senirupa

Wednesday, November 27, 2013

Refleksi 7 Tahun Perdamaian di Aceh: Damai di Antara Darurat Moral




 (tulisan ini sudah pernah dimuat di mixmagz magazine versi pdf. mixmags diterbitkan oleh karamba art gallery. tulisan ini sekedar dokumentasi dalam perhelatan peringatan 7 tahun damai aceh 2012. yang diinisiasi oleh Jaroe. jaringan aneuk rupa nanggroe)
cek is
Damai lebih sering dirayakan dengan menyimbolkannya dengan Merpati putih dan jabat tangan. dari masa lalu sampai sekarang damai dipandang satu sisi saja, dua pihak bertikai dalam jangka waktu tertentu, kemudian datang pihak lain mendamaikan, Selesai urusan. Akibatnya, damai dipahami sesempit lorong yang ketika dua orang berpapasan berlawanan arah harus bersinggungan bahu. jikalau tak sabar, bisa menimbulkan konflik karena merasa sama-sama penting dan sama-sama meukarat (dalam bahasa Indonesia tergesa-gesa).

Dalam konteks perdamaian yang sudah berjalan 7 tahun di Aceh,  damai bukan saja bagaimana setiap tanggal 15 Agustus kota Banda Aceh akan dipenuhi dengan umbul-umbul dan spanduk yang mengucapkan selamat atas terciptanya damai di tanah rencong. Damai tak saja hanya dimaknai sekedar seremoni di lingkungan para elit politik daerah. Yang dalam bahasa orang pasar mereka-mereka yang merasa diri sebagai ‘raja-raja kecil’. 
damai dalam darurat moral. cek is dkk



Meredanya kasus-kasus kekerasan seperti era konflik dahulu tidak serta merta permasalahan usai dan punah. Permasalahan baru (pada dasarnya masalah klasik sebuah pemerintah yang dibangun atas kepentingan kelompok: korup) siap menghadang. Di tengah suasana damai, perhatian kita harus lebih tersorot fokus ke urusan keuangan. Karena, Aceh menjadi lumbung uang. ‘silap mata putoh takue’  (istilah dalam bahasa Aceh yang artinya, lengah berarti hilang nyawa) kata orang tua kita dulu

Sambil melepas merpati putih pada hari peringatan 7 tahun damai, gubernur harusnya berpikir bahwa merpati yang dia lepaskan akan terbang melintasi perkampungan di pedalaman yang masih miskin dan jarang didatangi pemerintah walau untuk sekedar berbuka puasa bareng. Kampung yang tetap melanjutkan ketertinggalannya di tengah hiruk pikuk damai di media massa. Kampung yang tetap terisolasi dari dunia luar meski pun damai telah berusia 7 tahun.  

Bahkan, bisa saja seekor merpati yang kali ini jadi merpati pilihan untuk dilepas, akan berpikir inilah berkah damai yang patut disyukuri. Karena sekian lama hidup dalam sangkar dan diperjualbelikan secara legal. Jangankan manusia, binatang sekaliber Merpati saja mendapat berkah atas hadirnya damai di bumi Aceh.
Bisa dibayangkan Dalam kawanan merpati yang dilepaskan itu, tiba-tiba nongol seekor tikus tambun dan sehat yang juga berwarna putih ikut terbang melayang-layang di udara ibukota  Banda Aceh yang panas. Tentu saja tikus juga bersayap layaknya merpati putih. Dan mengibas-ngibaskan sayap selembut merpati. Ini kelicikan tikus yang patut diwaspadai para elit yang ramai-ramai melepaskan merpati pada hari peringatan 7 tahun perdamaian Aceh. Tikus memang bukan Iguana yang selalu bisa menyamarkan diri di mana ia berada. Bukan pula Serigala berbulu ayam (mana ada seekor Serigala menghabiskan waktu hanya untuk mengganti bulu?)
Seekor tikus lebih intelektual dari siapa pun yang telah berkali-kali mendapatkan gelar guru besar sekali pun. Tikus dalam simbol paling nakal sekali pun, tetap akan kelihatan berwibawa dengan pakaian necis dan berbadan wangi. Tindak-tanduknya terlalu halus untuk dikatakan oportunis. Tetap  menunduk untuk menimbolkan sikap sopan. Namun, di sebalik semua sikap ‘etis’ demikian, ia tetaplah seekor tikus yang kita kenal sebagai binatang paling rakus. “Yang selalu siap untuk sapu bersih segala isi laci keuangan di lemari-lemari kekuasaan pemerintah kita.” Ungkap Wadi yang akrab disapa Cek Is. Mural di atas dua lembar triplek ini terinspirasi dari perjalanan damai Aceh yang sudah masuk tahun ke tujuh. Wadi menuangkannya dalam mural. Konsep ini ia akali dengan memerpatikan tikus. Simbol perdamaian yang melahirkan koruptor-koruptor baru. Dari diskusi-diskusi kecil dengan teman-teman perupa jalanan, Wadi menarasikan bahasa rupa tepat dalam momen tepat pula. 

Wadi sendiri tidak asing dengan dunia mural. Tembok-tembok sudut kota Banda Aceh sudah banyak ia muralkan secara swadaya. Baik tunggal maupun kolaborasi dengan teman-teman perupa. Korupsi kerap menjadi wacana yang sulit ia nalarkan. Tak habis pikir, ia curahkan dalam mural atau karikatur naratif.
Refleksi kecil ini dimanifestasikan di atas media berbahan triplek yang dipancangkan persis dalam  ruas lingkaran  tugu simpang lima kota Banda Aceh pada 15 Agustus 2012 oleh sejumlah seniman muda Aceh lintas sektor. Dalam refleksi 7 tahun perdamaian di Aceh. Mural yang diberi judul ‘ Damai di antara Darurat Moral’ itu dimotori oleh seniman visual jalanan di kota Banda Aceh. 

Lebih jauh lagi Semua orang di lingkaran kekuasaan berpotensi untuk menjadi ‘tikus’. Kesempatan terbuka lebar di era damai. Konon lagi, banyak kelonggaran-kelonggaran kita dapatkan akibat kembali sehatnya iklim demokrasi  di masa damai ini. Kelonggaran itu bisa terdapat dalam bentuk ‘otonomi khusus’ yang diperkuat oleh butir-butir kesepakatan dalam UU PA (Undang-Undang Pemerintah Aceh).

“7 tahun usia perdamaian di Aceh adalah narasi panjang yang sarat harapan dari masyarakat. Pesan ini terlihat dalam mural dimaksud dengan tengadahan tangan yang keluar dari aliran air. Yang mana air sendiri adalah sumber kehidupan yang menyejukkan.” Ungkap Kamaruzzaman, pegiat lembaga Jaringan Rupa Aneuk Nanggroe (JAROE).

Ungkapan visual adalah teks tersembunyi bagi yang mampu mengambil makna-makna laten dari imaji sebuah mural. Membaca mural 7 tahun perdamaian ini adalah membaca harapan masyarakat Aceh yang terlanjur muak kepada kemunafikan, pengkhianatan dan sejenisnya. Pengkhianatan atas cita-cita menuju Aceh bermartabat dan jauh dari manipulasi. 

Aceh adalah bingkai retak yang coba dipugar di masa damai ini. Dan kaum oportunis bukan tidak mungkin ikut ambil bagian mencari keuntungan diri dan kelompok. Butuh kejelian pemerintah dan rakyat dalam hal ini. Semoga damai bisa bernafas panjang di bumi serambi mekkah, kita doakan.

2012