senirupa

Thursday, January 23, 2014

Sketsa Peminta-minta


Setelah setengah jam menikmati malam dengan sepancong kopi (kupi sikhan) , warung kopi dengan penggemarnya yang terus berdatangan, makin tambah sesak. Asap rokok mengepul seperti pabrik-pabrik pencemar udara di kota-kota besar.


Selagi obrolan sedang hangat kami perbincangkan, seorang gadis-jangan sebut namanya Bunga- berpostur tinggi padat berdiri di depan meja kami. Bercelana ketat hitam, baju panjang hingga menyentuh lutut berkerah putih dipadu jilbab merah tua. Tas selempang warna senada dengan jilbab menambah kesan kasual dan nampak ringan di mata.
“Bang, minta waktunya sedikit, boleh?” Tanya  gadis itu sopan.
“boleh, ambil saja semuanya” jawab saya sekenanya.

pembicaraan dengan rekan minum di sebuah warung kopi di seputaran Simpang Dodik, Lamteumen, dengan sendirinya ikut terhenti karena kedatangan gadis manis itu. Setelah saya berikan waktu yang ia minta, dengan sebungkus rokok di tangan, ia mulai berbicara panjang lebar mengenai rokok yang ada di tangannya. Katanya, rokok yang ia jual jauh lebih murah ketimbang membeli di kios atau di swalayan. Dengan tatapan khas, sambil terus berbicara, ia menatap serius ke kami berdua menawari rokoknya.

“kami tidak merokok, mbak!” kata teman saya.
“ini lagi diskon, bang. Beli tiga, bayar dua. Cuma dua puluh enam ribu, kok”
“serius, mbak. Kami tidak merokok”
“murah loh, bang. Kapan lagi rokok semurah ini?”

Lalu saya katakan bahwa memang benar kami tidak merokok. Kami Cuma candu kopi. Tapi tidak candu rokok. Setelah mendengar penjelasan saya, ia minta maaf dan mengucapkan salam pergi ke meja sebelah.

Saya tidak memperhatikan lagi gadis itu. Kami terus larut dalam perbincangan hangat. Dari soal asmara sampai ke politik. Dari soal hedonism pura-pura hingga ke soal penyadapan Australia yang lagi gencar-gencarnya diberitakan. Gadis yang menawari rokok tadi hilang dari ingatan. Seiring perbincangan berat kami teruskan kembali.

Selang 5 menit sesudahnya, tiba-tiba seorang pria dengan tongkat di tangan kiri sudah berdiri dituntun seorang wanita 40-an tahun.
neu bi seudeukah dua neuk, bang(minta sedekahnya sedikit, bang)!” suara wanita itu memelas.
lakee meu’ah teungku, beh (minta maaf teungku, yaa)!” jawab kami serentak seakan ada yang mengomandoi.

Tanpa berkata-kata apa-apa, mereka berdua balik kanan lansung tancap gas ke meja sebelah persis seperti yang di lakukan gadis penjaja rokok tadi. Karena sudah jadi menu tambahan di warung kopi, keberadaan SPG dan peminta-minta tidak lagi mengganggu jalannya diskusi atawa ritual harian minum kopi. Keberadaan mereka ‘manunggal’ dengan keberadaaan warung kopi. Terutama mungkin di Aceh. di tempat lain saya tidak tahu banyak.

Ketika ‘menu harian’ itu semua sudah lewat. Kami kembali melanjutkan perbincangan untuk ronde selanjutnya. Perbincangan makin tidak fokus. Karena terputus-putus dengan kedatangan ‘tamu tak diundang’ itu. Walau demikian, diskusi must go on. Walau pembahasan serampangan.
Teman minum saya yang gelas kopinya sudah kosong itu bilang, antara SPG dan ureueng meugade (peminta-minta) sudah sama. Yang membedakan Cuma pakaian yang dikenakan. SPG tentu harus modis dengan bahasa tubuh dan lisan yang sudah dipermak ketika pelatihan. Sementara peminta-minta punya jurus sendiri. Tampil dengan pakaian apa adanya dan cenderung menimbulkan keterenyuhan dan rasa simpati mendalam.

“Lalu di mana kesamaannya?” Tanya saya.
“sama-sama meminta-minta. SPG minta waktu, pengemis minta sedekah” jawab teman saya.
Saya tidak tahan untuk tidak tertawa dengan jawaban teman saya. Benar juga apa yang di katakannya. Mereka memang ‘sama tapi tak serupa’.
“kita juga sama dengan mereka” ujar saya
“loh, kok sama?” Tanya teman saya heran.
“kita sama-sama minta maaf” jawab saya.

Kami diam. Lantas serentak lagi tertawa. Tanpa komando.

21 11 2013. Bivak Emperom