senirupa

Sunday, November 30, 2014

Rumoh Aceh dan Mitigasi Alami

gampong lam jurong ingatan. sket saya sendiri
Gempa dan disusul Tsunami (dalam bahasa lokal disebut Smong) 26 Desember 2004 terlepas dari efek dahsyat yang ditimbulkannya, telah membuka tabir kesadaran baru bagi warga Aceh khususnya. Ini terlihat dari perkembangan kota Banda Aceh yang ramah bencana. Di Banda Aceh, kota yang dampak Tsunaminya parah, kini telah tersedia rambu jalur evakuasi dengan aspalnya yang mulus hingga ke kampung-kampung. Sistem peringatan dini telah ada di beberapa titik dan escape building juga telah tersedia.

Bisa dikatakan Aceh tersentak dengan bencana ini. Ketersentakan ini terlihat dari kacau balaunya jalur-jalur evakuasi, sistem peringatan dini yang waktu itu tidak ada, bangunan rentan bencana, pemerintah larut dalam pembangunan fisik yang menafikan kearifan lokal. Maka semua itu bermuara pada kalang kabut menangani korban. Sejarah bencana pasti ada di Aceh. Namun, yang tertulis tentu terbatas sekali. Hanya beredar dari tradisi lisan turun temurun seperti seni tutur Nandong di Simeulu. Nandong adalah syair penuh pesan yang hanya terdapat di Simeulu.  Aceh daratan kala tsunami menerjang adalah Aceh yang terus lelap dalam ketaksadaran mitigasi. Ditambah lagi saat itu tersandra dalam konflik bersenjata hingga Aceh kian sulit membangun untuk hal apa pun.

Selepas tsunami, kami di Aceh bagai terbangun dari tidur. Ternyata, bencana yang datang tak ubahnya sebagai penyempurna segala perih setelah sekian lama didera konflik bersenjata itu, banyak memberi pelajaran berharga bagi kami bahwa, harus ada sesuatu yang harus dipersiapkan untuk menghadapi bencana yang sifatnya datang tanpa memberi aba-aba. Jatuh banyaknya korban jiwa adalah salahsatu ketaksiapan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi bencana tersebut.

Pada dasarnya, untuk menghadapi gempa sebesar 26 Desember 2004 lalu, nenek moyang kami telah meninggalkan pusaka yang amat berharga dalam bentuk rumah panggung berkonstruksi seluruhnya dari material alami dan dirakit dengan teknik non pemakuan. Rumah itu kami sebut “Rumoh Aceh”. Rumah yang mengutamakan semangat keleluasaan yang terlihat dari banyaknya ventilasi itu, semua menggunakan teknik ikat tali dan pasak  (Bajoe dalam Bahasa Aceh) untuk setiap tiang penyangga.

Berdasarkan analisis struktur, Rumoh Aceh pernah diuji secara laboratorium melalui miniatur kecil dan perhitungan SAP 2.000. Widosari (2010), dalam Local Wisdom-Jurnal Ilmiah Online 'Mempertahankan Kearifan Lokal Rumoh Aceh dalam Dinamika Pasca Gempa dan Tsunami', hasilnya Rumoh Aceh mampu bertahan dari gempa karena struktur utama yang kokoh dan elastis.
“Kunci kekokohan dan keelastisan ini adalah pada hubungan antarstruktur utama yang saling mengunci, hanya dengan pasak dan bajoe, tanpa paku serta membentuk kotak tiga dimensional yang utuh (rigid),” tulisnya seperti dikutip okezone.com.Sehingga dengan demikian, jika sewaktu-waktu terjadi bencana, maka, dengan mudah kami bisa menyelamatkan jiwa sekaligus bangunan tempat mendiami.
Rumah yang tidak tersekat-sekat menjadi ruang-ruang menyempitkan penghuni itu, seluruhnya tidak menjadikan tanah sebagai lantai. Hingga ketika banjir melanda, kami bisa terbebas dari genangan. Inilah rumah yang cocok di segala tempat. Baik di pesisir maupun di perbukitan. Dan di sana, kami anak-anak bisa bermain tanah di kolong rumah tanpa perlu takut tersengat panasnya matahari. Dan ibu kami dapat mengawasi kami sambil menganyam tikar.

Namun, itu dulu. Selepas tsunami. Saat BRR masuk dan membawa serta ratusan NGO luar (sebelumnya Aceh tertutup untuk siapa pun dan demi kepentingan apapun), Aceh dibangun sedemikian rupa. Dari fisik sampai mental. Dalam masa penuh kepanikan, pemerintah Indonesia yang sebelumnya menutup komunikasi apa pun tentang Aceh, kalang kabut membangun Aceh. demi martabat NKRI dan marwah di mata dunia internasional, pemerintah tergesa-gesa membangun kembali Aceh secara fisik. Rumah bantuan misalnya.

Saya yang menempati rumah bantuan hasil kontrakan di Banda Aceh tepatnya di Emperum (wilayah yang parah terkena terjangan tsunami), merasakan sendiri bagaimana kondisi rumah yang saya sewa seharga 4 juta perbulan itu. Rumah bermaterialkan batu bata ini, dari segi kerapian sama sekali jauh dari baik, apa lagi sempurna. Kemudian, kayu untuk kusen dan pintu digunakan kayu muda hingga ketika mengering, ada yang bengkok dan pintunya merenggang. Beberapa kali gempa baru-baru ini, rumah ini retak di dindingnya. Dan dinding sebelah kiri rumah bengkok. Hanya saja, untuk rangka atap, rumah ini menggunakan material alumunium ringan. Sehingga kami tidak was-was jika saja gempa.

Jika saja pemerintah membangun kembali Aceh dengan memberi rumah bantuan dalam bentuk “rumoh Aceh” yang sederhana, maka dipastikan saya kira ini sangat membantu menjauhkan dari trauma masyarakat terhadap gempa yang akhir-akhir ini kerap terjadi. Material kayu yang digunakan untuk konstruksi rumah Aceh sederhana itu, saya kira tidak membutuhkan kayu selayak untuk rumoh Aceh asli.

Trauma dan kualitas konstruksi rumah bantuan saling terkait menurut saya. Gempa yang amat sering membuat masyarakat tidak percaya pada rumah sendiri mampu menahan gempa. Rumah beton tidak menjamin kuat. Malah bisa tertimpa dibuatnya. Nah, rumah Aceh yang bermaterialkan kayu dan non pemakuan, setidaknya mampu mengikuti ritme gempa karena semua tiang penyangga menggunakan teknik bajoe atau pasak. 

kembali pada konstruksi berbahan alam adalah keniscayaan di tengah serbuan dan godaan material moderen. Sayangnya, di tengah kuatnya arus back to local wisdom, harga material kayu melangit dan sulit didapatkan. isu illegal logging membuat masyarakat takut menggunakan kayu sebagai bahan rumah. ini kesialan saya kira. hutan yang kita miliki tapi kayu diekspor keluar dan dinikmati orang luar. luar biasa dilema. 

Banda Aceh, 30 November 2014. 
.