senirupa

Monday, December 23, 2013

Surat Akhir Tahun Untuk Fuadi Syukri

sang penghikayat
di kampung kau menyandang gelar sarjana, seniman tutur dan sebagainya. di kota kami melawan raksasa beberapa kali tanpa kau. biolamu yang dikenal lebih tajam dari puisi Chairil, kini aku yakin telah kau museumkan. kau akan mengenang panggung-panggung mana saja pernah kau naiki dengan gemuruh sorak-sorai tak putus-putus. sambil meletakkan lengan di jidat, kau lesakkan hayal kelak kau akan dipuja banyak wanita karena kepiawaianmu meramu hikayat.


di kampungmu, aku yakin kau sedang cekikan di depan layar monitor. chating dengan siapa saja membunuh sepi. sepi yang hadir ketika puisi jarang kau gubah.

benar kampung itu rumah paling damai. namun, kalau kau hanya berdamai-damai saja, mulailah dari sekarang membangun rumah di bulan. kau bisa pelihara binatang dan mengurus kebun kacang. sesekali turu ke bumi untuk minum kopi.

kata kawan-kawanmu, kau seniman. ah. aku mulai sangsi. jangan-jangan mereka menebar fitnah. sebab, seniman penyendiri itu sudah tamat masanya. seniman penyuka sunyi muncul kembali dalam bentuk paling kontemporer itu, ada. mungkin kau salah satunya.

mungkin, katakanlah penyair lama yang berlindung dalam kesunyian lalu, mendapat ilham. ah, itu taik. kalau puisi yang lahir sesudahnya tentang pacar yang dia diagung-agungkan. kau percaya seni itu sejenis binatang liar yang tidak lahir dari kandang pengap nan sunyi? kalau kau percaya, carilah cahaya! jangan mendekam dalam kamar. kau makin pucat sepertinya.

orang-orang di kota bertanya-tanya kemana penghikayat muda yang bisa saja kambuh 'gila' jika sedang di atas panggung. dunia menantimu bertutur kembali tentang apa saja yang hinggap di kepalamu. kalau tak percaya, ya sudah. karena kami bukan mario teguh dan sebangsanya. tak ada jurus motivasi di sini.

bacalah kembali teks diktat dan karya ilmiah yang kau hasilkan, kami yakin bahwa kau telah menghafal di luar kepala makna kalimat dan hal-hal baku tentang ketatabahasaan. namun, ingatlah bahwa untuk menyederhanakan kata-kata manakala kita harus berberat-berat merawat lambung perih karena lapar, semua kalimat itu tidak penting sama sekali. bahasa yang kita sepakati hari ini adalah bahasa jelata dan jauh dari kesan intelektual. semua akan kembali menjadi sediakala dan sepertinya akan selamanya seperti itu. kita akan tetap menemani ibu-bapak kita di kampung membereskan pekerjaan-pekerjaan sederhana. menyapu halaman atau memperbaiki pagar dan mengecatnya.

kita akan tetap menjadi kampung kembali. menjadi milik kebudayaan nenek moyang kita yang berbicara apa adanya. kita tak dilahirkan untuk ekslusif.

hari ini, engkau tamatkan sekolah. besok kau kumpulkan kami di meunasah dan sebaiknya jangan memperpanjang mukaddimah tentang betapa tak menariknya hidup tanpa mengecap bangku sekolah. ayah ibu kita tanpa sekolah dan karyanya yang terbaik adalah melahirkan kita yang telah melebarkan sayap kemana-mana.

Fuadi, sekolah itu adalah candu. kata Roem Topatimassang. namun, di sini sekolah tak mampu memabukkan kita yang kekurangan dana. apalagi kehadiran kita ke sana semata-mata untuk mendapatkan secarik kertas dengan terteranya nama kita besar-besar. maka dari itu, pajanglah ia di mana-mana. pertanda kau telah mampu melewati badai dan derita sekolah sarjana. selamat dan semoga berbahagia. salam dariku: Idrus Bin Harun.

 akhir tahun 2013