senirupa

Wednesday, November 27, 2013

Iklan JKA dan Kekacauan Visual



(tulisan ini sudah dimuat di Atjehpost.com beberapa waktu lalu saat ketika pemasangan poto iklan JKA yang memuat poto seorang kakek dengan rokok di mulutnya. sehingga menjadi topik hangat di media online ketika itu.)
 
atjehpost.com
Kepala kantor  semakin berwibawa. Papan reklame dipenuhi wajahnya. bersikap elegan atau tampil berkopiah. semua berkuasa atas angkasa raya asal membayar. Lalu, kota kita semakin berbirahi menjual papan peringatan, maklumat resmi pemerintah, iklan obat ketiak
hingga tampang artis ibukota yang ranum-ranum. 

Seorang ibu kepala kantor juga sama. Berkerudung dan terpampang manis di iklan layanan masyarakat. memberi petuah tentang penanggulangan wabah ciret dan  disentri. Wajahnya selalu menyimpan energi. Menarik dan sukar dilupa. Kecintaannya pada hal ihwal sosialisasi, menjadikannya ratu di berbagai rumah cetak. Menjadi pesohor di rata persimpangan.

Udara kita telah dicemari dengan alat publikasi yang dirancang oleh mereka yang tidak dan jarang bersentuhan dengan kerja-kerja visual. Begitulah, kerja birokrasi hendaknya proporsional.  Contoh teranyar adalah soal iklan JKA yang menampilkan seorang kakek sedang merokok, Seperti berita di Atjehpost.com. kenapa hal ini bisa kecolongan di tengah gencarnya aksi menghambat perokok di kantor-kantor pemerintah? Hanya mereka yang membuat iklan itu yang tahu. Apakah karena lupa atau memang tutup mata ketika mensortir poto yang tepat untuk ditampilkan? Begitulah, apapun alasannya, ketelitian menjadi modal dalam kerja-kerja sosialisa program pemerintah. Entahlah kalau memang keberadaan pemerintah sebagai panggung lawak yang setiap saat bisa ditertawakan. 

Kebiasaan memasang poto atasan di baliho sosialisasi bukanlah hal positif. Karena, hal demikian bisa dipandang segenap rakyat umum sebagai alat publikasi diri gratis sang atasan. Juga dapat disinyalir sebagai ajang menjilat secara terselubung.  Sementara, atasan sendiri tidak tahu menahu dengan penempatan potonya di sana. Baliho JKA pada dasarnya menarik. Jika saja sang kakek sedang tidak merokok, karena simbolisasi orang susah amat kentara di raut wajahnya. Namun, karena lagi-lagi kurang teliti sang kreator, malah menabrak etika beriklan. 

Lain lagi baliho di dekat SPBU Ulee Lheue. Iklan tentang bahaya narkoba ini samasekali tidak mengandung unsur artistik. Selain lalai terhadap tipografi, juga pemilihan warna yang amat main-main. Sehingga penyampaian pesan tidak begitu mengena. Benar-benar kekacauan visual, kalau tak ingin disebut musibah bagi persenirupaan. Mata pengguna jalan tidak punya cukup waktu untuk menoleh dan mencermati isi pesan. Kalau memang tidak menarik perhatian, mereka tak akan berpaling sedikit pun. Mungkin untuk masalah kekacauan visual ini, ke depan kita sarankan bisa ditambah satu badan yang khusus menangani masalah publikasi yang bersangkut paut dengan kehumasan Pemda. Dan tentu saja diisi oleh mereka yang berkompeten di bidangnya. 

Lalu, bandingkan dengan iklan-iklan swasta yang ikut melahirkan polusi mata kita di tengah kota, iklan layanan masyarakat seakan-akan menunjukkan bukti betapa kurang jumlah perupa di tanah ini. Atau jangan-jangan percetakan kita ikut menyumbang kekacauan visual karena alasan mengejar deadline? Hanya Allah yang tahu.