senirupa

Wednesday, December 25, 2013

Cerita di Balik Nyanyian Sadar Bencana

child in wall
 
Saya ingin menceritakan kejadian yang menimpa kita di Aceh. Dahulu saat konflik masih seru-serunya, Rakyat  Aceh kehilangan harapan akan tercipta perdamaian. Beberapa kali para pihak duduk semeja kopi untuk membicarakan damai, beberapa kali juga susunan damai ambruk. Orang-orang menjadi apatis akan berakhirnya pertikaian politik dengan segala trauma yang mengikutinya.


Namun, di balik kesengsaraan dan apatisme yang mengalungi pikiran orang Aceh, Tuhan diam-diam punya rencana besar dalam mengakhiri konflik. 26 Desember 2004 adalah awal yang indah –meskipun sedikit pahit- bagi terbukanya gerbang perdamaian. Tuhan (dalam hal ini kita harus meniatkan Allah sebagai Tuhan kita) tidak pernah memalingkan wajahNya dari doa-doa orang tertindas. Orang-orang Aceh yang selama di penghujung abad 20 sampai awal milenium baru masih saja bergumul dengan konflik.

Kita sadar dan patut bersyukur atas terjadinya bencana besar gempa dan disusul tsunami yang menewaskan ratusan ribu jiwa rakyat Aceh. Karena seandainya bencana itu tidak datang. Mungkin saja damai juga tak hadir di sini. Para petikai itu akan terus mempertontonkan egoisme masing-masing di hadapan kita rakyat Aceh. Dan untuk tumbal perdamaian itu, Tuhan mengambil nyawa saudara-saudara kita dalam  geulumbang raya.  Saya sering melogikakannya lebih baik saudara-saudara kita meninggal dalam gelombang besar itu, daripada tewas di ujung moncong senjata akibat pembantaian. Ini hanya logika pribadi saya semata. Saya tidak tahu logika orang lain. Karena cukup sudah airmata kehilangan membasahi tanah Aceh tercinta.

Bukan kapasitas saya menuliskan catatan menyerupai khutbah di sini. Mengenai apa tujuan Tuhan menimpakan bencana pada manusia, itu bukan ranah saya. Ada otoritas tersendiri yang lebih berkompeten dalam hal ini. Saya hanya ingin menuliskan apa yang ada dan terlintas dari pikiran saya.

Sebagai guru sekolah dasar 48 di Deah Geulumpang yang lansung berhadapan dengan selat Malaka, sekolah kami termasuk daerah terlarang untuk ditempati. Karena berdasarkan pengalaman tsunami 2004, daerah pesisir pantai merupakan daerah terparah dilanda bencana. Namun, masyarakat tetap bermukim di sana dengan beragam faktor dan alasan.

Di sekolah kami dalam beberapa tahun ini selalu kedatangan oarang-orang dari LSM. Dari yang membawa orang asing sampai orang lokal. Mereka semua punya kepentingan masing-masing ke sekolah. Dari masalah penguatan kurikulum sampai kesiapsiagaan bencana. Seiring dengan masa bakti NGO, keberadaan mereka di sini semakin berkurang. Sehingga yang tinggal hanya beberapa saja yang lebih banyak bergerak dalam kesiapsiagaan bencana. Mereka mengumpulkan siswa untuk berbagi tentang apa yang harus dilakukan ketika pra,saat, dan pasca bencana. Khusus untuk gempa, mereka mengajarkan anak-anak nyanyian yang easy listening. Hampir semua anak tahu dan dapat menghafalnya dalam beberapa menit saja. Anak-anak sangat menyukai nyanyian dan games tentang kebencanaan.

Ini salahsatu bentuk metode yang menarik perhatian anak dalam mempelajari segala yang berhubungan dengan kesiapsiagaan bencana. Patut diapresiasi. Berikut ini liriknya:

Kalau ada gempa
lindungi kepala
kalau ada gempa
masuk kolong meja
kalau ada gempa
hindari dari kaca
kalau ada gempa
lari ke lapangan terbuka

inilah lirik nyanyian yang beredar dan cukup terkenal di kalangan anak-anak. Mungkin bahkan melebihi lagu Ayu Ting-Ting. Nyanyian tersebut kerap terdengar dinyanyikan anak-anak jika sedang ada pelatihan yang dikhususkan pada mereka.

Saya tidak tahu siapa yang menciptakan pertama lagu ini. Yang pasti tiba-tiba menjadi tenar dengan sendirinya. Mungkin seandainya lagu itu pada akhirnya terkenal dan menguntungkan secara finansial, saya yakin akan ada banyak orang mengklaim dialah pencipta lagu tersebut. Persis seperti yang terjadi dalam infotainment di televisi Indonesia yang saban hari menyajikan berita perseteruan ini itu.

Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Segala sesuatu bagi mereka adalah permainan. Tentu saja beda konotasinya dengan orang dewasa ketika membuat pernyataan: “hidup adalah permainan” filosofis yang terkandung di dalamnya juga berbeda. Anak-anak murni bermain dengan segala keriangannya. Maka, Para ahli menyebut edukasi anak dengan Pedagogi.

Dalam pedagogi, transformasi pengetahuan anak dilakukan dengan terlebih dahulu memahami anak dan dunianya. Anak dikenalkan pada pengetahuan dan alam sekitarnya menggunakan instrumen games dan nyanyian. Dengan konsep Learning By Doing anak-anak lebih mudah dalam menyerap informasi yang disampaikan. Dunia anak adalah dunia yang unik dengan segala kepolosannya. Dunia yang belum tersentuh kemunafikan dalam sikap dan tindak kesehariannya. Kalau sekarang yang terjadi di sekolah-sekolah formal kita anak-anak dijejerkan di kursi lalu guru mencatat panjang lebar dan anak menyalin ulang, itu kita anggap saja sebagai ‘malpraktek edukasi’.

                                                                                 ***
Baiklah, sekarang mari kita amati lirik nyanyian gempa di atas. Harap maklum, saya bukan lembaga sensor yang menyensori segala bentuk kreatifitas seperti di zaman orde baru. Saya hanya ingin segala sesuatu nilai yang ditanamkan dalam persepsi anak, tidak melupakan keberadaan Tuhan sebagai pemilik sah alam ini.

Ceritanya, dalam waktu dekat ini sekolah kami akan mengikuti lomba teater kebencanaan yang diadakan oleh TDMRC yang berkantor di Ulee Lheue. Dalam rangka mengenang peristiwa Tsunami di Aceh.

Kami sudah mempersiapkan skenario dan properti. Kebetulan, kami memasukkan nyanyian di atas untuk memperkuat sajian teater kami. Namun, anak-anak protes dengan lirik pembuka lagu di atas. Mereka berpendapat, bahwa jika ada gempa yang pertama harus diingat adalah Allah Ta’ala. Bukan malah melindungi kepala.

Ya. Ini sejalan dengan hadis Maja. ‘Seumbahyang watè cirét. Meuratéb watè geumpa’. Seburuk-buruknya iman kita, kita tak akan melupakan Tuhan dalam keadaan kepepet. Walau hadis Maja di atas serupa sindiran kepada kita-kita yang malas ingat kepada sang pencipta. Namun, jika dikaitkan dengan lirik nyanyian di atas, sungguh masih mendingan, karena semalas-malasnya orang shalat, saat ia dalam sekarat masih ingat kepada Allah Ta’ala.

Kembali ke latihan teater tadi. Lalu anak-anak menyarankan kepada saya untuk menambahkan di kalimat awal dengan ‘ kalau ada gempa, ingat Allah Ta’ala’. Karena saya juga sepaham dengan mereka, maka segera saja kami sepakati bersama untuk mengubahnya. Mungkin dalam istilah kita sekarang biar lebih kontekstual. Mengingat mayoritas rakyat Aceh menganut agama Islam.

Hal ini patut mendapat perhatian kita. Di tengah gencarnya pemerintah menegakkan syariat Islam (walau syariat yang digencarkan itu, masih saja berkutat soal syahwat dan rok perempuan). ­­­­­­­­­­­­­

Kenapa dalam pengenalan kesiapsiagaan bencana-terutama dalam konteks kegempaan-kita tekankan pada mengingat Allah? Karena ahli mana pun tak dapat memprediksi kapan dan di mana gempa itu akan datang. Meski pun isyarat akan terjadi gempa dapat dikenali dengan membaca patahan-patahan lempeng bumi yang strukturnya belum permanen benar dalam palung-palung pulau. Di sini yang berbicara benar-benar kemahakuasaan Allah semata dengan segala sifat rahman dan rahimNya semata. Tak ubahnya kematian dan awal dimulainya kehidupan. Segalanya berada di tanganNya.

Seperti juga langkah, rezeki, pertemuan dan maut yang sama-sama kita yakini. Kedatangan gempa sama sekali menjadi sesuatu yang berada di luar kendali manusia. Berbeda dengan kejadian banjir bandang yang dapat dikendalikan manusia dengan bersahabat dengan alam. Berbaik-baik dengannya. Dengan menjaga baik-baik populasi pepohon di rimba sana.

Maka, jika ke sekolah LSM hendak menebarkan informasi mengenai kesiapsiagaan bencana. Mestilah kiranya mereka memahami apa kiranya yang patut diperhatikan menyangkut keyakinan. Sebab ini penting agar siswa-siswi tidak menafikan keberadaan Tuhan sebagai pemilik kehidupan.

Jika anda seorang penggemar film. Maka tak akan melewatkan film 2012 produksi Hollwood yang spektakuer dalam penyajian dan efek gambarnya. Bagaimana film itu menggambarkan huru-hara kiamat. Kiamat bagi film itu hanyalah sebagai sarana rekreasi tanpa ada tendensi pesan moral. Bahwa dunia ini akan berakhir dengan suatu tragedi maha besar dan tragis. Akan ada alam lain yang akan dihuni manusia setelah ini. Dalam film itu sama sekali tak menyentuh ranah ini. Dan itu sangat wajar dengan alam pikir sebagian masyarakat Amerika yang sekuler. Yang melihat segala sesuatu dengan kacamata rasionalitas. Dan kita tentu saja tak berhak mengklaim itu salah. Itu bagian dari peradaban suatu bangsa yang wajib bagi kita sekalian menghormatinya.

Meskipun huru-hara kiamat yang sebenarnya jauh lebih menegangkan dari yang divisualkan film tersebut. Namun, ketika menonton film itu, kita harus benar-benar dapat menahan nafas dengan teratur. Kalau tidak akan kejang-kejang. Begitulah suatu kepercayaan menafsirkan kiamat. Pada titik ini pasti berbeda dengan kita dalam memahami kiamat. Ada penyesuaian di sana dengan agama kita Islam. Saya tidak bermaksud hendak membandingkan antara Islam dan agama lain. Namun, karena Aceh didominasi oleh penganut Islam, saya pikir wajib kiranya ada penyesuaian. Meski dalam bentuk nyanyian pengenalan gempa sekali pun. Kalau tidak begitu, tentu saja roh Islam makin lama makin memudar dalam jiwa generasi selanjutnya. Meski pun sedikit ideal. Saya kira tak patut kita luputkan.

Coba bayangkan. Seorang penyanyi balada sekelas Ebiet G Ade masih menghadirkan Tuhan dalam lirik lembut lagunya. “mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita. Yang selalu sombong dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan, bersahabat dengan kita, coba kita tanya pada rumput yang bergoyang”

Saking bingungnya dengan ulah manusia yang berakibat murkanya alam, Ebiet G Ade kehilangan tempat bertanya. Maka, dijadikanlah rumput liar yang tak tahu menahu sebagai tempat mengadu. Selain itu, penyanyi legendaris lain semisal Iwan Fals dan kawan-kawanya saja yang masa mudanya terkesan urakan dan ‘semau gue’ masih menyisipkan nama Tuhan dalam lirik lagunya paling emosional sekali pun. Cobalah anda simak cara dia berkomunikasu dengan Tuhan. “Hei Tuhan, apakah Kau dengar. Jerit umatmu. Di sela, tebalnya debu”. Lagu ini mengisahkan tentang bagaimana bencana letusan gunung merapi. Dan Iwan Fals meminta pada Tuhan agar bencana juga diberikan orang kota yang lebih banyak melakukan dosa. Saya tak berniat membandingkan dengan lirik yang diajarkan untuk anak-anak. Namun, saya berharap sangat dalam keadaan bagaimana pun, Tuhan tetap dalam ingatan kita.

Percuma saja kiranya mempersiapkan diri dengan beragam pengetahuan menghadapi bencana. Jikalau kita menafikan peran Tuhan sebagai pemilik bencana itu sendiri. Di sini saya tidak sedang menganggap remeh usaha kita mempersiapkan diri.

.

Bivak Emperom.Lamteumen. Banda Aceh. Desember 2011.