senirupa

Sunday, August 2, 2015

Reins Asmara dan 100 tahun Museum Aceh

Di museum Aceh, Reins Asmara menggelar pameran lukisan serangkai dengan peringatan 100 tahun Museum Atjeh. Reins Asmara adalah perupa berumur 70 tahun asal Sumatera Utara yang beberapa tahun terakhir ini menetap di Aceh.

Karya Reins asmara sebanyak 25 lukisan digelar di sini setidaknya mewakili kondisi seratus tahun Aceh.

Perang, perubahan sosial budaya dan perdamaian terangkum di beberapa lukisan. Meskipun, Reins hanya fokus pada apa yang berlaku di 10 tahun terakhir ini. Tsunami adalah hal yang paling estetis ia ungkapkan. Ini terlihat dari satu lukisan berteknik ciprat minyak tanah yang dominan coklat. Lukisan tersebut  secara visual tak terlihat 'riuh' meskipun ia bicara satu momen kehilangan. "Ini lukisan untuk istri saya yang ikut hilang dalam bencana tsunami" ujar Reins.

Reins menjelaskan, Aceh menjadi akrab baginya karena momen kehilangan itu. Ia sadar, kehilangan mesti memilukan. Tapi, hidup harus dilanjutkan dengan tetap tabah dan tenang.

Setelah menetap di Aceh, ia total melukis. Selama ketersediaan kanvas dan cat ada, ia tidak akan tenang sebelum ia ungkapkan sesuatu. Sore itu, ketika saya datang ia tekun melukis wajah pengunjung tanpa sedikit pun terganggu dengan lalu lalang pengunjung.

Sementara itu, lukisan "tarian damai" adalah rasa syukur atas perdamaian Aceh yang sudah berjalan sedekade lebih. Dua merpati putih mengepakkan sayap lebar seperti menari senang. Perdamaian, walau tertatih-tatih merangkak di antara letusan bedil dan usaha menjerumuskan kembali Aceh ke liang konflik, harus dijaga dengan sebaiknya. Aceh butuh rehat setelah sekian lama 'dikerjai' empunya hajat.

Pameran ini hanyalah sisipan dalam acara di museum Aceh. Benda bersejarah dalam bentuk foto mendominasi. Bahkan di beberapa sudut, hanya dengan baliho besar sejarah dipamerkan. Seperti di gedung sebelah utara Rumoh Aceh. Di sana dipamerkan sejarah nasional dan didominasi baliho sebagai alat peraga. Hanya satu dua dalam bentuk benda.

Melihat arus informasi yang kencang saat ini, pola pamer museum Aceh mundur beberapa langkah. Di situs-situs web tertentu, kebutuhan foto sejarah seperti foto zaman kolonial, bertebaran dan gratis. Saya pikir, pendekatan kesenian semacam pameran rupa, perfomance art dan seni tutur mesti diberi ruang yang sedikit lebih luang lagi untuk mempermanis bagaimana sejarah disuguhkan dalam bentuk variatif. Tidak semua orang mungkin takjub pada keemasan Aceh yang tanpa foto seperti zaman Iskandar Muda. Mungkin senirupa bisa mendekatkannya kepada masyarakat.