Menikmati
karya perupa yang berpameran di Sanggar senirupa 55 beberapa waktu lalu,
seperti menikmati panorama keacehan dalam berbagai bingkai. bingkai politik dan
tokoh-tokohnya, masalalu Aceh yang megah, hingga bingkai religiusitas keacehan
yang terlihat mengental namun sedang tergerogoti.
Menikmati beberapa lukisan Reins Asmara contohnya, perupa yang mengaku sebagai perupa tiga provinsi ini menghadirkan karya berupa lukisan kapal angkatan laut kerajaan Aceh yang megah di masa lampau. kapal yang sedang berhenti hendak berlabuh itu dipasangi bendera merah dengan pedang di tengahnya. bagi saya, lukisan ini menyimpan misteri betapa kita gagap. antara terus maju mencapai masa depan atau tergiur dengan kemegahan masalalu yang belum mampu kita kembalikan.
Selain itu, Reins Asmara juga menghadirkan lukisan lain bernada sketsa. misalnya huru-hara pasukan gajah yang sedang menyerang Ka’bah. Lukisan ini diberi judul ‘tahun gajah’. Siluet burung Ababil dengan latar senja kemerah-merahan beserta batu api yang membombardir pasukan seakan mengisyaratkan betapa nafsu menguasai manusia atas manusia lain lahir dari keinginan yang membara. konflik Israel-Palestina juga digali oleh Reins Asmara. Reins yang sudah malang melintang di dunia senirupa, daya jelajah terlihat mapan dengan sapuan sekenanya, namun bermuatan makna filosofis.
Ketiadaan tema yang jelas, menjadikan pameran ini amat sulit untuk ditarik garis jelas sebagai simpul. Tema tujuh karakter hanya berangkat dari keberbedaan media. Motif penciptaan dan target rupa. Hanya semata-mata karena keberbedaan itu, masing-masing perupa memberangkatkan imajinya, yang tak semuanya melalui media kanvas.
Namun begitu, kehadiran beberapa karikatur tokoh karya Iswadi Basri membuat pameran ini menjadi renyah. Dalam satu panel, lukisan karikatur Irwandi Yusuf yang bergaya koboi dan memegang pistol yang dimoncongnya mengeluarkan bendera Partai Nasional Aceh itu, disandingkan dengan karikatur Muzakir Manaf. Ketua umum Partai Aceh itu nampak amat lelah walau terlihat santai terduduk di kursi kantor dengan bendera GAM dan Indonesia berkibar tegang di atas meja kerja. kita tahu, dua tokoh partai ini sedang menjadi rival dan bersaing merebut hati rakyat Aceh dalam pemilu mendatang.
Penyandingan dua tokoh yang menyedot perhatian massa ini secara simbolis mengisyaratkan keinginan perupa-dan kita semua- agar dua tokoh berpengaruh ini dapat secara rendah hati untuk kembali menyatukan persepsi perjuangan paska damai. Aceh akan lebih bermartabat jika ditangani oleh dua tokoh muda yang pengaruhnya membius massa.
Kemudian, dua bendera yang dipasang dengan kibar tegang seakan menyiratkan pesan bahwa hubungan Aceh-Jakarta belum alami ‘berkibar’ dalam konteks politik. Aceh dan Jakarta sama-sama keras kepala dengan prinsip masing-masing yang belum mendapat titik temu. Bendera misalkan, masalah ini berkali-kali menemui jalan buntu. Hingga akhirnya harus ‘rehat’ lewat jalan cooling down.
Menikmati beberapa lukisan Reins Asmara contohnya, perupa yang mengaku sebagai perupa tiga provinsi ini menghadirkan karya berupa lukisan kapal angkatan laut kerajaan Aceh yang megah di masa lampau. kapal yang sedang berhenti hendak berlabuh itu dipasangi bendera merah dengan pedang di tengahnya. bagi saya, lukisan ini menyimpan misteri betapa kita gagap. antara terus maju mencapai masa depan atau tergiur dengan kemegahan masalalu yang belum mampu kita kembalikan.
Selain itu, Reins Asmara juga menghadirkan lukisan lain bernada sketsa. misalnya huru-hara pasukan gajah yang sedang menyerang Ka’bah. Lukisan ini diberi judul ‘tahun gajah’. Siluet burung Ababil dengan latar senja kemerah-merahan beserta batu api yang membombardir pasukan seakan mengisyaratkan betapa nafsu menguasai manusia atas manusia lain lahir dari keinginan yang membara. konflik Israel-Palestina juga digali oleh Reins Asmara. Reins yang sudah malang melintang di dunia senirupa, daya jelajah terlihat mapan dengan sapuan sekenanya, namun bermuatan makna filosofis.
Ketiadaan tema yang jelas, menjadikan pameran ini amat sulit untuk ditarik garis jelas sebagai simpul. Tema tujuh karakter hanya berangkat dari keberbedaan media. Motif penciptaan dan target rupa. Hanya semata-mata karena keberbedaan itu, masing-masing perupa memberangkatkan imajinya, yang tak semuanya melalui media kanvas.
Namun begitu, kehadiran beberapa karikatur tokoh karya Iswadi Basri membuat pameran ini menjadi renyah. Dalam satu panel, lukisan karikatur Irwandi Yusuf yang bergaya koboi dan memegang pistol yang dimoncongnya mengeluarkan bendera Partai Nasional Aceh itu, disandingkan dengan karikatur Muzakir Manaf. Ketua umum Partai Aceh itu nampak amat lelah walau terlihat santai terduduk di kursi kantor dengan bendera GAM dan Indonesia berkibar tegang di atas meja kerja. kita tahu, dua tokoh partai ini sedang menjadi rival dan bersaing merebut hati rakyat Aceh dalam pemilu mendatang.
Penyandingan dua tokoh yang menyedot perhatian massa ini secara simbolis mengisyaratkan keinginan perupa-dan kita semua- agar dua tokoh berpengaruh ini dapat secara rendah hati untuk kembali menyatukan persepsi perjuangan paska damai. Aceh akan lebih bermartabat jika ditangani oleh dua tokoh muda yang pengaruhnya membius massa.
Kemudian, dua bendera yang dipasang dengan kibar tegang seakan menyiratkan pesan bahwa hubungan Aceh-Jakarta belum alami ‘berkibar’ dalam konteks politik. Aceh dan Jakarta sama-sama keras kepala dengan prinsip masing-masing yang belum mendapat titik temu. Bendera misalkan, masalah ini berkali-kali menemui jalan buntu. Hingga akhirnya harus ‘rehat’ lewat jalan cooling down.
Dalam pameran yang digelar dari tanggal 15 Februari hingga 15
Maret ini, Iswadi Basri menampilkan 5 Karikatur. Diantaranya dua tokoh, tiga
masyarakat biasa sepergaulan. Yang menarik, dalam satu panel lukisan Hasan Tiro
berbasis conte karya Agam Kamaruzzaman, bersanding dengan karya Iswadi Basri.
Karikatur Wadi menampilkan masyarakat biasa yang sedang mengenderai motor Astut
70 dengan ransel bermuatan alat lukis. Ya, itu karikatur dengan model yang juga
perupa muda dengan panggilan pergaulan, Loading. Dua individu yang ketenarannya
berbanding terbalik ini dalam ruang pameran ini bersanding, berbaur. Sekat
intelektual, kelas sosial, ide-ide bawaan dua individu ini seakan lekang
manakala disandingkan dan dimaknai secara simbolis. Dan kita tahu, seorang
Hasan Tiro tidak sebanding dengan siapapun di Aceh dalam soal keberanian,
ide-ide radikal yang mengguncang Jakarta dengan inisiasinya merebut kembali
Aceh dari cengkeraman Indonesia. Sementara Loading, mahasiswa terakhir jurusan
senirupa FKIP Unsyiah ini , hanya seorang perupa yang hari-harinya dihabiskan
melukis dan bergaul.
Karya conte di atas kertas karya Hardiyarsyah menampilkan Sultan
terakhir Aceh sebelum Belanda menguasai dalam, ikut meramaikan pameran
sederhana ini. Hadi yang juga dikenal sebagai pengusaha muda di bidang rumah
makan ini, menghadirkan dua tokoh masa lalu Aceh. Yang satu lagi diantaranya
Syiah Kuala. Karya realis Hadi beraroma kerinduan akan hadirnya kembali
tokoh-tokoh masalalu saat Aceh berada di masa puncaknya, di tengah bermunculan
secara massif tokoh-tokoh karbitan dalam dinamika Aceh kekinian. Agam
Kamaruzzaman, pelukis realis media conte juga terlibat dengan menghadirkan
karya tokoh Aceh seperti Teungku Hasan di Tiro, deklamator Aceh Merdeka.
Panorama Aceh juga cukup sederhana disajikan perupa Pontianak yang
sekarang bermukim di Aceh, Zul MS, S.Sn. Dengan media sketsa, Zul merekam Aceh
dari mercusuar Willem’s Toren hingga tugu nol kilometer Banda Aceh. Zul yang
belum lama di Aceh masih melihat Aceh dengan kasat mata. Dan masih mengurungkan
niat untuk menalari Aceh terlalu dalam. Pada masa-masa pengenalan ini, Zul
berdiri pada realitas objektif.
Aceh tanpa tokoh dan kita sebagai rakyat, hanya menjadi Aceh yang
hambar. Aceh tanpa kegelisahan kita sebagai anak kandungnya sama saja
membiarkan tanah ini digiring kemana suka. Ketokohan tanpa karakter yang
mengemuka tak lebih baik dari citra caleg yang menggantung di batang pohon.
Sekian.
Idrus bin Harun. Jama’ah Komunitas Kanot Bu, Banda Aceh.