Kesenian Banda Aceh yang pernah mencapai masa-masa kejayaan
beberapa dekade lalu, pelan-pelan meredup seiring makin melemahnya posisi
organisasi kesenian yang mewadahi seniman. DKB khususnya. Kepengurusan yang
berlansung tanpa control menjadikan DKB berjalan ditempat. Seniman bagai
kehilangan induk semang untuk sesekali berkumpul mendiskusikan wacana
berkesenian.
Berlansung di Sanggar senirupa 55, acara Dialog Senirupa
dengan tema ‘Aceh Fine art today’, akhirnya berhasil diadakan dengan
penyelenggara DKB melalui komite senirupanya. Acara yang berlansung lancar ini
menghadirka dua narasumber dari perupa
Aceh yang sudah tidak asing lagi. Said Akram dan Reins Asmara.
Dedi Kalee dalam mukaddimahnya mengatakan, Sanggar senirupa
55 siap menjadi tuan rumah untuk keberlansungan senirupa Aceh secara umum dan
Banda Aceh secara khusus. Sebagai ketua komite senirupa DKB baru, mengucapkan
terima kasih atas kesediaan teman-teman seniman untuk hadir meramaikan dialog.
Dialog awalnya berlansung agak beku itu akhirnya mencair.
Hal itu diakui Said Akram karena, kebiasaan diskusi seniman lintas cabang seni
sudah jarang diadakan. “Sehingga terlihat seakan-akan ada jurang pemisah antara
sesama seniman. Padahal, kita kurang bersilaturahmi untuk memadatkan wacana
seni” ujar Said.
Dalam materi yang disampaikan secara santai ini, Said Akram
mengatakan, Banda Aceh sebagai sebuah kota yang sedang giat mempromosikan
wisatanya, tentu sudah wajib melirik senirupa sebagai dagangan. Namun hal ini
tidak akan menjadi kenyataan selama infrastruktur senirupa belum ada. Di
antaranya, Galery yang refresentatif, Kritikus seni, curator, pengamat seni dan
penulis lepas yang berkhidmat pada kesenian.
Pak Emy dari sanggar Lempia mengawali tanggapan kondisi
kesenian terkini dengan mengatakan ego sektoral
antar pekerja seni masih kuat sekali. Tak ada saling dukung. Yang ada
saling tikam. “ini yang harus kita ubah, agar kita bisa maju dan tidak lagi
nafsi-nafsi” ujarnya dengan suara khas.
Banyak keluh seniman terungkap dalam dialog yang diadakan
tanggal 5 Maret 2014 itu. Salah satunya Oleks. Kartunis yang sekarang menjadi
disainer salah satu rumah percetakan ini mengungkapkan senirupa tidak akan
berkembang selama budaya senior-junior masih menjadi penghalang untuk
berdiskusi, publikasi karya. Menurutnya, senior cenderung memandang rendah
junior. Ini menjadi penghalang besar bagi junior untuk tampil.
Dalam tanggapannya, Said Akram mengatakan, tabir yang
menghalangi pembauran seniman senior-junior itu akan hilang manakala seringnya
diskusi dilakukan semacam dialog seni. Baginya, makin banyaknya diskusi, makin
sehatlah persaingan dan penghargaan atas keberbedaan. “dalam bahasa yang
sedikit rumit, sebelum menjadi seniman,” seseorang harus terlebih dahulu
‘memanusiakan’ diri agar mampu bijaksana” ia menanggapi Oleks.
Sementara Joel Jroh dalam sesi Tanya jawab memberi tanggapan
atas kondisi perkesenian Banda Aceh mengatakan, seni tidak hanya berhenti pada
seni murni semata. Tapi melingkupi seni yang sifatnya komersiil. Yang akan
mampu memberi keuntungan financial bagi pekerja seni. “Di sinilah butuh seorang
imam yang mampu memersatukan seniman lintas sector untuk memacu dalam berkarya”
ungkapnya.
Menanggapi Joel Jroh, Said Akram mengatakan, seni bukan
hanya event atau semacamnya, seni adalah kegundahan si seniman terhadap
lingkungannya. Seniman yang hanya berada di menara gading meskipun punya skill
mumpuni, pelan-pelan akan dilupakan masyarakat.
Lebih lanjut, Said Akram mengatakan seni yang sedang
berjalan di Banda Aceh sifatnya masih berjalan meluas dan melebar tanpa bisa
disatukan dalam kebersamaan. Fungsi organisasi kesenian tidak berjalan.
Sehingga momen seni terjadi secara sporadis dan sesekali saja.
Diskusi yang berjalan 1,5 jam itu menyimpulkan bahwa, ke
depan akan memperbanyak forum diskusi tidak hanya senirupa. Tapi semua komite
yang ada di DKB akan mengadakan rangkaian dialog ini. Tujuannya untuk
merapatkan barisan dalam membangun kesenian yang lebih baik dan bernilai guna.
Bivak Emperom, 7
Maret 2014