senirupa

Thursday, December 9, 2010

surat buat tungku (maaf tungku, kami tidak ikut berperang)



Abdullah Syafi'i

 (untuk Tgk Abdullah Syafi'i, semoga Allah beri beliau keluasan kubur dan dibukakan pintu Surga)

Maaf tungku, lebih berapa tahun yang lalu kami tidak ikut berperang melawan apa yang tungku lawan, mungkin saat itu, apa yang tungku lawan berbeda dengan yang kami lawan. Saat itu, tungku menenteng senjata ke mana-mana dan siap tungku ledakkan kalau tungku berpapasan dengan musuh tungku. Tungku diberi sedikit keberanian lebih dikarenakan tungku punya senjata otomatis. Tungku tinggal mengokang dan meledakkannya jika tungku berminat. Sementara kami dan tetangga kami sekampung tidak segagah tungku dalam menghalau musuh yang coba memasuki area yang tungku kuasai. Musuh kami terlalu abstrak.Bermain-main tak jauh dari kami tiarap manakala senjata menyalak. Musuh kami cerdik sekali tungku, entah taktik apa yang dia kuasai, sehingga mampu menguasai batin dan pikiran kami. Menghilangkannya dari hati sulit sekali walau tahun-tahun itu sudah lama berganti. Trauma itu menjajah kami seperti orang-orang yang menjajah kita dalam politik dan ekonomi.

Maaf tungku, kami tidak ikut berperang. Kami mendapati sejarah tak lebih sehimpunan cerita pendek yang selalu berakhir mengambang. Walau di awal-awalnya mendebarkan.
gampong lam jurong ingatan (drawing pen on A4. idrus bin harun)

Kami sering membayangkan kelak perang bakal berkecamuk kembali, rumah-rumah dan sekolah akan kembali jadi abu. Anak-anak kita kembali harus mengistirahatkan otaknya untuk waktu yang cukup lama. Guru-guru bakal menganggur,
dengan harap-harap cemas, pendidikan kembali ditakdirkan ambruk. Maka tak heran jika hari ini jarang kita hasilkan orang waras lepasan sekolah. Meskipun berderet titel, kontribusi mereka kepada kami, bisa dihitung dengan jari. Tapi tungku tak perlu cemas akan semua ini, semua akan baik-baik saja. Semakin banyak orang bodoh, semakin mudah meyakinkan sesuatu untuk kepentingan politis.

Maaf tungku, kami tidak ikut berperang. Walau kita tau kita tak pernah menolak untuk berperang walau dengan berbekal secarik hikayat lusuh penyemangat. Itu dulu, tungku. Dulu sekali sebelum bendera-bendera baru dikibarkan di angkasa kita yang akhir-akhir ini semakin tua warnanya, setua hasrat kita akan kemakmuran bersama.

Kemakmuran sedikit sekali yang bisa kita pahamkan maksud dan tujuannya. Sebab kata ‘makmur’ lebih akrab sebagai panggilan nama orang. Sementara ketika ada imbuhan ‘ke’ dan ‘an’, nasibnya menjadi lain, apalagi pencapaian ke arah itu seperti sesuatu yang absurd.

Begini tungku, ketika api konflik masih membara membakar kampung kita yang mulia, kita pikir harga mie instant melonjak karena jalur distribusi terganggu kontak senjata. Kita juga berpikir harga sebiji telur dari Medan jadi mahal karena konflik. Semua kita gara-garakan konflik. Karena alasan tersebut sangat layak diutarakan untuk menutup ketidakmampuan para pengambil kebijakan Negeri menekan harga. Sampai hari ini pun harga-harga masih saja belum mau turun dari angkasa, yang bisa dilakukan pemerintah hanya operasi pasar. Itupun kalau sedang sehat pikiran.

Maaf tungku, kami tidak ikut berperang. Hal ini juga dilatari oleh berbagai alasan. Hanya alasanlah pada hakikatnya yang membuat keputusan terlihat benar meskipun sedikit mengada-ada. Dengan beragam alasanlah negeri ini dibangun endatu kita dahulu, dan dengan berbagai alasan juga negeri ini kita robohkan sedikit demi sedikit, dengan menjualnya ke pemodal dari luar. Untuk hal remeh ini tentu saja kita tak harus berperang. Kalau perlu mencari peluang agar meraup keuntungan.

Tungku patut bersyukur telah berperang. Menegaskan garis pemisah antara tertindas dan penindas, antara keadilan dan ketidakadilan. Semua bersyukur atas perang itu, sehingga perdamaian betul-betul menjadi buah manis dari pohon peperangan. Dan karena perdamaianlah hari ini beberapa orang bisa menduduki posisi penting dan mengalami lonjakan besar dalam beberapa hal. Dan memimpin kami mengarungi samudera kehidupan yang samar-samar mengenal cuaca. Merekalah yang menahkodai kami menerobos rintangan dalam hidup yang semakin hari semakin berat saja. dari alam sana, tungku tak usah kwatir, hari-hari akan bekelebat cepat meninggalkan memori dalam keadaan penuh trauma. letup senjata, teror pemilu hingga prediksi perang saudara. tungku telah damai di sana. perdamaian di sini bagai lawak yang tidak lucu. sandiwara politik dimainkan sama sekali tidak terlatih. kita cenderung vulgar dan tak tahu malu, tungku. bendera partai berkibar dengan megah. di bawahnya, kami anak-anakmu berhimpun dalam wadah besar bernama partai. partai lokal, tungku. partai yang hanya ada di kampung kita. tungku tau sendiri. partai mana pun di bumi ini ada karena sebagian dari pengurusnya berminat sekali menjadi penguasa. syukur tungku tidak ikut terlibat di dalamnya. partai telah mengobrak-abrik kebersamaan yang dulu kita bangun susah payah semasa kita masih diinjak-injak.

Maaf tungku, kami tidak ikut berperang. hari-hari telah lewat dengan sempurna. almanak-almanak yang menandai seberapa panjang gerilya telah tungku jalankan, kini entah dimana. jejak para pembangkang diganti sepatu bersemir. kami tertidur dalam atmosfer demokrasi yang labil dan tak dapat diperkirakan. ruang perdamaian dipenuhi para oportunis yang untuk sekian kalinya meraup untung dari darah dan air mata kita. jejak sepatu lars masih membekas di punggung dan dada kami. kepingan trauma belum habis benar. kadang menghantui tidur dan makan malam kami. pun begitu, tungku tak perlu pilu. Aceh dirawat dengan airmata palsu pemerintahnya di Jakarta. kami tetap sesunggukan selamanya. Merdeka!

04 Desember 2010