senirupa

Sunday, January 12, 2014

Gubernur tidak boleh mencintai kasur

Aceh blue print for future. 13H

Lihatlah! Seorang Gubernur biasanya adalah seorang juru kemudi dari kendaraan maha besar. Ia tak mesti orang bijak yang seminggu sekali bermeditasi dalam sunyi. Meratapi nasib sendiri yang dizalimi. Meski pun hidupnya serba kurang, seorang Gubernur bukanlah sipemalas yang bercita-cita menegakkan keadilan sambil berencana curang. Di depan hidungnya, jutaan masalah siap menghadang. Dia hanya diberikan waktu 5 tahun saja untuk dapat menyelesaikannya. Mesti bersyukur jika ia tak menambah masalah baru dan sama. Karena kerja Gubernur bukanlah kerja sampingan.

Si keras kepala sekali pun, jika memungkinkan bisa saja menjadi seorang Gubernur.
Meski berbicara kasar dan kurang sopan, seorang Gubernur tetaplah Kepala Daerah dengan urusan-urusan dan agenda penting. Sepenting berak pagi hari.

Seorang Gubernur adalah politikus. Meski ia tak berniat korupsi, kita tetap harus waspada agar ia tak lengah. Karena uang dalam laci Negara tak berada di tangannya. Ia dipegang oleh sekumpulan bawahan. Yang kita sebut orang kantoran atawa pegawai.

Pentingnya seorang Gubernur hadir sebagai otoritas dalam kapal maha besar ini, sudah tersusun lengkap semenjak manusia memulai untuk sedikit demokratis. Semenjak ilmu pengetahuan diperlengkap dengan teori-teori masuk akal dan logis. Kehadiran seorang Gubernur ke dunia ini bukan sebagai pelengkap demokrasi. Ia tak harus ganteng dan berani, kalau ia punya sifat tahu diri. Tahu bahwa yang enak dimakan itu hanya sebatas kerongkongan. Lewat dari itu, semua sama.
Bahkan, seorang Gubernur tidaklah mesti semahir Soekarno dalam berpidato. Kalau dia sadar bahwa kemajuan suatu bangsa itu tak sekedar penjelasan panjang lebar di acara-acara seremonial. Gubernur harus paham itu. Karena kalau Gubernur saja tak paham. Kita lebih-lebih. Apalagi, system birokrasi kita ribet bukan kepalang. Segala laporan bulanan dan tahunan, selalu dalam bentuk angka-angka fenomenal. Kemajuan selalu dihitung dari seberapa banyak gedung tegak dan berapa kampung tenggelam.

Semua urusan memang tak selamanya harus dikerjakan Gubernur. Karena Gubernur juga punya waktu tidur dan bercanda dengan keluarga, kalau tidak begitu. Betapa tak menariknya Gubernur kita.
Gubernur bukan filsuf. Karena jarang seorang Gubernur mampu mendefinisikan kagalauan rakyatnya dengan baik. Bahkan, seorang Gubernur kadang cenderung cuek. Padahal kita mengerti semua yang dia lakukan tidak  semua keluar dari hasil apa yang ia pikirkan. Gubernur yang malas hanya mendengar bisik-bisik dari bawahan. Bahwa segala sesuatu berjalan lancar.

Ia tak juga pelawak. Lelucon tak berkualitas sekali pun  yang keluar dari mulutnya tetap akan kita tertawakan. Inilah bentuk penghargaan di tengah tekanan ekonomi. Kita menghargai Gubernur bukan kita takut padanya. Bukan juga karena ia banyak pengawalnya. Menghormati Gubernur hadir dengan sendirinya di lampu merah. Ia akan dihormati manakala ikut mengantri menunggu lampu hijau menyala. Memang, ia penting karena selalu tergopoh-gopoh menerobos lampu merah. Bayangkan saja kalau Gubernur berani tidak taat aturan, kita rakyat sudah pasti lebih berani mencabut lampu traficlight di tiang. Logis dong. Karena kita banyak.

Gubernur tak boleh tidur. Karena Walikota mencintai jaga malam. Hingga warganya sekalian disuruh begadang. Maka, Gubernur akan disayang. Sejauh tidak memerintah dari atas ranjang. Percayalah.

Komunitas Kanot Bu. Banda Aceh.