Bersama istri, tadi sore saya ke pesta buku Gramedia di
Pante Pirak kawasan pusat kota Banda Aceh. Istri saya membeli satu paket berisi
lima buku komik paling terkenal sejagat karya Joaquín Salvador Lavado; MAFALDA. Saya sendiri
sudah membaca satu buku entah edisi berapa dari meminjam punya seorang teman. Menarik,
seorang gadis kecil berumur 6 tahun dan polos membicarakan hal-hal berat dalam
setiap edisi dalam panel-panel komik strip tersebut. Quino dengan sempurnanya
mampu menghadirkan karakter anak-anak di usia pertumbuhan itu dengan baik
sekali sekaligus menggemaskan. Bahkan, saking terkenalnya komik Mafalda ini, di
pusat kota Buenos Aires, hadir patung Mafalda dan kawan-kawan, dan mampu
menyedot wisatawan luar untuk berpose dengan gadis cilik rekaan ini.
Membaca sekilas buku Mafalda istri saya yang gila komik itu, saya
teringat pada tokoh kartun lokal yang sampai hari ini belum tergantikan karakternya
oleh kartunis mana pun di Aceh, Gam Cantoi. Kartun nirdialog karya M Sampe
Edward ini hadir saban hari di harian lokal Serambi Indonesia. Saya yakin, tak
seorang pun pengunjung warung kopi yang menyediakan Koran gratis, tidak mengenal
Gam Cantoi. Lagaknya bikin lucu plus kritik bernada olok-olok, mampu
menghadirkan secara berbeda wajah Koran Serambi Indonesia bagi masyarakat.
Mungkin Mafalda dan kawan-kawan ciliknya yang sudah hadir di dunia
perkomikan jauh sekali dari lahirnya Gam Cantoi, membuat Mafalda dikenang tidak
hanya di Argentina semata. Atau setidaknya di benua Amerika. Tapi Mafalda mampu
membius jutaan orang dewasa sejagat dengan tingkahnya yang bikin gemas. Berbeda
dengan Gam Cantoi, walau dikagumi dan ditunggu-tunggu kehadirannya setiap hari
oleh masyarakat Aceh, nasib Gam Cantoi tidak lebih baik dari korban Pemilu. Dielu-elukan
kemudian ditinggal begitu saja. Bedanya, Gam Cantoi, semenjak kepergian sang
penciptanya M Sampe Edward, memori masyarakat tentangnya mulai memudar. Meski pun
ada jutaan gambar sang satiris itu bertebaran di dunia maya. Tapi, saya yakin,
pengagum Gam Cantoi hadir dari generasi pra booming internet.
Gam Cantoi mungkin tidak akan hadir sekonkret Mafalda yang 3
dimensi di pusat kota Buenos Aires. Tapi setidaknya, dokumentasi dalam bentuk buku
komik strip sangat mungkin direalisasikan oleh siapa saja. Karena Gam Cantoi
tidak lagi semata-mata milik harian Serambi Indonesia. Gam Cantoi telah menjadi
‘asoe lhok’ Aceh yang imajiner.
Gam Cantoi bagi peradaban rupa Aceh, menurut saya telah
menjadi yatim piatu. M Sampe Edward telah tiada, Serambi Indonesia tentu sudah
tidak bisa menghadirkan olok-oloknya. ‘Anak visual’ M Sampe Edwards dalam
bentuk Gam Cantoi bertebaran entah kemana tak ada yang menyatukan dalam bentuk
buku komik. Setidaknya untuk memberi penghormatan atas totalitas sang kartunis
yang berkarya hingga batas usia.
***
Saat hendak meninggalkan Pante Pirak yang berhadapan dengan
gereja hati kudus, di mulut jembatan Pante Pirak, saya memandang patung tentara
yang menunjuk ke arah pusat perbelanjaan yang sepi itu dengan membayangkan,
betapa humorisnya kota Banda Aceh dengan patung Gam Cantoi di sana sebagai
penanda bahwa kita tak butuh perang. Kita butuh humor di tengah himpitan hidup.
Viva Gam Cantoi!