senirupa

Sunday, January 12, 2014

Aceh dalam Pandangan Pane Band

Amroe Pane Band


"bek rugoe nanggroe geu uke, bek mate bungong geu pula, beu sare Aceh ta papah, ka mirah tanoh jinoe bek na le"


sekian lama kita berada dalam kemurungan. sekian lama kita berada dalam ketaknyamanan hidup karena dera konflik berkepanjangan. Aceh lunglai dalam dekap perebutan. tiap hari kita disuguhkan kaba beraroma darah. darah saudara-saudara kita. itu dulu.
sekarang, di tengah damai yang kita idam-idamkan, Aceh terkulai dalam bentuk lain. munculnya keleluasaan politik, membawa Aceh dalam fase transisi mendebarkan. kita tidak akan tahu lagi kemana Aceh akan digiring oleh elit politiknya. kekuasaan menjadi muara yang melahirkan riak-riak gesekan. kelahiran Parlok dengan kian menambah dinamika, gesekan, hingga dendam sesamanya. rakyat kembali berada dalam kesunyian politisnya. ditinggalkan ketika tak ada kepentingan, dielu-elukan ketika pemilu menjelang.

semua dinamika perpolitikan yang menjurus pada retaknya nasionalisme keacehan selalu menghadirkan kelompok yang rindu persatuan. kaum muda yang independen seringkali menjadi motor yang membawa suara-suara dan ajakan untuk kembali berada dalam satu suara dan kepentingan, yaitu, kepentingan Aceh.

lirik lagu di atas adalah satu lagu yang dibawakan oleh Amroe and Pane Band. band indie bentukan anak muda Aceh yang masa remajanya sebagian besar dihabiskan dalam konflik ini, sadar benar sejarah perlawanan Aceh umumnya berakhir mengambang ketika berhadapan dengan pemerintah Indonesia. sehingga, tujuan perjuangan menjadi kabur dengan sendirinya ketika surat damai diteken. 

lagu 'Peuneutoh' seakan menjadi gambaran simbolis atas perjalanan perjuangan di masa damai. 


ajakan Pane Band untuk merapatkan barisan demi tercapai kemakmuran Aceh dengan mengesampingkan kepentingan kelompok masing-masing, patut didengar. hal ini mengingat betapa lamanya kita hidup dalam era gelap dengan darah berceceran dimana-mana.

lagu ini diciptakan Zulfan Amroe. Vokalis Pane Band sendiri. Pane Band tau, suara mereka pasti akan larut seiring dengan kebisingan kampanye mendekati April mendatang. namun, sebagai seniman tertunai sudah wujud karya mereka yang sadar realitas. realitas yang tidak sekedar menampilkan kenyataan senyata-nyatanya.

jika pun Aceh kelak berkeping-keping karena konflik internal, kelahiran karya seni yang mengajak pada persatuan akan terus lahir. karena, seniman mampu menerjemahkan tindak-tanduk politisi. sementara, sebagian besar politikus menerjemahkan diri sendiri sendiri saja sulit. hingga politik dimaknai dengan sesuka hati. benar saja jika negeri ini kian hari kian limbung dan tak tertutup kemungkinan hilang dari peta dunia. semoga tidak.

Kawebace. 12Januari 2014.