senirupa

Saturday, July 26, 2014

Jokowi dan Profesi Ayah Kita


 
peminta-minta

Di SMA dulu, ada seorang guru saya yang terkenal sekali di kalangan siswa. Namanya Anwar. Guru antropologi kala saya masih kelas II dan Kelas III. Ia terkenal dengan guyonan-guyonan yang sanggup memancing tawa sekelas. Semua siswa mengenal dia tidak hanya karena guyonannya. Ia dikenal juga karena blusukannya khas Jokowi. Ia bisa saja hadir di warung kopi kampung pedalaman dan semeja kopi dengan perangkat desa. Kedatangannya itu tidak semata-mata untuk ngopi atau anjangsana dengan perangkat desa. Lebih dari itu, ia hadir ke sana untuk memantau siswanya siapa saja yang kerjanya nongkrong di warung kopi hingga ke tengah malam. Dalam menjalankan aksinya, ia terkenal misterius. Hingga, untuk nongkrong terlalu lama, kita was-was kedapatan dengan beliau.


Karena blusukannya itu, ia dikenal banyak orang dari satu desa ke desa lain. Dari satu kecamatan ke kecamatan lain. Hingga bahkan pak guru Anwar akrab dengan orang tua murid.

Di dalam kelas, ketika proses belajar berlansung selain bermacam teori antropologi, ia memberi contoh-contoh yang mudah ditemui dalam keseharian. 

Saya ingat betul. Seorang teman sekelas saya siswa pindahan dari Jakarta yang asli Aceh pernah kena batunya. Ia dengan segala label kejakartaannya, tentu patut bangga. Selain bahasa Indonesianya yang ‘lu-gue’ dia juga termasuk pria manis digandrung banyak adik kelas. Meskipun sedikit kemayu, cewek-cewek berharap banget bisa dipacari sama dia.

Tak heran, sebagai seorang remaja yang sedang ingin pamer dan diperhatikan itu, teman sekelas saya itu tingkahnya dalam kelas kadang berlebihan. Keluar masuk kelas saat Pak Guru Anwar sedang memberi pelajaran. Hari itu, pelajaran terakhir di jam satu lewat beberapa menit. Pak Guru Anwar yang sudah dari tadi tidak hirau. Akhirnya membuka cerita tentang era milenium bagi kemajuan Aceh. ia menjelaskan Aceh kelak (saat itu masih tahun 1999) akan maju. Di mana kemajuan itu akan menghadirkan banyak keuntungan secara ekonomis bagi masyarakat. Misalnya, kata dia dibangun tempat semacam Taman Mini Indonesia Indah. Di mana semua acara dipusatkan di sana. Dan sudah pasti semua penjual musiman akan tumpah ruah di sana menjajakan barang dagangannya. Kami tertegun mendengar deskripsi tempat khayalan sang Anwar. Taman yang indah, air mancur, bangunan mewah, jalan mulus, pagar yang rapi hingga tontonan-tontonan menarik.

“nanti, kalau semua itu sudah ada dan menggelar pagelaran istimewa dimana semua orang tumpah ruah hadir, barang dagangan akan laku. Dan semua akan menggunakan alat tukar Dollar Amerika. Bayangkan anak-anak! Satu Balon saja bisa sepuluh dolar!” ujarnya semangat. Kami tercengang membayangkan uang sebanyak itu. Karena menggunakan alat bayar Dollar. Nilainya jadi lain. “Balon Pe (balon isi gas, yang bisa melayang tinggi) misalnya. Itu jauh lebih mahal dari sekarang. Karena menggunakan gas agar balon bisa terbang. Modalnya lebih mahal. Tentu, harganya bisa dua kali lipat dari balon biasa” tambahnya. Balon pe  adalah balon yang diisi gas. Hingga ia selalu mengapung di udara.

Tak ada yang lucu dari ceritanya memang. Kami tetap dibuat terpingkal-pingkal oleh deskripsi dan bahasa tubuh Pak Guru Anwar. Misalnya saat ia mempraktekkan seorang pembuat balon yang sedang memompa angin dalam balon menggunakan pompa manual untuk sepeda. Kemudian dia juga praktekkan cara seorang penjual balon gas menjajakan dagangannya. Kami tertawa seisi kelas.

Namun, teman sekelas saya yang pindahan dari Jakarta itu diam tak bereaksi. Ia pasang wajah tidak senang. Namun, sebagai siswa kami tidak peduli dengan tingkahnya. Kami tetap tertawa.

“bagaimana, wan? Sepertinya, profesi ini bisa mendatangkan keuntungan besar kelak” tanya Pak Guru Anwar pada teman sekelas saya yang sedang pasang muka tidak senang itu.

Wan diam saja masih tak bereaksi. Kelas berlanjut hingga ke profesi penjual mie Aceh dan penjual martabak. Di sini Anwar memperagakan bagaimana seorang penjual Martabak memukul besi pemanggang dengan suara khas. Juga penjual mie memukul belanga penggorengan dengan pukulan khas. Semua tertawa terbahak. Termasuk Wan yang tadinya tak bereaksi. Cuma kali ini yang diam saja ketua kelas kami dan satu teman saya lagi yang duduk persis di depan saya. Iwan namanya.

Wan yang pindahan dari Jakarta itu ayahnya seorang penjual balon gas keliling. Ketua kelas kami sekeluarga mengelola warung kopi dan mie aceh yang terkenal hingga sekarang di Pidie Jaya. Sementara Iwan, ayahnya seorang penjual martabak paling senior di pasar Meureudu. Ketiganya hari itu tak berkutik. Lucu bagi kami, tidak asik sama mereka. Meskipun kami tahu Pak Guru Anwar tidak sedang berniat untuk memojokkan siswanya. Ia hanya sedang memberi contoh tentang potensi-potensi profesi. Di ujung pembelajaran siang yang panas itu, pak Guru Anwar berpesan. “kemana pun kalian nanti merantau, jangan harap bisa bertahan hidup kalau tak satu pun keahlian kalian kuasai” ungkapnya.

Ungkapan itu amat terpatri di pikiran saya sampai sekarang.

Profesi apapun sejauh mampu dikuasai dengan baik pasti menghasilkan uang. Tak ada perbandingan tinggi –rendah, bersih-kotor, kumuh-rapi dan lain sebagainya. Dalam satu status fesbuk saya beberapa hari lalu tentang kekalahan Capres nomor urut satu dengan menggunakan kalimat begini, dari Aceh kudengar seekor kuda di Jakarta meringkik keras. lalu diam, mati.

Seorang komentator yang tidak saya kenal di dunia nyata menanggapi begini; dia tdk akan mati..namun akan trus berjuang mengungkap kecurangan tukang bakso

Saya asik-asik saja. namun, penggunaan tukang bakso di sini tentu diarahkan kepada Capres nomor urut dua. Jokowi. Selain karena pembawaan Jokowi yang merakyat, juga sebagian tukang bakso di Aceh berasal dari Jawa. Hingga dengan mudah ia melebeli Jokowi sebagai tukang bakso. Saya kira tidak . namun apa hinanya seorang tukang bakso? Ini perlu penjelasan lebih lanjut. Namun, setelah saya tanggapi, sampai sekarang ia tidak membalas komentar saya. Dan saya tidak berniat melanjutkan untuk meminta konfirmasi darinya.

Dalam satu status lain di wall teman fesbuk saya yang lain. Ia meminta penjelasan pada seorang temannya yang mengata-ngatai Jokowi sebagai presiden yang anaknya tukang meubel. Tentu, ini tindakan emosional ketika membawa-bawa profesi orang tua yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan keberhasilan seorang anak. Apakah anak seorang kriminalis tidak boleh jadi seorang perwira polisi asal lulus syarat? Anak seorang Teungku tidak boleh jadi kepala sipir? Misalnya ayah saya seorang petani dan saya seorang ilustrator mendatangkan malapetaka bagi saya? Bahkan seorang anak koruptor tidak bisa dihambat jika ia bercita-cita jadi kepala KPK.

Tak ada profesi yang benar-benar lebih tinggi dari profesi lain. Kita harus insaf benar dengan klaim-klaim sesat begini. Salam aidil fitri!