![]() | |
cek is |
Dalam konteks perdamaian yang sudah berjalan 7 tahun di Aceh, damai bukan saja bagaimana setiap tanggal 15 Agustus kota Banda Aceh akan dipenuhi dengan umbul-umbul dan spanduk yang mengucapkan selamat atas terciptanya damai di tanah rencong. Damai tak saja hanya dimaknai sekedar seremoni di lingkungan para elit politik daerah. Yang dalam bahasa orang pasar mereka-mereka yang merasa diri sebagai ‘raja-raja kecil’.
![]() | |
damai dalam darurat moral. cek is dkk |
Meredanya kasus-kasus kekerasan seperti era konflik dahulu tidak serta
merta permasalahan usai dan punah. Permasalahan baru (pada dasarnya masalah klasik sebuah
pemerintah yang dibangun atas kepentingan kelompok: korup) siap
menghadang. Di tengah suasana damai,
perhatian kita harus lebih tersorot fokus ke urusan keuangan. Karena, Aceh
menjadi lumbung uang. ‘silap mata putoh
takue’ (istilah dalam bahasa Aceh
yang artinya, lengah berarti hilang nyawa) kata orang tua kita dulu
Sambil melepas merpati putih
pada hari peringatan 7 tahun damai, gubernur harusnya berpikir bahwa merpati
yang dia lepaskan akan terbang melintasi perkampungan di pedalaman yang masih
miskin dan jarang didatangi pemerintah walau untuk sekedar berbuka puasa
bareng. Kampung yang tetap melanjutkan ketertinggalannya di tengah hiruk pikuk
damai di media massa. Kampung yang tetap terisolasi dari dunia luar meski pun
damai telah berusia 7 tahun.
Bahkan, bisa saja seekor
merpati yang kali ini jadi merpati pilihan untuk dilepas, akan berpikir inilah
berkah damai yang patut disyukuri. Karena sekian lama hidup dalam sangkar dan
diperjualbelikan secara legal. Jangankan manusia, binatang sekaliber Merpati
saja mendapat berkah atas hadirnya damai di bumi Aceh.
Bisa dibayangkan Dalam kawanan
merpati yang dilepaskan itu, tiba-tiba nongol seekor tikus tambun dan sehat
yang juga berwarna putih ikut terbang melayang-layang di udara ibukota Banda Aceh yang panas. Tentu saja tikus juga
bersayap layaknya merpati putih. Dan mengibas-ngibaskan sayap selembut merpati.
Ini kelicikan tikus yang patut diwaspadai para elit yang ramai-ramai melepaskan
merpati pada hari peringatan 7 tahun perdamaian Aceh. Tikus memang bukan Iguana
yang selalu bisa menyamarkan diri di mana ia berada. Bukan pula Serigala
berbulu ayam (mana ada seekor Serigala menghabiskan waktu hanya untuk mengganti
bulu?)
Seekor tikus lebih intelektual
dari siapa pun yang telah berkali-kali mendapatkan gelar guru besar sekali pun.
Tikus dalam simbol paling nakal sekali pun, tetap akan kelihatan berwibawa
dengan pakaian necis dan berbadan wangi. Tindak-tanduknya terlalu halus untuk
dikatakan oportunis. Tetap menunduk untuk menimbolkan sikap sopan.
Namun, di sebalik semua sikap ‘etis’ demikian, ia tetaplah seekor tikus yang
kita kenal sebagai binatang paling rakus. “Yang selalu siap untuk sapu bersih
segala isi laci keuangan di lemari-lemari kekuasaan pemerintah kita.” Ungkap Wadi
yang akrab disapa Cek Is. Mural di atas dua lembar triplek ini terinspirasi
dari perjalanan damai Aceh yang sudah masuk tahun ke tujuh. Wadi menuangkannya
dalam mural. Konsep ini ia akali dengan memerpatikan tikus. Simbol perdamaian
yang melahirkan koruptor-koruptor baru. Dari diskusi-diskusi kecil dengan
teman-teman perupa jalanan, Wadi menarasikan bahasa rupa tepat dalam momen
tepat pula.
Wadi sendiri tidak asing
dengan dunia mural. Tembok-tembok sudut kota Banda Aceh sudah banyak ia
muralkan secara swadaya. Baik tunggal maupun kolaborasi dengan teman-teman
perupa. Korupsi kerap menjadi wacana yang sulit ia nalarkan. Tak habis pikir,
ia curahkan dalam mural atau karikatur naratif.
Refleksi kecil ini
dimanifestasikan di atas media berbahan triplek yang dipancangkan persis dalam ruas lingkaran
tugu simpang lima kota Banda Aceh pada 15 Agustus 2012 oleh sejumlah
seniman muda Aceh lintas sektor. Dalam refleksi 7 tahun perdamaian di Aceh. Mural
yang diberi judul ‘ Damai di antara Darurat Moral’ itu dimotori oleh seniman
visual jalanan di kota Banda Aceh.
“7 tahun usia perdamaian di Aceh adalah narasi panjang yang sarat harapan dari masyarakat. Pesan ini terlihat dalam mural dimaksud dengan tengadahan tangan yang keluar dari aliran air. Yang mana air sendiri adalah sumber kehidupan yang menyejukkan.” Ungkap Kamaruzzaman, pegiat lembaga Jaringan Rupa Aneuk Nanggroe (JAROE).
Ungkapan visual adalah teks tersembunyi bagi yang mampu mengambil makna-makna laten dari imaji sebuah mural. Membaca mural 7 tahun perdamaian ini adalah membaca harapan masyarakat Aceh yang terlanjur muak kepada kemunafikan, pengkhianatan dan sejenisnya. Pengkhianatan atas cita-cita menuju Aceh bermartabat dan jauh dari manipulasi.
Aceh adalah bingkai retak yang coba dipugar di masa damai ini. Dan kaum oportunis bukan tidak mungkin ikut ambil bagian mencari keuntungan diri dan kelompok. Butuh kejelian pemerintah dan rakyat dalam hal ini. Semoga damai bisa bernafas panjang di bumi serambi mekkah, kita doakan.
2012