senirupa

Tuesday, November 26, 2013

vice versa: menghambat jawai (pikun) dengan puisi


reza dan umma antologi

Puisi lahir dari kerawanan seseorang yang sedang dilanda kerisauan. Kerisauan muncul bisa dimana saja. Tak peduli ruang dan waktu. Orang menghabiskan waktu dengan berbagai kegiatan, untuk membunuh waktu luang. Mungkin hal paling mungkin dilakukan di zaman paling instant ini adalah mengambil pena sebatang dan secarik kertas putih lalu menoreh beberapa kalimat-kalimat indah di situ sebagai bentuk pelampiasan atas kerawanan hati dan benak. Kita tentu saja menyebut itu sebagai puisi, syair atawa sejenisnya.
Puisi mengalami banyak perubahan dari masa ke masa. Dari zaman dulu hingga sekarang, puisi mengalami masa-masa sulit. Dipolitisasi bahkan penyair dianggap sebagai orang yang tidak hidup di bumi dan menyentuh tanah. Karena hampir semua penyair hidup dalam dunia yang dibangunnya sendiri yang imajinatif dan sunyi. Sehingga posisi seorang penyair sangat riskan untuk disebut penyendiri. Tapi secara rohaniah, puisi itu memang perlu untuk mengisi kekosongan jiwa manusia.
Baiklah! untuk memastikan bahwa puisi bukanlah sebuah kegiatan yang sia-sia.
Kita harus yakin bahwa kegiatan menulis adalah proyek besar menghambat amnesia (penyakit lupa).
Maka, buku Vice Versa lahir dari kerisauan ‘sepasang kekasih’ yang telah dimabuk cinta. sehingga lahir permenungan terhadap jalannya cinta mereka. Cinta yang ketika hadir  meluruskan yang bengkok, membenarkan kekeliruan. Cinta yang mencipta takut dengan indah. Namun, bagi mereka Ketakutan adalah kekuatan. Dalam ketakutan (takut akan pengkhianatan, takut akan kehilangan) ikut lahir keberanian manusia. Setidaknya keberanian untuk melawan ketakutan itu sendiri.
Dalam antologi ini, Umma Azzuradan Reza Mustafa adalah sepasang ‘kekasih’ yang menyatu dalam kisah cinta yang aneh. Yang sadar bahwa bawah sadar  adalah kekayaan pribadi yang sifatnya unik dan harus dipertahankan meskipun jiwa mereka telah lebur satu sama lain. Yang pada kenyataannya raga mereka terpisah bermil-mil jaraknya, satu di Aceh, satu di Makassar. Dengan jalan puisi kebersamaan dapat dijalin tanpa harus seatap. Pada hakikatnya inilah bentuk penghormatan atas pola interaksi individual.
sebab khayalan tak kasat mata. kau mesti bertengkar dengan orang-orang sekitar. kata Reza Mustafa dalam salah satu puisi di buku ini.  Bukankah cinta itu sendiri adalah sesuatu yang dibayangkan? Dan lantas kita menjalaninya dengan sukarela. Menghadapi resiko, terbunuh sepi atau bahkan sekalian  mengkhianatinya. Asmara memang tidak bisa tidak menuntut kita untuk menyisihkan waktu untuk sejenak mengkhayalkan kekasih (yang bagi kita tentu saja tiada duanya di dunia semakin sempit ini).
Atau katakanlah kita enggan menyebutnya ini sebagai antologi cinta. maka kita dapat menyebutnya sebagai kontemplasi asmara. Dimana dua penyair yang berlainan jenis kelamin ini bersahutan dan berjawab Tanya soal isi hati masing-masing. Ini tidak sekedar memenuhi unsur perpuisian yang ribet. Ini sekedar kepolosan dalam mencari kemungkinan lain dalam mencintai.
Maaf, bukan matamu tak indah
Jujur, aku hanya tak berani menatapnya,
Takut, kau akan menelanjangi hatiku dengan mudahnya
Umma Azura berkata dalam puisi ‘tertunduk malu’. Seorang kekasih yang telah larut dalam kabut asmara lawan jenisnya, semuanya akan mengalami hal semacam ini. Mungkin anda pernah mengalami hal semacam ini beberapa kali atau bahkan berpuluh-puluh kali semasa remaja. Dan anda akan mengatakan ini adalah bentuk keindahan yang tercipta dengan sendirinya meskipun anda bukan seorang seniman rupa yang tersohor seantero negeri. Keindahan adalah milik pribadi. Dan anda berhak menikmati hal-hal semacam ini, sejauh anda memugarnya setiap saat untuk mencipta ‘takut’ yang maha indah dengan kekasih anda.
Tapi, percayalah! Cinta bukan hanya teks. Siapa pun yakin bahwa cinta membutuhkan laku konkret. Cinta yang termaktub dalam sejumlah teks Vice Versa hanyalah sekonsep cinta yang coba dibagikan kepada sekalian kita untuk dapat menambah pengalaman tekstasi yang jarang mengalami ‘orgasme tekstual’ setiap membaca syair paling dahsyat sekali pun. Sekumpulan arsip asrmara yang tercecer dari perjalanan jiwa dua manusia yang syukur masih bisa didokumentasikan pemiliknya.
Teks puisi mana pun tak akan pernah mampu mengimami kita untuk melakukan ritual percintaan. Teks sastra sehebat ciptaan Vatsyayana sekalipun belum tentu mampu menciptakan lorong panjang di hati kita yang mana dengan itu kita dapat sampai pada makna sebuah asmara. Asmara yang kita idam-idamkan dapat menjadi penyejuk tatkala kemarau melanda hati para pecinta.
Seorang pecinta sedang mabuk hanyalah meninggalkan jejak-jejak kepasrahan total pada kekasihnya. Selayak Zulaikha yang pasrah saja seandainya Yusuf mengapa-apakannya. Persisnya Seperti yang dikatakan Umma Azura dalam penggalan puisi ‘I do like you’ berikut ini:
ahh, kamu ini selalu membuatku turun kasta
dari Sufi menjadi manusia yang dimabuk cinta
Seandainya kekasih kita menurunkan derajat kita menjadi budaknya hari itu juga, maka, kita rela saja asalkan menjadi budak cintanya. Cinta, bagaimana pun indahnya tetap mencipta ketakutan-ketakutan aneh yang kita jiwai sebagai aura keindahan.
Puisi yang terhimpun dalam antologi ini sama sekali bukan perbaruan dari puisi yang telah lebih dulu ada dan diapresiasi masyarakat sastra Indonesia. Menilik dari gaya ungkap kedua penyair ini terlihat jelas sekali latar belakang penyair ikut mempengaruhi.  Reza Mustafa masih setia dengan ungkapan-ungkapan nakal dan satire. Sementara Umma Azzura dengan keheningannya mampu menyampaikan maksud-maksud hati melalui pemilihan diksi sederhana. Kolaborasi dua kutub ini melahirkan sekumpulan puisi yang sama sekali jauh dari kesan cengeng dan semu.
Selamat membaca!!

Idrus Bin Harun.