kopi sareng Aceh |
Hingga mencapai usia ke 809 tahun, Banda Aceh seperti
gadis tiga puluh tahunan yang terus meremajakan diri dengan selalu tampil
bergaya mutakhir. Penanda kota tumbuh dan dipugar menyesuaikan diri dengan laju
perkembangan masyarakatnya yang kian moderen. Kota dengan sentuhan estetika
sarat aksen lokal itu berkembang menyesuaikan diri dengan perkembangan karakter
masyarakatnya.
Meskipun akrab dikenal sebagai kota seribu mesjid,
Banda Aceh ibarat kota di Eropa dengan kehidupan masyarakatnya yang terlihat
santai menjalani hiup. Budaya jep kupi atau ngopi misalkan, rutinitas ini kian kuat
mengakar dalam pola hidup kami di Banda Aceh. seiring meluasnya kota dibuka
hingga hampir mencapai gerbangnya; Lambaro. Budaya jep kupi juga kian mendapat tempat di hati kami saat disambut dengan
menjamur warung kopi yang amat tidak sulit ditemukan di seantero Banda Aceh.
Kebiasaan nongkrong di warung kopi yang tumbuh dalam
masyarakat kami baik itu di kampung-kampung pedalaman hingga ke pusat kota,
ramai dianggap orang sebagai bentuk kemalasan dan buang-buang waktu. Tentu tidak
benar demikian.
Warung kopi selain menyediakan kopi dan penganan khas
dengan suasana khas, menjadikan warga kami Banda Aceh menjadi amat mudah
berbaur dalam keberbedaan. Dalam bahasa lain kami hidup di tengah pluralitas
baik itu secara etnisitas, agama, dan bahkan kewarganegaraan. Di atas semua
itu, kami santai menerima semua kebaruan yang datang ke kota kami. Baik itu
cara pandang suatu masalah, budaya, hingga yang bersinggungan dengan politik. Tidak
heran jika pada masanya dulu, Banda Aceh menjadi pusat perniagaan antar bangsa.
Hal itu kini bergeser ke warung-warung kopi.
Budaya ngopi yang mengakar dalam keseharian kami
terbawa hingga cara kami menerima tamu. Sejalan dengan tagline promosi wisata kota Banda Aceh; peumulia jamee adat geutanyoe. Yang bermakna, memuliakan tamu, adat
kita. Dalam budaya terkini, kami sering menerima tamu kebanyakan di warung kopi
sebelum diajak ke rumah. Kenapa demikian? Karena warung kopi bukan ruang
pribadi yang memungkinkan tamu malu-malu. Warung kopi tempat privasi
masing-masing kami hormati, Walau itu ruang publik.
Beberapa tahun lalu, di sebuah warung kopi tepi sungai
Aceh di pusat kota, seorang aktris senior ibukota yang memerankan tokoh Cut
Nyak Dhien ngopi di sana. Kehadirannya yang tentu saja berpenampilan berbeda
dari kebanyakan pengunjung lain, menjadi daya tarik bagi kami. Namun, hingga ia
menghabiskan tegukan kopi terakhir, tak ada orang yang datang ‘menggangu’
meskipun untuk minta foto bareng hingga minta tanda tangan. Ia disambut
sealamiah mungkin sebagai seorang pengunjung warung kopi. Tanpa melihat latar
belakangnya.
Santai saja. mungkin Banda Aceh tidak seartistik Yogja
juga tidak seeksotis Bali secara keseluruhan. Namun, di mana pun itu, tidak
mudah menolak aroma kopi Aceh yang disaring pagi-pagi. Belum lagi kenikmatan
sanger dengan roti srikaya disandingkan sore hari dalam suasana hangat penuh
kekeluargaan. Juga bagaimana mampu mengikis memori tentang aroma kopi Gayo yang
diracik secara murni dan disuguhkan malam hari menikmati gelap yang turun
pelan-pelan menggenapi dingin Kutaraja.
Warung kopi bisa dikatakan sebagai tempat kami memugar
kembali tali kekeluargaan yang sempat terputus kala konflik panjang mendera
Aceh satu dekade lalu. Di tengah perdamaian yang mulai bertunas ini, kehadiran
warung kopi secara massif kian memperkuat komitmen untuk memupuk kebersamaan
tanpa diembel-embeli ras dan suku bangsa. Banda Aceh sebagai miniatur Aceh dan
bahkan Indonesia, tidak ingin terjebak dalam kesempitan sudut pandang dalam
memandang keberbedaan.
Sebagai kota peninggalan para raja, kami warganya
tetap santai dan merdeka dalam mengekspresikan diri di meja-meja kopi hingga ke
jauh malam. Semua hal diperbicangkan di sana sedemikian rupa hingga meledak
tawa dan larut dalam kepulan asap kopi panas. Warung kopi menjadi salah satu
tempat merawat ingatan dengan obrolan-obrolan hangat yang mungkin tidak
terpecahkan di majelis wakil rakyat.
Bagimana pun, kalau belum pernah sampai di Banda Aceh
untuk sekali saja, sulit rasanya merasakan atmosfer santai. Karena, hidup di
kota besar yang sedang tumbuh pesat melaju bagai deru pesawat. Cepat dan tak
menunggu. Namun, warung kopi menyelamatkan kami dari ketergesa-gesaan.
Untuk itu, kami menunggu di Kutaraja. Jak laju!
Bivak Emperom, 28042014