senirupa

Friday, January 18, 2013

Menjelang Akhir Tahun di Merduati

Entah bagaimana orang-orang mendialogkan rindu dan cinta dalam syair sambil memperlihatkan jiwa yang tersayat. hanya seorang penyair macam kau yang mengerti dan berusaha mendefinisikannya di depan kami yang sama sekali tidak mengerti maksud-maksud sastrawi.

siang itu, sepanjang lorong yang kau sebut labirin itu tak mudah mengantarkanmu menuju rumah saat matahari persis di atas tengkuk. Desember seperti bulan-bulan lalu. hanya saja sedikit terharu dengan selendangnya yang basah. kita berpikir sedang mengajukan potret-potret suram saat Merduati disapu gelombang. padahal tidak. kita sedang termangu di depan jasad rindu.  

sementara, di ujung jalan Taman Siswa, azan Ashar bergema menaklukkan histeria pembangunan salah kaprah. ini negeri laki-laki berotot yang terus-menerus ngotot diberi kuasa. ini negeri para penyair dengan senandung yang dipilu-pilukan. lalu, anak-anak kita menjadi generasi surplus air mata.
'tersandra kenangan'. idrus bin harun.2012., .

Magrib di mulut lorong terekam ibu-ibu muda  menanti suaminya pulang. siapa pun belum mampu menerka gerak alam dan sentakan gempa. kita belum begitu fasih berzikir selama segala sesuatu diselesaikan dengan ancaman senjata. bahkan sebagian orang masih bungkam dan memilih bersenggama sepanjang bulan. maka, lembaran undang-undang diselesaikan anggota dewan semena-mena. bedil-bedil berbicara dalam bahasa paling sopan; penghilangan rahasia. selebihnya menulis syair dalam kamar sambil mabuk ganja. kita terus hidup meski pucat dan anemia. puisi kita impor sebanyak-banyaknya untuk berbicara tentang bangsa beradab yang kehilangan sisi humanis. sementara penyair lokal masih hidup satu dua, selebihnya meminta mati muda.

saat angin malam belum berkemas sempurna, kita membaitkan airmata menjadi pantun jenaka. sejumlah kenangan dipaketkan pesajak masalalu dengan sedikit sentuhan bau busuk luka. Banda Aceh resmi menjadi kota tua dengan permaisuri obesitas. merduati makin terlena.hampir-hampir rebah saat digoyang gempa.


hadir kembali di dadamu setelah 8 tahun berkelana, kami menjadi anak-anak masalalu yang kehilangan susu. tanpa ibu dan yatim selamanya. lalu, berbaris di kota sendiri mengais trauma. Merduati menyambut kami datar tanpa sepatah dua kata. inilah kota tempat kami mengelus-elus lupa. di beranda Taman Siswa nan bising, tak ada yang dapat tidur senyenyak pra Tsunami.

trauma dikenang dari sudut berbeda semenjak kegagalan pembangunan terungkap. catatan lama tentang betapa tidak menariknya hidup di bawah tenda, kembali dilayarkan dalam samudera ingatan yang tengah diamuk badai. kami harus berteduh dari sakit hati, tuan!.

menyepi di ketiak Merduati meskipun miskin semilir angin, tak mesti menjadikan kami buru-buru mengambil kesimpulan bahwa segalanya telah terenggut Tsunami. tidak dan tak pernah sekali-kali.

akhir Desember 2012.