Mendapatkan Kekuasaan sama saja dengan tercapainya hasrat mendapatkan boneka bagi anak-anak. Tak ada yang spesial. Karena kekuasaan yang sebenarnya hanyalah ruang kontemplasi seorang pemimpin belajar menguasai diri.
Kuasa atas kekuasaan di luar kendali penguasa itu sendiri. Ia akan lepas ke tangan penguasa selanjutnya atau di reupah secara paksa oleh massa yang bosan dengan kekuasaan penguasa yang sedang membangun dinasti. Kekuasaan merupakan puncak pencapaian Setelah harta dan wanita diperoleh.
Politik
adalah perkauman atas dasar kepentingan. Dengan begitu orang-orang akan berhimpun dalam wadah
yang kita sebut partai atau semacamnya. Berjamaah untuk hajat bersama,
selepasnya saling sikut kembali.
Politik bagi
kita rakyat kecil tak ubahnya
kecerewetan yang dibahasakan dengan
sangat baik untuk pencapaian puncak
kekuasaan. Negara atau intitusinya. Kita selalu
diikutsertakan dalam pemilu untuk urusan sokong menyokong. Walau ujung-ujungnya
tak mendapat apa-apa.
Oleh
demikian, setiap
puncak wajib ada lembah di bawahnya. Setiap tanjakan mestilah ada turunannya. Pencapaian tertinggi
akan jatuh mencapai tempat terendah. Begitulah
iswadi menafsir sebuah singgasana. Artinya, kekuasaan tak abadi. Yang abadi
hanyalah kepentingan. Meskipun sapuan Iswadi sangat terkesan puitis dengan
latar senja, lukisan ini amat politis dan saya rasa samasekali tidak impulsif
atau mengikut gerak hati semata seorang perupa. Iswadi sadar betul bahwa setiap
objek yang ia ciptakan akan melarutkan diri dalam simbol politis. Dengan
catatan, bagi siapa saja memandang lukisan ini dari sudut pandang politis.
Iswadi dalam
bahasa visualnya mencatat kekuasaan koyak-moyak. Singgasana ‘kadaluarsa’ dan
ditinggal pergi penguasanya setelah prahara melanda. Pada fragmen ini, semacam
murung yang tinggal. Perebutan tanpa sesiapa pemenang. Medan pertarungan
politik kian sunyi
ba’da prahara
mendestruksikan tatanan sosial di sekitarnya. Hal ini tervisual demikian
estetiknya dari nada senja yang melatari singgasana. Laut teduh tersapu bernada
puitis ini mengisyaratkan bahwa senjakala kuasa adalah sunyi yang tak terkata,
meski pun seorang penyair hadir di dalamnya untuk meluluhlantakkan sepi dengan
sajak yang maha menggelegar.
Saling
memperebutkan kekuasaan dalam budaya politik adalah ‘artefak’ tertua yang
hingga kini masih abadi dan terus adaptif mengikuti tradisi berpolitik
kontemporer. “Perjuanganku lebih mudah, karena
mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih berat karena melawan bangsamu
sendiri” sebut Bung Karno. Atas nama politik, kita
harus saling sikut dan saling serang. Parahnya, berlaku dengan sekaum. Sebangsa
bahkan dengan abang sendiri. Politik adalah iman paling remeh dalam konsteks
ini.
Politik tanpa
korban mestilah disebut absurd. Politik walau sebersih apa pun tetap meminta
tumbal dalam setiap narasinya. Yang lemah tetap dikorbankan hingga menjadi
bangkai. Gejolak batin membaca peta politik paskatsunami di Aceh membuat mata
batin Iswadi Basri terasah begitu rupanya. Hingga ruang tafsir tersebut
melahirkan ‘singgasana’.
Bangkai kekuasaan menjadi tumpukan sampah pada suatu masa. Untuk konteks Aceh, kita sudah dan masih akan merasakannya. Pergolakan demi pergolakan akan terus hadir di bumi endatu ini selama keadilan di gantung di langit-langit. Atau disembunyikan dalam kotak penuh ‘lumut manipulatif’. Perseteruan partai-partai yang tumbuh paska MoU akan terus menerus menghiasi halaman surat kabar. Rebutan kursi terus mewarnai memori kita yang sudah jenuh dengan cara berdemokrasi yang begitu-begitu saja.
Bangkai kekuasaan menjadi tumpukan sampah pada suatu masa. Untuk konteks Aceh, kita sudah dan masih akan merasakannya. Pergolakan demi pergolakan akan terus hadir di bumi endatu ini selama keadilan di gantung di langit-langit. Atau disembunyikan dalam kotak penuh ‘lumut manipulatif’. Perseteruan partai-partai yang tumbuh paska MoU akan terus menerus menghiasi halaman surat kabar. Rebutan kursi terus mewarnai memori kita yang sudah jenuh dengan cara berdemokrasi yang begitu-begitu saja.
(tulisan ini sudah pernah dimuat di atjehpost.com)
Idrus bin Harun, Banda Aceh 2013. S