Di SMA
dulu, ada seorang guru saya yang terkenal sekali di kalangan siswa. Namanya Anwar.
Guru antropologi kala saya masih kelas II dan Kelas III. Ia terkenal dengan
guyonan-guyonan yang sanggup memancing tawa sekelas. Semua siswa mengenal dia
tidak hanya karena guyonannya. Ia dikenal juga karena blusukannya khas Jokowi. Ia
bisa saja hadir di warung kopi kampung pedalaman dan semeja kopi dengan
perangkat desa. Kedatangannya itu tidak semata-mata untuk ngopi atau anjangsana
dengan perangkat desa. Lebih dari itu, ia hadir ke sana untuk memantau siswanya
siapa saja yang kerjanya nongkrong di warung kopi hingga ke tengah malam. Dalam
menjalankan aksinya, ia terkenal misterius. Hingga, untuk nongkrong terlalu
lama, kita was-was kedapatan dengan beliau.
Karena blusukannya
itu, ia dikenal banyak orang dari satu desa ke desa lain. Dari satu kecamatan
ke kecamatan lain. Hingga bahkan pak guru Anwar akrab dengan orang tua murid.
Di dalam
kelas, ketika proses belajar berlansung selain bermacam teori antropologi, ia
memberi contoh-contoh yang mudah ditemui dalam keseharian.
Saya ingat
betul. Seorang teman sekelas saya siswa pindahan dari Jakarta yang asli Aceh
pernah kena batunya. Ia dengan segala label kejakartaannya, tentu patut bangga.
Selain bahasa Indonesianya yang ‘lu-gue’
dia juga termasuk pria manis digandrung banyak adik kelas. Meskipun sedikit
kemayu, cewek-cewek berharap banget bisa
dipacari sama dia.
Tak heran,
sebagai seorang remaja yang sedang ingin pamer dan diperhatikan itu, teman
sekelas saya itu tingkahnya dalam kelas kadang berlebihan. Keluar masuk kelas
saat Pak Guru Anwar sedang memberi pelajaran. Hari itu, pelajaran terakhir
di jam satu lewat beberapa menit. Pak Guru Anwar yang sudah dari tadi tidak
hirau. Akhirnya membuka cerita tentang era milenium bagi kemajuan Aceh. ia
menjelaskan Aceh kelak (saat itu masih tahun 1999) akan maju. Di mana kemajuan
itu akan menghadirkan banyak keuntungan secara ekonomis bagi masyarakat. Misalnya,
kata dia dibangun tempat semacam Taman Mini Indonesia Indah. Di mana semua
acara dipusatkan di sana. Dan sudah pasti semua penjual musiman akan tumpah
ruah di sana menjajakan barang dagangannya. Kami tertegun mendengar deskripsi
tempat khayalan sang Anwar. Taman yang indah, air mancur, bangunan mewah, jalan
mulus, pagar yang rapi hingga tontonan-tontonan menarik.
“nanti,
kalau semua itu sudah ada dan menggelar pagelaran istimewa dimana semua orang
tumpah ruah hadir, barang dagangan akan laku. Dan semua akan menggunakan alat
tukar Dollar Amerika. Bayangkan anak-anak! Satu Balon saja bisa sepuluh dolar!”
ujarnya semangat. Kami tercengang membayangkan uang sebanyak itu. Karena menggunakan
alat bayar Dollar. Nilainya jadi lain. “Balon
Pe (balon isi gas, yang bisa melayang tinggi) misalnya. Itu jauh lebih mahal dari sekarang. Karena menggunakan gas
agar balon bisa terbang. Modalnya lebih mahal. Tentu, harganya bisa dua kali
lipat dari balon biasa” tambahnya. Balon pe
adalah balon yang diisi gas. Hingga ia
selalu mengapung di udara.
Tak ada yang
lucu dari ceritanya memang. Kami tetap dibuat terpingkal-pingkal oleh deskripsi
dan bahasa tubuh Pak Guru Anwar. Misalnya saat ia mempraktekkan seorang pembuat
balon yang sedang memompa angin dalam balon menggunakan pompa manual untuk
sepeda. Kemudian dia juga praktekkan cara seorang penjual balon gas menjajakan
dagangannya. Kami tertawa seisi kelas.
Namun,
teman sekelas saya yang pindahan dari Jakarta itu diam tak bereaksi. Ia pasang
wajah tidak senang. Namun, sebagai siswa kami tidak peduli dengan tingkahnya. Kami
tetap tertawa.
“bagaimana, wan? Sepertinya, profesi ini bisa mendatangkan keuntungan besar kelak” tanya
Pak Guru Anwar pada teman sekelas saya yang sedang pasang muka tidak senang
itu.
Wan diam
saja masih tak bereaksi. Kelas berlanjut hingga ke profesi penjual mie Aceh dan
penjual martabak. Di sini Anwar memperagakan bagaimana seorang penjual Martabak
memukul besi pemanggang dengan suara khas. Juga penjual mie memukul belanga
penggorengan dengan pukulan khas. Semua tertawa terbahak. Termasuk Wan yang
tadinya tak bereaksi. Cuma kali ini yang diam saja ketua kelas kami dan satu
teman saya lagi yang duduk persis di depan saya. Iwan namanya.
Wan yang
pindahan dari Jakarta itu ayahnya seorang penjual balon gas keliling. Ketua kelas
kami sekeluarga mengelola warung kopi dan mie aceh yang terkenal hingga
sekarang di Pidie Jaya. Sementara Iwan, ayahnya seorang penjual martabak paling
senior di pasar Meureudu. Ketiganya hari itu tak berkutik. Lucu bagi kami,
tidak asik sama mereka. Meskipun kami tahu Pak Guru Anwar tidak sedang berniat
untuk memojokkan siswanya. Ia hanya sedang memberi contoh tentang
potensi-potensi profesi. Di ujung pembelajaran siang yang panas itu, pak Guru
Anwar berpesan. “kemana pun kalian nanti merantau, jangan harap bisa bertahan
hidup kalau tak satu pun keahlian kalian kuasai” ungkapnya.
Ungkapan itu
amat terpatri di pikiran saya sampai sekarang.
Profesi apapun
sejauh mampu dikuasai dengan baik pasti menghasilkan uang. Tak ada perbandingan
tinggi –rendah, bersih-kotor, kumuh-rapi dan lain sebagainya. Dalam satu status
fesbuk saya beberapa hari lalu tentang kekalahan Capres nomor urut satu dengan
menggunakan kalimat begini, “dari Aceh kudengar
seekor kuda di Jakarta meringkik keras. lalu diam, mati.”
Seorang
komentator yang tidak saya kenal di dunia nyata menanggapi begini; “dia tdk akan mati..namun akan trus berjuang
mengungkap kecurangan tukang bakso”
Saya asik-asik saja. namun, penggunaan tukang
bakso di sini tentu diarahkan kepada Capres nomor urut dua. Jokowi. Selain karena
pembawaan Jokowi yang merakyat, juga sebagian tukang bakso di Aceh berasal dari
Jawa. Hingga dengan mudah ia melebeli Jokowi sebagai tukang bakso. Saya kira
tidak . namun apa hinanya seorang tukang bakso? Ini perlu penjelasan lebih
lanjut. Namun, setelah saya tanggapi, sampai sekarang ia tidak membalas
komentar saya. Dan saya tidak berniat melanjutkan untuk meminta konfirmasi
darinya.
Dalam satu status lain di wall teman fesbuk
saya yang lain. Ia meminta penjelasan pada seorang temannya yang mengata-ngatai
Jokowi sebagai presiden yang anaknya tukang meubel. Tentu, ini tindakan
emosional ketika membawa-bawa profesi orang tua yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan keberhasilan seorang anak. Apakah anak seorang kriminalis
tidak boleh jadi seorang perwira polisi asal lulus syarat? Anak seorang Teungku
tidak boleh jadi kepala sipir? Misalnya ayah saya seorang petani dan saya
seorang ilustrator mendatangkan malapetaka bagi saya? Bahkan seorang anak
koruptor tidak bisa dihambat jika ia bercita-cita jadi kepala KPK.
Tak ada profesi yang benar-benar lebih tinggi
dari profesi lain. Kita harus insaf benar dengan klaim-klaim sesat begini. Salam
aidil fitri!