senirupa

Sunday, December 1, 2013

SENJAKALA KUASA SEBUAH SINGGASANA




Mendapatkan Kekuasaan sama saja dengan tercapainya hasrat mendapatkan boneka bagi anak-anak. Tak ada yang spesial. Karena kekuasaan yang sebenarnya hanyalah ruang kontemplasi seorang pemimpin belajar  menguasai diri.

Kuasa atas kekuasaan di luar kendali penguasa itu sendiri.
Ia akan lepas ke tangan penguasa selanjutnya atau di reupah secara paksa oleh massa yang bosan dengan kekuasaan penguasa yang sedang membangun dinasti.  Kekuasaan  merupakan puncak pencapaian Setelah harta dan wanita  diperoleh. 

Politik adalah perkauman atas dasar kepentingan. Dengan begitu orang-orang akan berhimpun dalam wadah yang kita sebut partai atau semacamnya. Berjamaah untuk hajat bersama, selepasnya saling sikut kembali. Politik bagi kita rakyat kecil tak ubahnya kecerewetan yang dibahasakan dengan
sangat baik untuk pencapaian puncak kekuasaan. Negara atau intitusinya. Kita selalu diikutsertakan dalam pemilu untuk urusan sokong menyokong. Walau ujung-ujungnya tak mendapat apa-apa.
Oleh demikian, setiap puncak wajib ada lembah di bawahnya. Setiap tanjakan mestilah ada turunannya. Pencapaian tertinggi akan jatuh mencapai tempat terendah. Begitulah iswadi menafsir sebuah singgasana. Artinya, kekuasaan tak abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan. Meskipun sapuan Iswadi sangat terkesan puitis dengan latar senja, lukisan ini amat politis dan saya rasa samasekali tidak impulsif atau mengikut gerak hati semata seorang perupa. Iswadi sadar betul bahwa setiap objek yang ia ciptakan akan melarutkan diri dalam simbol politis. Dengan catatan, bagi siapa saja memandang lukisan ini dari sudut pandang politis.  

Iswadi dalam bahasa visualnya mencatat kekuasaan koyak-moyak. Singgasana ‘kadaluarsa’ dan ditinggal pergi penguasanya setelah prahara melanda. Pada fragmen ini, semacam murung yang tinggal. Perebutan tanpa sesiapa pemenang. Medan pertarungan politik kian sunyi ba’da prahara mendestruksikan tatanan sosial di sekitarnya. Hal ini tervisual demikian estetiknya dari nada senja yang melatari singgasana. Laut teduh tersapu bernada puitis ini mengisyaratkan bahwa senjakala kuasa adalah sunyi yang tak terkata, meski pun seorang penyair hadir di dalamnya untuk meluluhlantakkan sepi dengan sajak yang maha menggelegar. 

Saling memperebutkan kekuasaan dalam budaya politik adalah ‘artefak’ tertua yang hingga kini masih abadi dan terus adaptif mengikuti tradisi berpolitik kontemporer. “Perjuanganku lebih mudah, karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih berat karena melawan bangsamu sendiri”  sebut Bung Karno. Atas nama politik, kita harus saling sikut dan saling serang. Parahnya, berlaku dengan sekaum. Sebangsa bahkan dengan abang sendiri. Politik adalah iman paling remeh dalam konsteks ini. 

Politik tanpa korban mestilah disebut absurd. Politik walau sebersih apa pun tetap meminta tumbal dalam setiap narasinya. Yang lemah tetap dikorbankan hingga menjadi bangkai. Gejolak batin membaca peta politik paskatsunami di Aceh membuat mata batin Iswadi Basri terasah begitu rupanya. Hingga ruang tafsir tersebut melahirkan ‘singgasana’.

Bangkai kekuasaan menjadi tumpukan sampah pada suatu masa. Untuk konteks Aceh, kita sudah dan masih akan merasakannya. Pergolakan demi pergolakan akan terus hadir di bumi endatu ini selama keadilan di gantung di langit-langit. Atau disembunyikan dalam kotak penuh ‘lumut manipulatif’.
Perseteruan partai-partai yang tumbuh paska MoU akan terus menerus menghiasi halaman surat kabar. Rebutan kursi terus mewarnai memori kita yang sudah jenuh dengan cara berdemokrasi yang begitu-begitu saja.

Seorang perupa yang mendefiniskan ‘singgasana’, walau sesubjektif mungkin tetap kita sebut sebagai pensyarah sosial dengan medium rupa. Oleh itu sebab, nikmat intuitif itu berguna manakala sudah berbentuk dalam karya. Mari meyambut pesta kuasa 2014!

(tulisan ini sudah pernah dimuat di atjehpost.com)

Idrus bin Harun
, Banda Aceh 2013. S