reza dan umma antologi |
Puisi lahir dari kerawanan seseorang yang sedang
dilanda kerisauan. Kerisauan muncul bisa dimana saja. Tak peduli ruang dan
waktu. Orang menghabiskan waktu dengan berbagai kegiatan, untuk membunuh waktu
luang. Mungkin hal paling mungkin dilakukan di zaman paling instant ini adalah
mengambil pena sebatang dan secarik kertas putih lalu menoreh beberapa
kalimat-kalimat indah di situ sebagai bentuk pelampiasan atas kerawanan hati
dan benak. Kita tentu saja menyebut itu sebagai puisi, syair atawa sejenisnya.
Puisi mengalami banyak perubahan dari masa ke masa.
Dari zaman dulu hingga sekarang, puisi mengalami masa-masa sulit. Dipolitisasi
bahkan penyair dianggap sebagai orang yang tidak hidup di bumi dan menyentuh
tanah. Karena hampir semua penyair hidup dalam dunia yang dibangunnya sendiri
yang imajinatif dan sunyi. Sehingga posisi seorang penyair sangat riskan untuk
disebut penyendiri. Tapi secara rohaniah, puisi itu memang perlu untuk mengisi
kekosongan jiwa manusia.
Baiklah! untuk memastikan bahwa puisi bukanlah sebuah
kegiatan yang sia-sia.
Kita harus yakin bahwa kegiatan menulis adalah proyek
besar menghambat amnesia (penyakit lupa).
Maka, buku Vice Versa lahir dari kerisauan ‘sepasang
kekasih’ yang telah dimabuk cinta. sehingga lahir permenungan terhadap jalannya
cinta mereka. Cinta yang ketika hadir
meluruskan yang bengkok, membenarkan kekeliruan. Cinta yang mencipta
takut dengan indah. Namun, bagi mereka Ketakutan adalah kekuatan. Dalam
ketakutan (takut akan pengkhianatan, takut akan kehilangan) ikut lahir
keberanian manusia. Setidaknya keberanian untuk melawan ketakutan itu sendiri.
Dalam antologi ini, Umma Azzuradan Reza Mustafa adalah
sepasang ‘kekasih’ yang menyatu dalam kisah cinta yang aneh. Yang sadar bahwa
bawah sadar adalah kekayaan pribadi yang
sifatnya unik dan harus dipertahankan meskipun jiwa mereka telah lebur satu
sama lain. Yang pada kenyataannya raga mereka terpisah bermil-mil jaraknya,
satu di Aceh, satu di Makassar. Dengan jalan puisi kebersamaan dapat dijalin
tanpa harus seatap. Pada hakikatnya inilah bentuk penghormatan atas pola
interaksi individual.
sebab
khayalan tak kasat mata. kau mesti bertengkar dengan orang-orang sekitar. kata Reza Mustafa dalam salah satu puisi di buku ini. Bukankah cinta itu sendiri adalah sesuatu yang
dibayangkan? Dan lantas kita menjalaninya dengan sukarela. Menghadapi resiko,
terbunuh sepi atau bahkan sekalian
mengkhianatinya. Asmara memang tidak bisa tidak menuntut kita untuk
menyisihkan waktu untuk sejenak mengkhayalkan kekasih (yang bagi kita tentu
saja tiada duanya di dunia semakin sempit ini).
Atau katakanlah kita enggan
menyebutnya ini sebagai antologi cinta. maka kita dapat menyebutnya sebagai
kontemplasi asmara. Dimana dua penyair yang berlainan jenis kelamin ini bersahutan
dan berjawab Tanya soal isi hati masing-masing. Ini tidak sekedar memenuhi
unsur perpuisian yang ribet. Ini
sekedar kepolosan dalam mencari kemungkinan lain dalam mencintai.
Maaf, bukan matamu tak indah
Jujur, aku hanya tak berani menatapnya,
Takut, kau akan menelanjangi hatiku dengan mudahnya
Jujur, aku hanya tak berani menatapnya,
Takut, kau akan menelanjangi hatiku dengan mudahnya
Umma Azura berkata dalam puisi ‘tertunduk malu’.
Seorang kekasih yang telah larut dalam kabut asmara lawan jenisnya, semuanya
akan mengalami hal semacam ini. Mungkin anda pernah mengalami hal semacam ini beberapa
kali atau bahkan berpuluh-puluh kali semasa remaja. Dan anda akan mengatakan
ini adalah bentuk keindahan yang tercipta dengan sendirinya meskipun anda bukan
seorang seniman rupa yang tersohor seantero negeri. Keindahan adalah milik
pribadi. Dan anda berhak menikmati hal-hal semacam ini, sejauh anda memugarnya
setiap saat untuk mencipta ‘takut’ yang maha indah dengan kekasih anda.
Tapi, percayalah! Cinta bukan hanya teks. Siapa pun
yakin bahwa cinta membutuhkan laku konkret. Cinta yang termaktub dalam sejumlah
teks Vice Versa hanyalah sekonsep cinta yang coba dibagikan kepada sekalian
kita untuk dapat menambah pengalaman tekstasi yang jarang mengalami ‘orgasme
tekstual’ setiap membaca syair paling dahsyat sekali pun. Sekumpulan arsip
asrmara yang tercecer dari perjalanan jiwa dua manusia yang syukur masih bisa
didokumentasikan pemiliknya.
Teks puisi mana pun tak akan pernah mampu mengimami
kita untuk melakukan ritual percintaan. Teks sastra sehebat ciptaan Vatsyayana
sekalipun belum tentu mampu menciptakan lorong panjang di hati kita yang mana
dengan itu kita dapat sampai pada makna sebuah asmara. Asmara yang kita
idam-idamkan dapat menjadi penyejuk tatkala kemarau melanda hati para pecinta.
Seorang pecinta sedang mabuk hanyalah meninggalkan
jejak-jejak kepasrahan total pada kekasihnya. Selayak Zulaikha yang pasrah saja
seandainya Yusuf mengapa-apakannya. Persisnya Seperti yang dikatakan Umma Azura
dalam penggalan puisi ‘I do like you’ berikut ini:
ahh, kamu ini selalu membuatku turun
kasta
dari Sufi menjadi manusia yang dimabuk cinta
dari Sufi menjadi manusia yang dimabuk cinta
Seandainya kekasih kita menurunkan derajat kita
menjadi budaknya hari itu juga, maka, kita rela saja asalkan menjadi budak
cintanya. Cinta, bagaimana pun indahnya tetap mencipta ketakutan-ketakutan aneh
yang kita jiwai sebagai aura keindahan.
Puisi yang terhimpun dalam antologi ini sama sekali
bukan perbaruan dari puisi yang telah lebih dulu ada dan diapresiasi masyarakat
sastra Indonesia. Menilik dari gaya ungkap kedua penyair ini terlihat jelas
sekali latar belakang penyair ikut mempengaruhi. Reza Mustafa masih setia dengan
ungkapan-ungkapan nakal dan satire. Sementara Umma Azzura dengan keheningannya
mampu menyampaikan maksud-maksud hati melalui pemilihan diksi sederhana.
Kolaborasi dua kutub ini melahirkan sekumpulan puisi yang sama sekali jauh dari
kesan cengeng dan semu.
Selamat membaca!!
Idrus Bin Harun.