senirupa

Monday, December 2, 2013

Fadhlan Bakhtiar dan Apel yang Menggoda



fadhlan B. ketua Jaroe


Ketergodaan adalah hal kodrati bagi manusia. Manusia, sejak awal keberadaannya sudah tidak jauh dari hasrat. Adam, nenek moyang kita diusir dari Surga akibat tak dapat mengekang hasrat. Hasrat adalah pakaian bawaan manusia untuk mendandani kehidupan. 
fadhlan.B. pensil atas A4

fadlan. pensil atas A4


Manusia menjadi arena tempat berbagai hasrat mengaktual. Berebutan tempat untuk dipenuhi. Terlepas pelampiasan hasrat ‘baik-buruk’ dalam perpekstif religi, hasrat adalah refresentasi ‘kita’ yang tak selamanya bisa dikontrol. Walau dalam beberapa hal cukup sukses meredamnya.
Keberadaan hasrat bak gayung bersambut manakala hadir di tengah rayuan demi rayuan. Realitas ‘hasrat dan rayuan’ adalah sepasang imajinasi yang saling memadatkan.
Hasrat seringkali pasif bila masih terkendali. Rayuan yang massif dan berkelanjutan akhirnya membangunkan tidur panjang hasrat. Sejarah ‘hasrat-rayuan’ adalah sejarah menenggelamkan manusia dari eksistensi hakiki. Pun begitu, di depan Yusuf, Rayuan Zulaikha pernah bertekuk lutut. Hingga ‘hasrat dan rayuan’ terkulai tak berdaya. Dalam berbagai riwayat, Rayuan tak jarang mengalami kegagalan. 

Tesis Jean Baudrillard (1990), filsuf asal Prancis yang tersohor dengan teori Hiperrealitas, bahwa segala sesuatu adalah rayuan. Rayuan  bernada sama dengan bujukan yang muaranya memikat keinginan. yang menarik hasrat manusia ke dalam ruang memabukkan. Dalam usaha rayu merayu, sesuatu digambarkan melampaui kenyataan. Lihatlah, Buah Khuldi (dalam beberapa catatan disebut Apel) yang sama sekali tidak memikat, digambarkan Iblis melampaui imajinasi Adam tentang buah yang nikmat nan memikat. Adam terjerembab dalam ruang ketergodaan paling awal dari sejarah rayu merayu. Hingga, Apel seringkali disimbolisasikan sebagai perlambang dari berbagai sumber. Sumber malapetaka, sumber inspirasi hingga lambang cinta seperti dalam Mitologi Yunani. 

Hasrat tak pernah tak pernah surut selama kita masih menjadi manusia. Selama kita masih berkeinginan untuk memenuhi banyak hal dalam kehidupan ini. Ambil contoh, Hasrat wajah mulus dijawab dengan iklan krim pelicin muka. Bau badan dibungkam obat ketiak. Kutu rambut dijawab dengan kehadiran iklan shampoo aneka ragamnya. Kita tergoda. Kita menjadi hamba pada bujukan dan daya pikat audio-visual. 

Adalah perupa muda Aceh yang tak pernah luput menghadirkan Apel dalam setiap karya rupanya. Dari sketsa, drawing sederhana hingga lukisan berbasis media ‘serius’. Ketertarikannya pada wujud Apel menjadikannya unik. Apel adalah titik awal mengomunikasikan objek tentang banyak hal dalam karya rupa Fadhlan Bachtiar. Laki-laki berkacamata minus lulusan jurusan Kesenian Unimed ini adalah perupa yang jatuh cinta pada Apel. Karena apel adalah kode visual untuk hasrat yang melambungkan imajinasinya mencapai batas-batas pewacanaan dalam konteks tertentu.

Manakala memaknai beberapa drawing pensilnya di atas kertas, bawah sadar kita menerima pesan-pesan visual melalui objek yang saling berkait. Narasi besar di sebalik objek-objek dalam goresan Fadhlan menandaskan bahwa beliau tidak sekedar memaknai realitas sepotong-potong. Ia memandang realitas bak serombongan kafilah jauh. Fadhlan berbicara banyak hal melalui mereka.

Dalam karya ‘Sirkulasi Sel Apel dan Ornamen Kupiah Meukeutop diatas Meja Tiga kaki’ misalnya, meskipun watak surealisme Fadhlan amat familiar dengan gaya Salvador Dali, tema lokalitas keacehanlah yang membuat karya Fadhlan terselamatkan dari jerat estetik ala Dali yang amat memukau. 

Fadhlan tidak seuniversal Dali dalam membahasavisualkan realitas. Dalam karya tersebut, hasrat dibahasavisualkan sebagai Apel yang menyedot gumpalan awan. Gelembung awan itu nyaris menyerupai figur-figur tubuh tumbang. Bagi saya, dalam karya tersebut, Fadhlan memandang hasrat sebagai awal ketertumbangan manusia dalam memenuhi keinginan tanpa mempertimbangkan kebutuhan. Hadirnya figur perempuan yang memegang kuas mengecat langit membawa imajinasi kita ke idiom Aceh paling populer untuk usaha sia-sia dalam memenuhi hasrat: ‘cet langet’. ‘Cet langet’ adalah istilah orang Aceh untuk kesia-siaan harapan yang tak pernah tergerak diupayakan. Gumpalan awan yang berakhir dalam cawan-cawan kopi bagai hendak menuntaskan hasrat tak tercapai dalam rayuan aroma kopi. Kopi adalah godaan lain yang sesiapa saja tak mampu menolak (dengan catatan memang penggila kopi).

Membaca bahasa visual Fadhlan yang piawai menciptakan nuansa setengah konkret- setengah mimpi ini, kita seperti berhadapan dengan problem keseharian tapi dalam bentuk beku. Kita dipaksa untuk mencairkannya dengan menelaah satu persatu objek yang hadir di sana. Mengaitkan antar objek yang saling menguatkan makna adalah salah satu mekanisme membaca narasi yang dikandunginya.
Walau bagaimana pun, hasrat tidak selamanya berada dalam ajakan rayuan negatif. Hasrat untuk menggapai kembali masa lalu juga merupakan impian manusia. Masalalu pada hakikatnya adalah sesuatu yang sudah usai dan banyak hal telah direnggutnya. Manusia selalu menanamkan harapan untuk kembali ke sana. 

Hasrat dalam nuansa sedikit melankolis terekam di karya lain berjudul ‘dua bocah bermain di pantai dalam simponi gitar dan apel’. Fadhlan dengan daya rekam kuat mampu menghadirkan narasi keterenggutan masa kanak-kanaknya, dengan objek dua anak (adik-abang) memancing di pantai. Latar pegunungan pulau Sabang menyiratkan makna bahwa betapa kota pulau itu kita serahterimakan kelak kepada ‘adik-adik’ kita tidak dalam keadaan berdaulat. Artinya, jika saja pembangunan pariwisata Sabang mengandalkan hedonisme kapitalistik semata, maka, kita hanya tinggal menunggu waktu terkapling-kaplingnya area publik dengan masuknya perusahaan pengembang industri pariwisata. Kita tidak menolak modernisasi pariwisata melalui tangan investor. Namun, yang kita hambat adalah peminggiran masyarakat dari industrialisasi dimaksud. Masyarakat harus tetap berdaulat atas tanah sendiri. Anak-anak tetap harus mendapat tempat menghabiskan masa kecilnya dengan sehatnya.

Berpindahnya kepemilikan lahan masyarakat dalam tranformasi pariwisata Sabang, disimbolkan Fadhlan dengan dawai gitar putus. Pada titik ini Fadhlan membayangkan betapa paraunya kelak simponi alam Sabang yang terkenal amat romantis. 

Bagaimana pun, setiap karya rupa tidak seluruhnya mutlak nan tunggal dalam pemaknaannya. Selalu ternganga ruang untuk penelaahannya. Tetap ada celah mewacanakan sesuatu di balik isi yang dikandungnya. Di sinilah nilai bisa dikomunikasikan sefleksibel mungkin. Tak ada kebenaran tunggal dalam wilayah pemaknaan rupa. 

Fadhlan Bachtiar yang sekarang melanjutkan studi  paskasarjana di Universitas Sebelas Maret Jurusan Seni Rupa ini, adalah salah satu perekam realitas melalui kacamata rupa. Dan seperti saya katakan di atas, ia tetap setia pada Apel sebagai kata pembuka dalam mendiskusikan banyak hal di wilayah realitas yang samar-samar. Bagaiamana pun, setiap kita punya kemampuan masing-masing dalam menalari realitas sesuai bidang masing-masing. Tinggal bagaimana berkemauan.dan Fadhlan terus melansungkan penalaran melalui kesadaran visual. Wassalam.

(tulisan ini pernah dimuat di atjehpost.com)