Asmara cantik-cantik, membanggakan hati. bagaikan secawan Wine. antara mabuk dan sadar, dia bacakan sajak cinta dari atas meja. riuh seisi ruangan. Muda-mudi sepasang, merebut paksa cawan yang dijajakan pelayan. Dengarkan sajak ini baik-baik;
“Keluarlah. Jalan tidak lengang sekarang.
Mana mungkin semua orang menghabiskan
sisa anggur dalam kamar wanita simpanan.
Boleh jadi anak haram keluyuran,
minta disusui wanita jalang,
yang melahirkan anak-anak tak taat aturan
ya. semua yang dilahirkan ibu bapak, adalah jiwa kebebasan.
keras kepala dan tak mau diatur.
merengek-rengek ke sana ke mari”.
dia baca puisi ini karena dahulu pernah mempunyai perempuan simpanan berambut sajak-sajak panjang. Tak pernah lupa keramas. Sehabis berhubungan badan
di rumahnya yang jauh dari intaian Polisi Kotapraja.
dia tak sempat menikahinya sesuai aturan perundang-undangan, dia hanya mampu berjanji bahwa, kelak jika dia sudah mampu meyakinkan istrinya bahwa poligami adalah sah dan dibenarkan, maka ia tak akan menyia-nyiakan waktu baik itu. Karena cinta harus selalu mengalir mencari penampungan, mencurahkan kasih sayang yang sudah meluap di perasaan. Mengasah alat percintaan yang tumpul.
Ternyata waktu dan keyakinan selalu bukanlah suatu kemutlakan, ia tidak statis maupun stagnan. Selalu dinamis melaju beradaptasi dengan kemungkinan-kemungkinan. Melahirkan keputusan-keputusan baru yang ia yakin itu benar. Setelah lama tak menyambangi rumahnya, pelan-pelan dia lupa dan menganggap janji-janji itu hanya sebagai jebakan mempermudah kehendak naluri percintaan. Karena harga percintaan begitu murahnya. Dan mudah dia dapatkan.
Kini, setelah puas menebar kebohongan, dia menjual asmara loakan, putih-putih. Biarpun barang bekas. Dijamin puas.
Di depan kedai minum sederhana, dan mudah kita dapatkan di kota ini. dia gelar dagangan, mencegat pembeli berbagai kalangan. “Tuan, harga kasih sayang semakin mahal, karena bahan baku lokal sudah kalah saing, kualitas belaian kini diimport dari luar negeri, kami memesannya di televisi” ungkapnya berterus terang.
Sore hari yang terang, hari sabtu yang indah, akhir pekan menyenangkan. Kesibukanku bertambah, malam minggu, bercinta-cinta masih di pandang hal paling praktis menanggal kejenuhan. Khusus hari sabtu, dia menjual asmara daur ulang, agar terjangkau semua golongan, ya, hitung-hitung sebagai amalan. Membantu mereka berekonomi lemah. Walaupun asmara murah, dia tetap mantrakan sesajian sajak beraroma nakal. yang menegakkan bulu kuduk dan meneduhkan
hati para pecinta yang tegang.
Kemudian dia sendiri tetap menjual dagangan-dagangan tersebut
sampai puisinya sendiri meleleh di gantungan. Mahgrib datang. Menebar azan saat matahahari menyelam ke tengkuk pegunungan.
Malam bersimpuh di kota ini, berzikir dalam tarian berputar-putar. Mabuk dengan secawan puisi Rumi. Gelap mengitari jalan-jalan . lampu dihidupkan. Gerah kehidupan pelan-pelan menjadi bayang di antara tower menjulang, menciptakan siluet raksasa.
“dia sudah gulung lapak jualan selepas magrib tadi, berjalan menenteng dagangan menuju arah barat” kata penjual kacang yang mangkal dekat pasar pada Kepala Satpol PP.
“jika besok dia datang berjualan, katakan dia dalam pencarian, identitasnya sudah kami kantongkan, dan masuk daftar pencarian orang” ujar kepala satpol PP geram. Lalu memerintah anak buah bergerak kearah barat seperti keterangan penjual kacang.
di tengah riuh kedai minum, ia buka topi dan kacamata hitam, menggaruk kepala yang tak gatal. Menyeruput kopi kental. Tertawa terpingkal-pingkal. Orang-orang di warung kopi bertepuk tangan. asmara yang ia jual gagal diangkut satpol PP.
2006 until 2009
“Keluarlah. Jalan tidak lengang sekarang.
Mana mungkin semua orang menghabiskan
sisa anggur dalam kamar wanita simpanan.
Boleh jadi anak haram keluyuran,
minta disusui wanita jalang,
yang melahirkan anak-anak tak taat aturan
ya. semua yang dilahirkan ibu bapak, adalah jiwa kebebasan.
keras kepala dan tak mau diatur.
merengek-rengek ke sana ke mari”.
dia baca puisi ini karena dahulu pernah mempunyai perempuan simpanan berambut sajak-sajak panjang. Tak pernah lupa keramas. Sehabis berhubungan badan
di rumahnya yang jauh dari intaian Polisi Kotapraja.
dia tak sempat menikahinya sesuai aturan perundang-undangan, dia hanya mampu berjanji bahwa, kelak jika dia sudah mampu meyakinkan istrinya bahwa poligami adalah sah dan dibenarkan, maka ia tak akan menyia-nyiakan waktu baik itu. Karena cinta harus selalu mengalir mencari penampungan, mencurahkan kasih sayang yang sudah meluap di perasaan. Mengasah alat percintaan yang tumpul.
Ternyata waktu dan keyakinan selalu bukanlah suatu kemutlakan, ia tidak statis maupun stagnan. Selalu dinamis melaju beradaptasi dengan kemungkinan-kemungkinan. Melahirkan keputusan-keputusan baru yang ia yakin itu benar. Setelah lama tak menyambangi rumahnya, pelan-pelan dia lupa dan menganggap janji-janji itu hanya sebagai jebakan mempermudah kehendak naluri percintaan. Karena harga percintaan begitu murahnya. Dan mudah dia dapatkan.
Kini, setelah puas menebar kebohongan, dia menjual asmara loakan, putih-putih. Biarpun barang bekas. Dijamin puas.
Di depan kedai minum sederhana, dan mudah kita dapatkan di kota ini. dia gelar dagangan, mencegat pembeli berbagai kalangan. “Tuan, harga kasih sayang semakin mahal, karena bahan baku lokal sudah kalah saing, kualitas belaian kini diimport dari luar negeri, kami memesannya di televisi” ungkapnya berterus terang.
Sore hari yang terang, hari sabtu yang indah, akhir pekan menyenangkan. Kesibukanku bertambah, malam minggu, bercinta-cinta masih di pandang hal paling praktis menanggal kejenuhan. Khusus hari sabtu, dia menjual asmara daur ulang, agar terjangkau semua golongan, ya, hitung-hitung sebagai amalan. Membantu mereka berekonomi lemah. Walaupun asmara murah, dia tetap mantrakan sesajian sajak beraroma nakal. yang menegakkan bulu kuduk dan meneduhkan
hati para pecinta yang tegang.
Kemudian dia sendiri tetap menjual dagangan-dagangan tersebut
sampai puisinya sendiri meleleh di gantungan. Mahgrib datang. Menebar azan saat matahahari menyelam ke tengkuk pegunungan.
Malam bersimpuh di kota ini, berzikir dalam tarian berputar-putar. Mabuk dengan secawan puisi Rumi. Gelap mengitari jalan-jalan . lampu dihidupkan. Gerah kehidupan pelan-pelan menjadi bayang di antara tower menjulang, menciptakan siluet raksasa.
“dia sudah gulung lapak jualan selepas magrib tadi, berjalan menenteng dagangan menuju arah barat” kata penjual kacang yang mangkal dekat pasar pada Kepala Satpol PP.
“jika besok dia datang berjualan, katakan dia dalam pencarian, identitasnya sudah kami kantongkan, dan masuk daftar pencarian orang” ujar kepala satpol PP geram. Lalu memerintah anak buah bergerak kearah barat seperti keterangan penjual kacang.
di tengah riuh kedai minum, ia buka topi dan kacamata hitam, menggaruk kepala yang tak gatal. Menyeruput kopi kental. Tertawa terpingkal-pingkal. Orang-orang di warung kopi bertepuk tangan. asmara yang ia jual gagal diangkut satpol PP.
2006 until 2009