lain yang berlarian tak menentu dalam kepalanya. semua orang punya hak untuk berekspresi sesuai hati nurani. namun, untuk alasan estetik, pertimbangan kebaruan perlu diperhatikan. penyegaran kembali ide yang dituangkan dalam sajak non konvesional harus segera kita lakukan. agar terciptanya satu atmosfer perpuisian yang tak senada dan umum.

kalau puisi semata-mata untuk alat melumpuhkan hati lawan jenis dengan kata-kata indah dan bening, saya pikir anda mesti mengkaji ulang untuk menggunakan jenis puisi non konvensional. karena, lawan jenis akan menganggap anda sebagai si gila yang kehilangan nurani. dan patut dikasihani.

sekian, wassalam
oktober-november. 2011