lebih jauh sekolah (terkhusus sekolah dasar) adalah memberi ruang yang luas bagi ragam ekspresi. Kebutuhan ekspresi anak akan menentukan karakternya di masa depan. Di sekolah, ruang ekspresi yang memungkinkan untuk dibuka seluas-luasnya adalah ekspresi jasmaniah dalam bentuk penyediaan sarana olahraga yang mendukung, baik olahraga fisik atau pikiran.
Ekspresi kejiwaan juga penting dengan memberi dukungan penuh bagi terciptanya energy kreatif murid. Dengan jalan menyediakan sarana perpustakaan yang menyediakan buku-buku yang memicu energy kreatif mereka yang masih belum muncul. Kemudian juga yang lebih penting adalah ekspresi religiusitas. Ekspresi ini adalah pembungkus dua energy ekspresi lainnya. Penyediaan sarana keagamaan dalam kompleks sekolah, pengajian rutin hingga penambahan jam belajar agama, sangat urgen dilakukan. Meskipun banyak sekolah dewasa ini sudah melakukannya. Namun, tak sedikit sekolah yang masih belum melakukan apa-apa.
Tanpa itu semua, lulusan sekolah kita tak akan mencapai
kepribadian yang diharapkan. Mereka bisa saja pintar selangit, namun, secara emosional
masih sangat meragukan. Banyak guru masih mempersepsikan kreatifitas hanya di
lapangan seni. Menggambar atau menyanyi dalam bentuk paduan suara. Misalkan,
memeberi mereka selembar kertas dan beberapa crayon, lalu disuruh menumpahkan
kreatifitasnya. Dan jangan ragu, semua gambar yang dihasilkan pasti seragam.
Dua gunung yang menonjol, di tengahnya ada matahari. Dan sedikit hamparan sawah. Bagaimana pun juga,
kreatifitas tak sesempit itu bila diaplikasikan untuk peserta didik di sekolah
dasar.
Entahlah, yang pasti pola pikir anak di sekolah tak ubahnya
baju dan sepatu yang mereka kenakan plus dasi, seragam dan tak boleh dilanggar.
Menghasilkan peserta didik begini tentu tak membutuhkan guru-guru yang kreatif.
Cukup hanya mendatangkan beberapa orang pintar yang hanya tahu tugas mereka mengajar
dari awal bulan hingga akhir bulan.
Sebenarnya kita tak perlu cemas dengan imajinasi anak yang
seragam begitu, jika sekolah menyediakan tempat layak bagi pemenuhan “gizi”
otak. satu-satunya jalan yang tepat bagi suplemen berpikir anak adalah
perpustakaan yang layak lagi menyenangkan. akan lebih manis lagi jikalau
sekolah menyediakan buku yang layak dibaca anak. semacam majalah bergambar.
atau buku komik yang akhir-akhir ini banyak diterbitkan untuk menjawab kebutuhan
penggilanya.
Jikalau pustaka sudah menjadi sahabat baik anak, bisa
dipastikan secara tidak lansung akan meminimalisasi keseragaman cara berpikir
dan imajinasi mereka. Pun kalau pustaka sudah menjadi rumah ke dua yang
menyenangkan anak, dan mereka tidak perlu lagi menghabiskan energy dengan berlarian
dalam siang yang panasnya bukan main. Anak-anak akan menenggalamkan diri dalam
bacaan kesukaannya di dalam perpustakaan. Dari pada melihat gurunya ngerumpi
dalam kantin, berada di perpustakaan jauh lebih menenangkan dan bermanfaat.
Menyedihkan memang, dalam pekarangan sekolah yang indah nan
asri kita menemukan ruangan perpustakaan saban hari tertutup manis pintunya,
karena guru yang menjadi penanggungjawab punya tugas ganda. Biasanya penjaga
pustaka adalah tenaga bakti yang juga merangkap sebagai penjaga kantin.
Parahnya lagi kalau pun dibuka hanya kelas tertentu saja
yang bisa masuk untuk membaca. boleh jadi pihak sekolah menghindari kegaduhan
atau tercecernya buku yang sudah diatur sedemikian rupanya oleh sang penjaga.
Siapa sih yang mau membereskan
kembali buku yang berserakan sehabis dibaca anak? itu hanya kecurigaan kecil saja. Dan lagi,
tenaga bakti yang diupah kecil itu harus mengerjakan pekerjaan di luar batas.
Miris sekaligus ironis.
Membuat jadwal berkunjung perkelas bukan solusi bijaksana,
karena kehausan akan informasi tidak datang di hari tertentu saja. Apalagi bagi
anak yang tingkat kecanduan terhadap bacaan sudah melampaui guru. Dulu saat
saya masih menjadi guru, penjadwalan mengunjungi pustaka masih dilakukan. Entah
sekarang saya tidak tahu. Saya yakin sekarang perpustakaan di tiap sekolah
makin bagus dari dulu-dulu.
Namun bagaimana pun, minat baca pada anak tidak datang lantaran
suruhan atau penjadwalan ketat. Membiasakan
anak agar rumbuh minat membaca adalah dengan mengakrabkan guru dengan
buku-buku. Terserah buku apa saja. Seandainya Dinas Pendidikan mewajibkan guru
tiap satu caturwulan membuat resensi tentang buku yang pernah dibacanya. Maka,
tidak tertutup kemungkinan lahir pengajar-pengajar tangguh dan berwawasan.
Sayangnya hal ini menjadi ilusi yang nyaris absurd untuk diterapkan di tengah
beban mengajar yang luarbiasanya. Guru dibebani kurikulum yang tiap menteri
berganti, kurikulum juga ikut berganti. Kasihan sekali guru-guru kita itu.
Jika budaya baca sudah berjalan, maka penyediaan bahan
bacaan mestilah variatif. Untuk menghindar dari kebosanan anak. Pihak sekolah wajib jeli
melihat buku kesukaan anak. Yang terjadi malah perpustakaan sekolah tidak mem-plot-kan dana khusus buat pengadaan buku
yang dapat merangsang sisi kreatif. Bacaan yang imajinatif mestilah dominan. Di
samping buku-buku terapan yang masih bisa dikonsumsi anak. Anehnya, Banyak buku
dengan tiba-tiba datang dari distributor. Padahal sebelumnya pihak sekolah
tidak pernah diajak untuk mengisi daftar buku yang dibutuhkan untuk menambah
koleksi. Akibatnya, buku yang datang tiba-tiba tersebut menjadi mubazir. Sebab buku
yang sampai ke sekolah sebagian besar buku ilmu terapan praktis, seperti;
berternak ayam buras, budidaya ikan air tawar, cara membuat tempe serta buku
wajib ajar yang hampir rata anak-anak sudah tidak merasa berkepentingan untuk
membacanya.
Biar bagaimana pun bobroknya, perpustakaan sekolah mesti
tetap berjalan walau terseok-seok di tengah gencarnya kemudahan mengakses
informasi di era digital ini. Di mana kebanyakan guru sudah jauh tertinggal
dalam urusan dunia maya dibandingkan dengan siswa mereka sendiri yang rata-rata
masih di bawah umur. Kalau siswa sudah tidak asing lagi dengan pustaka online
yang bernama Wikipedia atau sejenisnya, ada sebagian besar guru belum punya
akun Surel. Ironis sekali di tengah gencarnya digitalisasi administrasi
birokrat.
Walau internet menyajikan ribuan informasi sekali klik. Buku tetaplah tak akan menggantikan
apa pun. Karena buku tak memberi efek radiasi ke mata layaknya layar komputer, dimana
untuk membaca sesuatu kita mesti menontonnya seperti televisi.
Akhirnya, ada banyak sekolah yang ditopang oleh budaya baca
yang relatif bagus akan menempatkan akal sehat di depan dalam menghadapi
persoalan rumit maupun sepele. dengan sendirinya menjadikan sekolah ramah anak,
bukan ramah guru. Karena, bagaimana pun, kita selalu lupa bahwa denyut ilmu
pengetahuan di sekolah selalu dimulai di perpustakaan.
(tulisan ini pernah dimuat di majalah BACA)
20092013