senirupa

Friday, January 17, 2014

Label Pintar-Bodoh itu membunuh



 

Seorang ayah teman SMP saya dulu pernah sangat sedih ketika tahu anaknya menempati kelas IF saat sama-sama mendaftar SMP di ibukota kecamatan setamat SD. Sementara, kami teman sepermainannya rata-rata masuk kelas IA.
Ayah teman saya itu sedih karena bagaiman mungkin anaknya yang semenjak kelas I hingga kelas VI SD, selalu menjadi juara kelas tanpa ada yang mampu menyainginya sekalipun anak guru (taulah sendiri, anak guru biasanya jadi pangeran di sekolah tempat orang tuanya mengajar). 

Ia dengan bangganya sering bercerita bahwa anaknya yang pendiam lagi santun seperti tercipta sebagai orang tak terganti menempati urutan paling awal dalam urusan rangking-rangkingan kelas. Bayangkan! Bagaimana tidak remuk perasaan si ayah mendengar berita menyakitkan ini. Entah bagaimana kacau balaunya pikiran dia saat itu, yang jelas saya tidak bisa menjangkaunya.

Ayah teman saya itu tertunduk lesu manakala saya katakan bahwa pengabjadan kelas dari A sampai F disesuaikan dengan tingkatan kepintaran siswa. Dan tentu saja yang menempati kelas IF adalah “mereka yang tingkat kepintarannya di bawah rata-rata,” kata saya.

Tentu saja saya hanya mengada-ada perihal tingkat kepintaran diukur sesuai abjad. Saya hanya sedang ingin memancing emosinya saja. karena tidak tahan terus-terusan mendengar cerita yang sama  setiap duduk dengannya. Namun, tak disangka cerita karangan saya seperti membunuh harapan kecilnya pada putra kesayangan. Betapa orang tua amat rapuh di wilayah ini. Di wilayah harapan. 

Demi kepuasan batin, jika barangkali saja ayah teman saya itu bukan seorang nelayan kecil yang hanya berlayar mengail rezeki di bibir muara Meureudu dengan perahu bertenaga dua manusia, saya yakin ia akan menggunakan pengaruhnya (katakanlah ia seorang pejabat kecamatan) agar bagaimana pun anaknya bisa duduk bersama kami di kelas IA. Ini demi kehormatan dan label pintar itu. 

Namun karena ia bukan siapa-siapa dan tak berapa-apa untuk mempengaruhi pihak sekolah, maka, sampai tamat SMP, teman saya itu tetap menjadi penghuni ruang kelas IF (tapi, sampai sekarang saya yakin teman saya itu memang benar-benar pintar adanya). 

Sekolah kita harus sehat luar dalam. Sehat guru, berarti ikut menyehatkan proses transfer pengetahuan. Karena pendidikan mestinya harus lebih bermakna daripada bermutu, kata Prof.Dr. Winarno Surakhmad. Msc. Ed. Dan untuk mewujudkannya, kita butuh seniman-seniman pendidikan yang secara sadar mengabdi atas dasar idealisme kuat. Wassalamu.

bivak emperom.2012, direvisi 2014