gampong lam jurong ingatan. sket saya sendiri |
Bisa
dikatakan Aceh tersentak dengan bencana ini. Ketersentakan ini terlihat dari
kacau balaunya jalur-jalur evakuasi, sistem peringatan dini yang waktu itu
tidak ada, bangunan rentan bencana, pemerintah larut dalam pembangunan fisik yang menafikan
kearifan lokal. Maka semua itu bermuara pada kalang kabut menangani korban. Sejarah
bencana pasti ada di Aceh. Namun, yang tertulis tentu terbatas sekali. Hanya
beredar dari tradisi lisan turun temurun seperti seni tutur Nandong di Simeulu. Nandong
adalah syair penuh pesan yang hanya terdapat di Simeulu. Aceh daratan kala tsunami menerjang adalah
Aceh yang terus lelap dalam ketaksadaran
mitigasi. Ditambah lagi saat itu tersandra dalam konflik bersenjata hingga Aceh
kian sulit membangun untuk hal apa pun.
Selepas tsunami, kami di Aceh bagai
terbangun dari tidur. Ternyata, bencana yang datang tak ubahnya sebagai
penyempurna segala perih setelah sekian lama didera konflik bersenjata itu,
banyak memberi pelajaran berharga bagi kami bahwa, harus ada sesuatu yang harus
dipersiapkan untuk menghadapi bencana yang sifatnya datang tanpa memberi aba-aba.
Jatuh banyaknya korban jiwa adalah salahsatu ketaksiapan masyarakat dan
pemerintah dalam menghadapi bencana tersebut.
Pada dasarnya, untuk menghadapi gempa
sebesar 26 Desember 2004 lalu, nenek moyang kami telah meninggalkan pusaka yang
amat berharga dalam bentuk rumah panggung berkonstruksi seluruhnya dari
material alami dan dirakit dengan teknik non pemakuan. Rumah itu kami sebut
“Rumoh Aceh”. Rumah yang mengutamakan semangat keleluasaan yang terlihat dari
banyaknya ventilasi itu, semua menggunakan teknik ikat tali dan pasak (Bajoe dalam
Bahasa Aceh) untuk setiap tiang penyangga.
Berdasarkan analisis struktur, Rumoh Aceh pernah diuji secara
laboratorium melalui miniatur kecil dan perhitungan SAP 2.000. Widosari (2010),
dalam Local Wisdom-Jurnal Ilmiah Online 'Mempertahankan Kearifan Lokal Rumoh
Aceh dalam Dinamika Pasca Gempa dan Tsunami', hasilnya Rumoh Aceh mampu
bertahan dari gempa karena struktur utama yang kokoh dan elastis.
“Kunci kekokohan dan keelastisan ini adalah pada hubungan
antarstruktur utama yang saling mengunci, hanya dengan pasak dan bajoe, tanpa paku serta membentuk kotak
tiga dimensional yang utuh (rigid),” tulisnya seperti dikutip okezone.com.Sehingga dengan demikian, jika sewaktu-waktu terjadi
bencana, maka, dengan mudah kami bisa menyelamatkan jiwa sekaligus bangunan
tempat mendiami.
Rumah yang tidak tersekat-sekat menjadi
ruang-ruang menyempitkan penghuni itu, seluruhnya tidak menjadikan tanah
sebagai lantai. Hingga ketika banjir melanda, kami bisa terbebas dari genangan.
Inilah rumah yang cocok di segala tempat. Baik di pesisir maupun di perbukitan.
Dan di sana, kami anak-anak bisa bermain tanah di kolong rumah tanpa perlu
takut tersengat panasnya matahari. Dan ibu kami dapat mengawasi kami sambil
menganyam tikar.
Namun, itu dulu. Selepas tsunami. Saat
BRR masuk dan membawa serta ratusan NGO luar (sebelumnya Aceh tertutup untuk siapa
pun dan demi kepentingan apapun), Aceh dibangun sedemikian rupa. Dari fisik
sampai mental. Dalam masa penuh kepanikan, pemerintah Indonesia yang sebelumnya
menutup komunikasi apa pun tentang Aceh, kalang kabut membangun Aceh. demi
martabat NKRI dan marwah di mata dunia internasional, pemerintah tergesa-gesa
membangun kembali Aceh secara fisik. Rumah bantuan misalnya.
Saya yang menempati rumah bantuan hasil
kontrakan di Banda Aceh tepatnya di Emperum (wilayah yang parah terkena
terjangan tsunami), merasakan sendiri bagaimana kondisi rumah yang saya sewa
seharga 4 juta perbulan itu. Rumah bermaterialkan batu bata ini, dari segi
kerapian sama sekali jauh dari baik, apa lagi sempurna. Kemudian, kayu untuk
kusen dan pintu digunakan kayu muda hingga ketika mengering, ada yang bengkok
dan pintunya merenggang. Beberapa kali gempa baru-baru ini, rumah ini retak di
dindingnya. Dan dinding sebelah kiri rumah bengkok. Hanya saja, untuk rangka
atap, rumah ini menggunakan material alumunium ringan. Sehingga kami tidak
was-was jika saja gempa.
Jika saja pemerintah membangun kembali
Aceh dengan memberi rumah bantuan dalam bentuk “rumoh Aceh” yang sederhana,
maka dipastikan saya kira ini sangat membantu menjauhkan dari trauma masyarakat
terhadap gempa yang akhir-akhir ini kerap terjadi. Material kayu yang digunakan
untuk konstruksi rumah Aceh sederhana itu, saya kira tidak membutuhkan kayu
selayak untuk rumoh Aceh asli.
Trauma dan kualitas konstruksi rumah
bantuan saling terkait menurut saya. Gempa yang amat sering membuat masyarakat
tidak percaya pada rumah sendiri mampu menahan gempa. Rumah beton tidak
menjamin kuat. Malah bisa tertimpa dibuatnya. Nah, rumah Aceh yang
bermaterialkan kayu dan non pemakuan, setidaknya mampu mengikuti ritme gempa
karena semua tiang penyangga menggunakan teknik bajoe atau pasak.
kembali pada konstruksi berbahan alam adalah keniscayaan di tengah serbuan dan godaan material moderen. Sayangnya, di tengah kuatnya arus back to local wisdom, harga material kayu melangit dan sulit didapatkan. isu illegal logging membuat masyarakat takut menggunakan kayu sebagai bahan rumah. ini kesialan saya kira. hutan yang kita miliki tapi kayu diekspor keluar dan dinikmati orang luar. luar biasa dilema.
Banda Aceh, 30 November 2014.
.