senirupa

Thursday, December 15, 2011

Banda Aceh Dalam Seribu Bising Mendenging

dalam seribu bising mendenging.doc I3H

Di awal Desember yang terus menerus hujan, Banda Aceh terlihat sangat seksi dengan genangan airnya. Kamu pasti ingin sesekali menghabiskan malam di sana sambil membunuh sepi di depan kepulan asap kopi. mungkin juga wajib sesekali menikmati roti isi sile yang sangat nikmat disantap dengan secawan kopi panas. Ini Banda Aceh. kota renta yang oleh penyairnya dicacimaki habis-habisan. yang oleh kaum cerdik pandainya dianggap sebagai kota munafik. boleh jadi benar. saya tidak tahu kenapa. saya juga pernah mencaci sesuka hati kota ini. walau kota tidak tahu apa-apa. padahal yang mesti saya cacimaki pengelolanya.


Desember dengan sedikit dingin tentu saja bukan Tokyo yang damai. ini hanya kota kecil di ujung Sumatera. kota paling dinamis. kota yang mudah terbuka untuk hal-hal baru, orang-orang pendatang di sana tidak dianggap asing. kota yang menghormati tingkah siapa pun. ini kota bukan kemarin sore terhubung dengan dunia luar. sejak berabad-abad lalu sudah didatangi orang-orang luar. walau sekedar singgah.



ini kota sentimentil dengan seribu kebisingan. saya tidak tahu sejauh mana bisa menafsirkannya dalam sebuah sajak maha cengeng. atau berusaha menyikapinya dengan berpura-pura nyaman sepanjang jalan.


ini ibukota dari tanah yang selalu basah. melahirkan banyak anak dengan kesengsaraan sedemikian rupanya. hadir dan pergi beberapa riwayat di sini, bagai kafilah dagang negeri jauh.


saya malas membayangkan masalalu semisal sedang berada di sebelah utara Makodam Iskandar Muda. yang katanya tempat gajah-gajah pengangkut perbekalan perang ditambatkan ratusan banyaknya. saya juga kehausan sendiri ketika berada di Museum Tsunami. pelan-pelan serangkaian kain kafan melilit badan saya  berjuta-juta meter panjangnya. saya dicampakkan ke dalam lumpur paling kotor. saya tak ingin mati secepat ini. saya ingin membaca Yasin beberapa kali lagi untuk orang-orang yang telah pergi. saya ingin melihat kemungkinan-kemungkinan terburuk dari  pertikaian politik kelas atas. saya ingin mabuk dibuai suara granat. saya ingin sekali ketakutan di bawah todongan senjata. ingin sekali berada di bawah ancaman teror. 


berada di Peunayong tanpa kekasih bagaikan selembar uang yang sunyi dalam dompet. saya tak akan berkemas untuk pergi. saya ingin sekali menghirup bau busuk dari pasar ikan tepi sungai. saya berjanji menerobos sunyi dengan modal sandal jepit. ah, kota menjadi tempat paling menggemaskan saat senja merangkak. 


tak perlu penyair buat menagih rasa kangen saat Ulee  Lheue masih lugu dan tertutup.  tak dibutuhkan kecenderungan untuk bersastra dalam menghakimi diri saat mesjid raya dirundung mabuk. manakala azan menggema, orang-orang berangkat pulang. 


Blang Padang masih subur. anak-anak berlarian. masa depan bergelantungan di tiang bendera. kemerdekaan diperingati dengan sungguh-sungguh tanpa harus mengungkit-ungkit yang sudah berpulang. ini zaman baru. bendera dikibarkan dalam cuaca mendung. 


lalu, saya mendengkur di meja kopi saat taman sari riuh. orang-orang menghibur diri. berjingkrak girang menyambut zaman. saya terus mendengkur. tidur saat zaman melintas. 


sudahlah, ini hanya jawaban dan pertanyaan setelah menenggak seribu tahun kebisingan. di Kutaraja.


Black Jack kopi. Taman Sari.akhir 2011