senirupa

Monday, May 18, 2015

U3C dan Seni yang Mengabari



https://sianakdesa.files.wordpress.com/2012/11/dsc_0147.jpg

Menghadirkan permasalahan di kampung-kampung pedalaman agar dihayati orang kota melalui media seni, butuh sikap berkesenian yang kuat. Hal ini tak dapat dilakukan oleh orang-orang yang mencari keindahan semata melalui karya. Seni adalah alat, dan kita ‘memperalat’-nya sedemikian rupa. 


Rawa Tripa, dalam keterpencilannya di pedalaman Nagan Raya sana kehabisan suara merintih sakit setelah berpuluh pemegang konsesi lahan gambut satu persatu mengulitinya.

Suara-suara dari kesunyian Rawa Tripa tak pernah sampai hingga ke perbatasan Alue Bili. Percayalah, gemuruh eksavator jauh lebih riuh ketimbang suara alam dan rakyat sekeliling itu dalam berebut angin agar tersampaikan pada pemangku keputusan di tingkat kabupaten.


Kampung kecil di ketiak PT. Kalista Alam itu bernama Kuala Seumayam. Saya sekali waktu pernah ke sana dalam rangka menemani teman untuk pembuatan film dokumenter beberapa tahun lalu. Kampung itu tidak lebih dari 3 kali lapangan sepakbola. Dengan perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang kian tahun bertambah, menyebabkan kampung ini ketiadaan lahan pekuburan. Hingga, jika ada orang yang meninggal dunia, mereka harus menguburkannya di daerah asal kampung asal mereka yang terletak di Kuala Krueng Seumayam yang hanya punya jalur tranportasi sungai menggunakan boat kecil yang mereka sebut “Robin”. Itu pun membutuhkan waktu 3 jam pergi, 3 jam pulang. 


Saya yakin, persoalan yang dihadapi masyarakat Kuala Seumayam termasuk langka untuk negeri yang lahannya masih banyak kosong dan bahkan tak diapa-apakan. Namun demikian, masih saja jarang ada yang tahu persoalan itu sampai-sampai mereka di sana harus mengadu kemana. Saya ingat betul satu pernyataan Ali, seorang warga Kuala Seumayam, dalam Film Dokumenter produksi ADC (Aceh Documentary Competition) yang berjudul “dilarang mati di tanah ini” yang disutradarai Nuzul Fajri. Ali mengatakan, bukan hanya orang hidup saja butuh tanah, orang mati malah lebih membutuhkannya. Lewat film dokumenter, ‘suara’ Ali berhasil dikabarkan ke seluruh negeri dimana film itu dipertontonkan.

Rawa Tripa secara umum punya permasalahan-permasalahan tersendiri dan mendetil ketika didekati dengan seni. Saya kira demikian jika seniman punya daya respon bagus juga, mengintimi permasalahan dengan mengenalinya sedekat mungkin. 


Adalah U3C (under cannabis control crew) yang ternyata sampai sejauh ini masih mengimani semangat seni responsif. Melalui  grafiti, mereka berhasil merebut ruang kota secara berdaulat bersama ‘pasukan’nya untuk mengampanyekan penyelamatan lahan gambut Rawa Tripa. 


Di tengah individualisme masyarakat urban Banda Aceh, grafiti berjudul “save Rawa Tripa” setidaknya berhasil menarik perhatian sebagian pengguna jalan Teuku Umar kawasan Seutui, tepatnya di simpang seulawah ke arah Neusu.

Grafiti ini bagi saya pribadi tak saja menghadirkan orang utan Rawa Tripa yang terusir dari habitat akibat perluasan lahan sawit dengan cara dibakar, grafiti ini juga sekaligus ikut menyeret tanda tanya besar bagi warga kota yang selama ini sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya telah bekerja di pedalaman Nagan Raya. Tanda tanya itu tersibak dari figur pohon yang terlihat tinggal batang saja. Juga terungkap dari Orang Utan yang disimbolisasi seperti orang hendak merantau. Merantau di sini, bukan mencari peruntungan di negeri orang, namun terusir. Sekali lagi, “terusir!.”


Karya tahun 2012 ini, hingga kini masih kekal setidaknya. Saya tidak yakin ia akan bertahan seiring pembersihan kota yang dianggap mencemarkan secara visual karena, tak membayar pajak. 


Bagaimana pun, seni punya tugas dokumentasi yang setara dengan tugas akademisi dalam menyerap apa saja yang sedang berlaku dalam masyarakat. Walau pun, seni masih dipandang sebelah mata sejauh ini. Demikian. 


sumber foto di sini