child in wall |
Saya
ingin menceritakan kejadian yang menimpa kita di Aceh. Dahulu saat
konflik masih seru-serunya, Rakyat Aceh kehilangan harapan akan
tercipta perdamaian. Beberapa kali para pihak duduk semeja kopi untuk
membicarakan damai, beberapa kali juga susunan damai ambruk. Orang-orang
menjadi apatis akan berakhirnya pertikaian politik dengan segala trauma
yang mengikutinya.
Namun, di balik kesengsaraan dan
apatisme yang mengalungi pikiran orang Aceh, Tuhan diam-diam punya
rencana besar dalam mengakhiri konflik. 26 Desember 2004 adalah awal
yang indah –meskipun sedikit pahit- bagi terbukanya gerbang perdamaian.
Tuhan (dalam hal ini kita harus meniatkan Allah sebagai Tuhan kita)
tidak pernah memalingkan wajahNya dari doa-doa orang tertindas.
Orang-orang Aceh yang selama di penghujung abad 20 sampai awal milenium
baru masih saja bergumul dengan konflik.
Kita sadar dan
patut bersyukur atas terjadinya bencana besar gempa dan disusul tsunami
yang menewaskan ratusan ribu jiwa rakyat Aceh. Karena seandainya bencana
itu tidak datang. Mungkin saja damai juga tak hadir di sini. Para
petikai itu akan terus mempertontonkan egoisme masing-masing di hadapan
kita rakyat Aceh. Dan untuk tumbal perdamaian itu, Tuhan mengambil nyawa
saudara-saudara kita dalam geulumbang raya. Saya
sering melogikakannya lebih baik saudara-saudara kita meninggal dalam
gelombang besar itu, daripada tewas di ujung moncong senjata akibat
pembantaian. Ini hanya logika pribadi saya semata. Saya tidak tahu
logika orang lain. Karena cukup sudah airmata kehilangan membasahi
tanah Aceh tercinta.
Bukan kapasitas saya menuliskan
catatan menyerupai khutbah di sini. Mengenai apa tujuan Tuhan menimpakan
bencana pada manusia, itu bukan ranah saya. Ada otoritas tersendiri
yang lebih berkompeten dalam hal ini. Saya hanya ingin menuliskan apa
yang ada dan terlintas dari pikiran saya.
Sebagai guru
sekolah dasar 48 di Deah Geulumpang yang lansung berhadapan dengan selat
Malaka, sekolah kami termasuk daerah terlarang untuk ditempati. Karena
berdasarkan pengalaman tsunami 2004, daerah pesisir pantai merupakan
daerah terparah dilanda bencana. Namun, masyarakat tetap bermukim di
sana dengan beragam faktor dan alasan.
Di sekolah kami
dalam beberapa tahun ini selalu kedatangan oarang-orang dari LSM. Dari
yang membawa orang asing sampai orang lokal. Mereka semua punya
kepentingan masing-masing ke sekolah. Dari masalah penguatan kurikulum
sampai kesiapsiagaan bencana. Seiring dengan masa bakti NGO, keberadaan
mereka di sini semakin berkurang. Sehingga yang tinggal hanya beberapa
saja yang lebih banyak bergerak dalam kesiapsiagaan bencana. Mereka
mengumpulkan siswa untuk berbagi tentang apa yang harus dilakukan ketika
pra,saat, dan pasca bencana. Khusus untuk gempa, mereka mengajarkan
anak-anak nyanyian yang easy listening. Hampir semua anak tahu dan dapat
menghafalnya dalam beberapa menit saja. Anak-anak sangat menyukai
nyanyian dan games tentang kebencanaan.
Ini salahsatu
bentuk metode yang menarik perhatian anak dalam mempelajari segala yang
berhubungan dengan kesiapsiagaan bencana. Patut diapresiasi. Berikut ini
liriknya:
Kalau ada gempa
lindungi kepala
kalau ada gempa
masuk kolong meja
kalau ada gempa
hindari dari kaca
kalau ada gempa
lari ke lapangan terbuka
inilah
lirik nyanyian yang beredar dan cukup terkenal di kalangan anak-anak.
Mungkin bahkan melebihi lagu Ayu Ting-Ting. Nyanyian tersebut kerap
terdengar dinyanyikan anak-anak jika sedang ada pelatihan yang
dikhususkan pada mereka.
Saya tidak tahu siapa yang
menciptakan pertama lagu ini. Yang pasti tiba-tiba menjadi tenar dengan
sendirinya. Mungkin seandainya lagu itu pada akhirnya terkenal dan
menguntungkan secara finansial, saya yakin akan ada banyak orang
mengklaim dialah pencipta lagu tersebut. Persis seperti yang terjadi
dalam infotainment di televisi Indonesia yang saban hari menyajikan berita perseteruan ini itu.
Dunia
anak-anak adalah dunia bermain. Segala sesuatu bagi mereka adalah
permainan. Tentu saja beda konotasinya dengan orang dewasa ketika
membuat pernyataan: “hidup adalah permainan” filosofis yang terkandung
di dalamnya juga berbeda. Anak-anak murni bermain dengan segala
keriangannya. Maka, Para ahli menyebut edukasi anak dengan Pedagogi.
Dalam
pedagogi, transformasi pengetahuan anak dilakukan dengan terlebih
dahulu memahami anak dan dunianya. Anak dikenalkan pada pengetahuan dan
alam sekitarnya menggunakan instrumen games dan nyanyian. Dengan konsep
Learning By Doing anak-anak lebih mudah dalam menyerap informasi yang
disampaikan. Dunia anak adalah dunia yang unik dengan segala
kepolosannya. Dunia yang belum tersentuh kemunafikan dalam sikap dan
tindak kesehariannya. Kalau sekarang yang terjadi di sekolah-sekolah
formal kita anak-anak dijejerkan di kursi lalu guru mencatat panjang
lebar dan anak menyalin ulang, itu kita anggap saja sebagai ‘malpraktek
edukasi’.
***
Baiklah, sekarang mari kita amati
lirik nyanyian gempa di atas. Harap maklum, saya bukan lembaga sensor
yang menyensori segala bentuk kreatifitas seperti di zaman orde baru.
Saya hanya ingin segala sesuatu nilai yang ditanamkan dalam persepsi
anak, tidak melupakan keberadaan Tuhan sebagai pemilik sah alam ini.
Ceritanya,
dalam waktu dekat ini sekolah kami akan mengikuti lomba teater
kebencanaan yang diadakan oleh TDMRC yang berkantor di Ulee Lheue. Dalam
rangka mengenang peristiwa Tsunami di Aceh.
Kami sudah
mempersiapkan skenario dan properti. Kebetulan, kami memasukkan nyanyian
di atas untuk memperkuat sajian teater kami. Namun, anak-anak protes
dengan lirik pembuka lagu di atas. Mereka berpendapat, bahwa jika ada gempa yang
pertama harus diingat adalah Allah Ta’ala. Bukan malah melindungi
kepala.
Ya. Ini sejalan dengan hadis Maja. ‘Seumbahyang watè cirét. Meuratéb watè geumpa’.
Seburuk-buruknya iman kita, kita tak akan melupakan Tuhan dalam keadaan
kepepet. Walau hadis Maja di atas serupa sindiran kepada kita-kita yang
malas ingat kepada sang pencipta. Namun, jika dikaitkan dengan lirik
nyanyian di atas, sungguh masih mendingan, karena semalas-malasnya orang shalat, saat ia dalam sekarat masih ingat kepada Allah Ta’ala.
Kembali
ke latihan teater tadi. Lalu anak-anak menyarankan kepada saya untuk
menambahkan di kalimat awal dengan ‘ kalau ada gempa, ingat Allah
Ta’ala’. Karena saya juga sepaham dengan mereka, maka segera saja kami
sepakati bersama untuk mengubahnya. Mungkin dalam istilah kita sekarang
biar lebih kontekstual. Mengingat mayoritas rakyat Aceh menganut agama
Islam.
Hal ini patut mendapat perhatian kita. Di tengah
gencarnya pemerintah menegakkan syariat Islam (walau syariat yang
digencarkan itu, masih saja berkutat soal syahwat dan rok perempuan).
Kenapa dalam pengenalan kesiapsiagaan
bencana-terutama dalam konteks kegempaan-kita tekankan pada mengingat
Allah? Karena ahli mana pun tak dapat memprediksi kapan dan di mana
gempa itu akan datang. Meski pun isyarat akan terjadi gempa dapat
dikenali dengan membaca patahan-patahan lempeng bumi yang strukturnya
belum permanen benar dalam palung-palung pulau. Di sini yang berbicara
benar-benar kemahakuasaan Allah semata dengan segala sifat rahman dan
rahimNya semata. Tak ubahnya kematian dan awal dimulainya kehidupan.
Segalanya berada di tanganNya.
Seperti juga langkah,
rezeki, pertemuan dan maut yang sama-sama kita yakini. Kedatangan gempa
sama sekali menjadi sesuatu yang berada di luar kendali manusia. Berbeda
dengan kejadian banjir bandang yang dapat dikendalikan manusia dengan
bersahabat dengan alam. Berbaik-baik dengannya. Dengan menjaga baik-baik
populasi pepohon di rimba sana.
Maka, jika ke sekolah LSM
hendak menebarkan informasi mengenai kesiapsiagaan bencana. Mestilah
kiranya mereka memahami apa kiranya yang patut diperhatikan menyangkut
keyakinan. Sebab ini penting agar siswa-siswi tidak menafikan keberadaan
Tuhan sebagai pemilik kehidupan.
Jika anda seorang
penggemar film. Maka tak akan melewatkan film 2012 produksi Hollwood
yang spektakuer dalam penyajian dan efek gambarnya. Bagaimana film itu
menggambarkan huru-hara kiamat. Kiamat bagi film itu hanyalah sebagai
sarana rekreasi tanpa ada tendensi pesan moral. Bahwa dunia ini akan
berakhir dengan suatu tragedi maha besar dan tragis. Akan ada alam lain
yang akan dihuni manusia setelah ini. Dalam film itu sama sekali tak
menyentuh ranah ini. Dan itu sangat wajar dengan alam pikir sebagian
masyarakat Amerika yang sekuler. Yang melihat segala sesuatu dengan
kacamata rasionalitas. Dan kita tentu saja tak berhak mengklaim
itu salah. Itu bagian dari peradaban suatu bangsa yang wajib bagi kita
sekalian menghormatinya.
Meskipun huru-hara kiamat yang
sebenarnya jauh lebih menegangkan dari yang divisualkan film tersebut.
Namun, ketika menonton film itu, kita harus benar-benar dapat menahan
nafas dengan teratur. Kalau tidak akan kejang-kejang. Begitulah suatu
kepercayaan menafsirkan kiamat. Pada titik ini pasti berbeda dengan kita
dalam memahami kiamat. Ada penyesuaian di sana dengan agama kita Islam.
Saya tidak bermaksud hendak membandingkan antara Islam dan agama lain.
Namun, karena Aceh didominasi oleh penganut Islam, saya pikir wajib
kiranya ada penyesuaian. Meski dalam bentuk nyanyian pengenalan gempa
sekali pun. Kalau tidak begitu, tentu saja roh Islam makin lama makin
memudar dalam jiwa generasi selanjutnya. Meski pun sedikit ideal. Saya
kira tak patut kita luputkan.
Coba bayangkan. Seorang penyanyi balada sekelas Ebiet G Ade masih menghadirkan Tuhan dalam lirik lembut lagunya. “mungkin
Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita. Yang selalu sombong dan bangga
dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan, bersahabat dengan kita, coba
kita tanya pada rumput yang bergoyang”
Saking
bingungnya dengan ulah manusia yang berakibat murkanya alam, Ebiet G
Ade kehilangan tempat bertanya. Maka, dijadikanlah rumput liar yang tak
tahu menahu sebagai tempat mengadu. Selain itu, penyanyi legendaris lain
semisal Iwan Fals dan kawan-kawanya saja yang masa mudanya terkesan
urakan dan ‘semau gue’ masih menyisipkan nama Tuhan dalam lirik lagunya
paling emosional sekali pun. Cobalah anda simak cara dia berkomunikasu
dengan Tuhan. “Hei Tuhan, apakah Kau dengar. Jerit umatmu. Di sela, tebalnya debu”. Lagu
ini mengisahkan tentang bagaimana bencana letusan gunung merapi. Dan
Iwan Fals meminta pada Tuhan agar bencana juga diberikan orang kota yang
lebih banyak melakukan dosa. Saya tak berniat membandingkan dengan
lirik yang diajarkan untuk anak-anak. Namun, saya berharap sangat dalam
keadaan bagaimana pun, Tuhan tetap dalam ingatan kita.
Percuma
saja kiranya mempersiapkan diri dengan beragam pengetahuan menghadapi
bencana. Jikalau kita menafikan peran Tuhan sebagai pemilik bencana itu
sendiri. Di sini saya tidak sedang menganggap remeh usaha kita
mempersiapkan diri.
.
Bivak Emperom.Lamteumen. Banda Aceh. Desember 2011.