senirupa

Thursday, May 14, 2015

Sekilas Pameran 10 tahun Tsunami 2014

Salauddin
 Berada di museum Tsunami Banda Aceh, pameran lukisan sepuluh tahun tsunami berlansung di antara riuh pengunjung yang sibuk memotret  secara bergerombol atau sendiri-sendiri. 

Tsunami dengan aneka artefak yang berhasil diselamatkan sebagian kecil di museum megah itu, menjadikan tsunami sebagai daya tarik pariwisata. walau tak selamanya menjual airmata korban.
namun, pemanfaatan momentum tsunami untuk menghelat pameran bersama, saya kira suatu satu langkah besar para perupa dalam merespon musibah 1 dekade lalu dari berbagi sudut pandang. walau, sudut pandang murung masih mendominasi. bahkan, hanya satu dua yang berani masuk jauh ke lorong politikbencana dengan menyentil manipulasi dana hibah yang minta ampun banyaknya kala itu.  
Zul Ms
Tsunami (Smong), dalam perspektif perupa ibarat jendela rumah menghadap ke arah matahari terbit.  meski pun matahari terbit dalam bentuk yang sama dan akan tetap seperti itu selamanya, selalu Terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan pemaknaan baru. ibaratnya begitu, Tsunami juga demikian. walau diperingati setahun sekali, bagi seniman khususnya perupa, tetap mempunyai ruang kosong yang di dalamnya para perupa bisa menelaah kembali riwayat kehilangan, narasi kebencanaan dan luka maha menganga. 


Pameran yang digagas oleh Komunitas Seni Rupa Aceh (KOMSERA) ini, diberi judul 10 tahun Tsunami dan dihelat dari tanggal 24 Desember hingga 2 Januari 2015. diikuti 28 perupa dari bermacam latar. dari perupa otodidak sampai perupa akademis dengan gelar sarjana. Semua berbaur dalam ekspresi dan pemaknaan personal, bagaimana tsunami yang 1 dekade lalu menjadi penjebol pintu besi yang mengurung Aceh dari dunia luar akibat konflik mendera sebelumnya. 

Membicarakan tsunami tanpa diekori konflik panjang sebelumnya, bisa dikatakan sia-sia. Karena, klimaks dari semua rasa takut dan kehilangan melalui tsunami telah didahului sebelumnya oleh konflik. Yang di dalamnya beraneka birahi dasar manusia termanifestasi dan mendapat tempat layak. Dan Aceh mendapat kehormatan sebagai panggung dari sandiwara perang dan politik penuh intrik. dan ketahuilah, tsunami menjadi layar penutup dari sebuah episode yang bisa dipastikan ada sambungannya kelak.  

alil otodidat paint
Pameran 10 tahun lalu itu bagi saya pribadi tidak semata-mata menghadirkan  kembali kengerian visual. walau ada sebagian perupa masih menghadirkan tumpukan mayat ketika dikuburkan secara massal. Adi Klat misalnya. perupa muda ini menampilkan mayat bayi yang sedang hendak dikubur oleh alat berat. dengan latar Seulawah Agam, Adi secara realis menggambarkan ngeri sepuluh tahun lalu. 

Namun demikian, lukisan didominasi karya yang lebih melihat ke depan'. Zul Ms salah satunya. perupa Pontianak yang sudah berkeluarga dan bermukim di Aceh ini menggambarkan suasana boat kecil yang ditambatkan di dermaga dengan corak warna yang mengesankan keceriaan dan optimisme. Zul yang bisa dipastikan bukan seorang korban, melihat Aceh dengan optimisme. 

Sementara, Salauddin, perupa senior alumnus ISI Jogjakarta dan juga dosen ISBI Aceh, menghadirkan suasana pantai ketika nelayan pulang melaut disambut sang istri. corak kekanakan karya Salauddin menjadi khas dengan ornamen yang detil pada pakaian nelayan. seolah, kehidupan nelayan bak panggung teater yang selalu estetis meskipun kehidupan selalu memanggungkan pedih. ada rasa senang hadir meski pun hasil melaut kian berkurang. 

Pameran ini dihelat bersamaan dengan acara resmi pemerintah di Blang Padang hari itu, namun, acara itu murni tanpa didorong-baik dana dan lain-lain- oleh pemerintah. perupa berjalan di koridor sendiri dalam memaknai Tsunami 10 tahun lalu. namun, memaknainya dengan cukup dalam. sayangnya, tetap sunyi.