senirupa

Tuesday, May 12, 2015

Komik Mafalda dan Nasib Gam Cantoi

Bersama istri, tadi sore saya ke pesta buku Gramedia di Pante Pirak kawasan pusat kota Banda Aceh. Istri saya membeli satu paket berisi lima buku komik paling terkenal sejagat karya Joaquín Salvador Lavado; MAFALDA. Saya sendiri sudah membaca satu buku entah edisi berapa dari meminjam punya seorang teman. Menarik, seorang gadis kecil berumur 6 tahun dan polos membicarakan hal-hal berat dalam setiap edisi dalam panel-panel komik strip tersebut. Quino dengan sempurnanya mampu menghadirkan karakter anak-anak di usia pertumbuhan itu dengan baik sekali sekaligus menggemaskan. Bahkan, saking terkenalnya komik Mafalda ini, di pusat kota Buenos Aires, hadir patung Mafalda dan kawan-kawan, dan mampu menyedot wisatawan luar untuk berpose dengan gadis cilik rekaan ini.


Membaca sekilas buku Mafalda istri saya yang gila komik itu, saya teringat pada tokoh kartun lokal yang sampai hari ini belum tergantikan karakternya oleh kartunis mana pun di Aceh, Gam Cantoi. Kartun nirdialog karya M Sampe Edward ini hadir saban hari di harian lokal Serambi Indonesia. Saya yakin, tak seorang pun pengunjung warung kopi yang menyediakan Koran gratis, tidak mengenal Gam Cantoi. Lagaknya bikin lucu plus kritik bernada olok-olok, mampu menghadirkan secara berbeda wajah Koran Serambi Indonesia bagi masyarakat.

Mungkin Mafalda dan kawan-kawan ciliknya yang sudah hadir di dunia perkomikan jauh sekali dari lahirnya Gam Cantoi, membuat Mafalda dikenang tidak hanya di Argentina semata. Atau setidaknya di benua Amerika. Tapi Mafalda mampu membius jutaan orang dewasa sejagat dengan tingkahnya yang bikin gemas. Berbeda dengan Gam Cantoi, walau dikagumi dan ditunggu-tunggu kehadirannya setiap hari oleh masyarakat Aceh, nasib Gam Cantoi tidak lebih baik dari korban Pemilu. Dielu-elukan kemudian ditinggal begitu saja. Bedanya, Gam Cantoi, semenjak kepergian sang penciptanya M Sampe Edward, memori masyarakat tentangnya mulai memudar. Meski pun ada jutaan gambar sang satiris itu bertebaran di dunia maya. Tapi, saya yakin, pengagum Gam Cantoi hadir dari generasi pra booming internet.

Gam Cantoi mungkin tidak akan hadir sekonkret Mafalda yang 3 dimensi di pusat kota Buenos Aires. Tapi setidaknya, dokumentasi dalam bentuk buku komik strip sangat mungkin direalisasikan oleh siapa saja. Karena Gam Cantoi tidak lagi semata-mata milik harian Serambi Indonesia. Gam Cantoi telah menjadi ‘asoe lhok’ Aceh yang imajiner.

Gam Cantoi bagi peradaban rupa Aceh, menurut saya telah menjadi yatim piatu. M Sampe Edward telah tiada, Serambi Indonesia tentu sudah tidak bisa menghadirkan olok-oloknya. ‘Anak visual’ M Sampe Edwards dalam bentuk Gam Cantoi bertebaran entah kemana tak ada yang menyatukan dalam bentuk buku komik. Setidaknya untuk memberi penghormatan atas totalitas sang kartunis yang berkarya hingga batas usia.
                                                                ***

Saat hendak meninggalkan Pante Pirak yang berhadapan dengan gereja hati kudus, di mulut jembatan Pante Pirak, saya memandang patung tentara yang menunjuk ke arah pusat perbelanjaan yang sepi itu dengan membayangkan, betapa humorisnya kota Banda Aceh dengan patung Gam Cantoi di sana sebagai penanda bahwa kita tak butuh perang. Kita butuh humor di tengah himpitan hidup. Viva Gam Cantoi!