fadhlan B. ketua Jaroe |
Ketergodaan adalah hal
kodrati bagi manusia. Manusia, sejak awal keberadaannya sudah tidak jauh dari
hasrat. Adam, nenek moyang kita diusir dari Surga akibat tak dapat mengekang
hasrat. Hasrat adalah pakaian bawaan manusia untuk mendandani kehidupan.
fadhlan.B. pensil atas A4 |
fadlan. pensil atas A4 |
Manusia menjadi arena
tempat berbagai hasrat mengaktual. Berebutan tempat untuk dipenuhi. Terlepas
pelampiasan hasrat ‘baik-buruk’ dalam perpekstif religi, hasrat adalah
refresentasi ‘kita’ yang tak selamanya bisa dikontrol. Walau dalam beberapa hal
cukup sukses meredamnya.
Keberadaan hasrat bak
gayung bersambut manakala hadir di tengah rayuan demi rayuan. Realitas ‘hasrat
dan rayuan’ adalah sepasang imajinasi yang saling memadatkan.
Hasrat seringkali
pasif bila masih terkendali. Rayuan yang massif dan berkelanjutan akhirnya membangunkan
tidur panjang hasrat. Sejarah ‘hasrat-rayuan’ adalah sejarah menenggelamkan
manusia dari eksistensi hakiki. Pun begitu, di depan Yusuf, Rayuan Zulaikha
pernah bertekuk lutut. Hingga ‘hasrat dan rayuan’ terkulai tak berdaya. Dalam
berbagai riwayat, Rayuan tak jarang mengalami kegagalan.
Tesis Jean Baudrillard (1990), filsuf asal
Prancis yang tersohor dengan teori Hiperrealitas,
bahwa segala sesuatu adalah rayuan. Rayuan
bernada sama dengan bujukan
yang muaranya memikat keinginan. yang menarik hasrat
manusia ke dalam ruang memabukkan.
Dalam usaha rayu merayu, sesuatu digambarkan melampaui kenyataan. Lihatlah,
Buah Khuldi (dalam beberapa catatan disebut Apel) yang sama sekali tidak
memikat, digambarkan Iblis melampaui imajinasi Adam tentang buah yang nikmat
nan memikat. Adam terjerembab dalam ruang ketergodaan paling awal dari sejarah
rayu merayu. Hingga, Apel seringkali disimbolisasikan sebagai perlambang dari
berbagai sumber. Sumber malapetaka, sumber inspirasi hingga lambang cinta
seperti dalam Mitologi Yunani.
Hasrat tak pernah tak
pernah surut selama kita masih menjadi manusia. Selama kita masih berkeinginan
untuk memenuhi banyak hal dalam kehidupan ini. Ambil contoh, Hasrat wajah mulus
dijawab dengan iklan krim pelicin muka. Bau badan dibungkam obat ketiak. Kutu
rambut dijawab dengan kehadiran iklan shampoo aneka ragamnya. Kita tergoda.
Kita menjadi hamba pada bujukan dan daya pikat audio-visual.
Adalah perupa muda
Aceh yang tak pernah luput menghadirkan Apel dalam setiap karya rupanya. Dari
sketsa, drawing sederhana hingga lukisan berbasis media ‘serius’.
Ketertarikannya pada wujud Apel menjadikannya unik. Apel adalah titik awal
mengomunikasikan objek tentang banyak hal dalam karya rupa Fadhlan Bachtiar.
Laki-laki berkacamata minus lulusan jurusan Kesenian Unimed ini adalah perupa
yang jatuh cinta pada Apel. Karena apel adalah kode visual untuk hasrat yang
melambungkan imajinasinya mencapai batas-batas pewacanaan dalam konteks
tertentu.
Manakala memaknai
beberapa drawing pensilnya di atas kertas, bawah sadar kita menerima
pesan-pesan visual melalui objek yang saling berkait. Narasi besar di sebalik
objek-objek dalam goresan Fadhlan menandaskan bahwa beliau tidak sekedar
memaknai realitas sepotong-potong. Ia memandang realitas bak serombongan
kafilah jauh. Fadhlan berbicara banyak hal melalui mereka.
Dalam karya ‘Sirkulasi Sel Apel dan Ornamen Kupiah
Meukeutop diatas Meja Tiga kaki’ misalnya, meskipun watak surealisme
Fadhlan amat familiar dengan gaya Salvador Dali, tema lokalitas keacehanlah
yang membuat karya Fadhlan terselamatkan dari jerat estetik ala Dali yang amat
memukau.
Fadhlan tidak
seuniversal Dali dalam membahasavisualkan realitas. Dalam karya tersebut, hasrat
dibahasavisualkan sebagai Apel yang menyedot gumpalan awan. Gelembung awan itu nyaris
menyerupai figur-figur tubuh tumbang. Bagi saya, dalam karya tersebut, Fadhlan
memandang hasrat sebagai awal ketertumbangan manusia dalam memenuhi keinginan
tanpa mempertimbangkan kebutuhan. Hadirnya figur perempuan yang memegang kuas
mengecat langit membawa imajinasi kita ke idiom Aceh paling populer untuk usaha
sia-sia dalam memenuhi hasrat: ‘cet
langet’. ‘Cet langet’ adalah istilah orang Aceh untuk kesia-siaan harapan yang
tak pernah tergerak diupayakan. Gumpalan awan yang berakhir dalam cawan-cawan
kopi bagai hendak menuntaskan hasrat tak tercapai dalam rayuan aroma kopi. Kopi
adalah godaan lain yang sesiapa saja tak mampu menolak (dengan catatan memang
penggila kopi).
Membaca bahasa visual
Fadhlan yang piawai menciptakan nuansa setengah konkret- setengah mimpi ini,
kita seperti berhadapan dengan problem keseharian tapi dalam bentuk beku. Kita
dipaksa untuk mencairkannya dengan menelaah satu persatu objek yang hadir di sana.
Mengaitkan antar objek yang saling menguatkan makna adalah salah satu mekanisme
membaca narasi yang dikandunginya.
Walau bagaimana pun,
hasrat tidak selamanya berada dalam ajakan rayuan negatif. Hasrat untuk
menggapai kembali masa lalu juga merupakan impian manusia. Masalalu pada
hakikatnya adalah sesuatu yang sudah usai dan banyak hal telah direnggutnya.
Manusia selalu menanamkan harapan untuk kembali ke sana.
Hasrat dalam nuansa
sedikit melankolis terekam di karya lain berjudul ‘dua bocah bermain di pantai dalam simponi gitar dan apel’. Fadhlan
dengan daya rekam kuat mampu menghadirkan narasi keterenggutan masa
kanak-kanaknya, dengan objek dua anak (adik-abang) memancing di pantai. Latar
pegunungan pulau Sabang menyiratkan makna bahwa betapa kota pulau itu kita
serahterimakan kelak kepada ‘adik-adik’ kita tidak dalam keadaan berdaulat.
Artinya, jika saja pembangunan pariwisata Sabang mengandalkan hedonisme
kapitalistik semata, maka, kita hanya tinggal menunggu waktu
terkapling-kaplingnya area publik dengan masuknya perusahaan pengembang
industri pariwisata. Kita tidak menolak modernisasi pariwisata melalui tangan
investor. Namun, yang kita hambat adalah peminggiran masyarakat dari
industrialisasi dimaksud. Masyarakat harus tetap berdaulat atas tanah sendiri.
Anak-anak tetap harus mendapat tempat menghabiskan masa kecilnya dengan
sehatnya.
Berpindahnya
kepemilikan lahan masyarakat dalam tranformasi pariwisata Sabang, disimbolkan
Fadhlan dengan dawai gitar putus. Pada titik ini Fadhlan membayangkan betapa paraunya
kelak simponi alam Sabang yang terkenal amat romantis.
Bagaimana pun, setiap
karya rupa tidak seluruhnya mutlak nan tunggal dalam pemaknaannya. Selalu
ternganga ruang untuk penelaahannya. Tetap ada celah mewacanakan sesuatu di
balik isi yang dikandungnya. Di sinilah nilai bisa dikomunikasikan sefleksibel
mungkin. Tak ada kebenaran tunggal dalam wilayah pemaknaan rupa.
Fadhlan Bachtiar yang
sekarang melanjutkan studi paskasarjana di
Universitas Sebelas Maret Jurusan Seni Rupa ini, adalah salah satu perekam
realitas melalui kacamata rupa. Dan seperti saya katakan di atas, ia tetap
setia pada Apel sebagai kata pembuka dalam mendiskusikan banyak hal di wilayah
realitas yang samar-samar. Bagaiamana pun, setiap kita punya kemampuan
masing-masing dalam menalari realitas sesuai bidang masing-masing. Tinggal
bagaimana berkemauan.dan Fadhlan terus melansungkan penalaran melalui kesadaran
visual. Wassalam.
(tulisan ini pernah dimuat di atjehpost.com)