senirupa

Wednesday, December 16, 2015

Teupin Pukat





Sungai masih menjulurkan lidahnya hingga ke muara. Angin men-dirui-kan walau hawa panas juga tak kurang. Di kuala, ombak piawai benar menari secara kolosal. Sepanjang pantai, selat Malaka memanggungkan gelombang tak habis-habis. Air krueng Meureudu selalu terjadwal pasang surutnya, Bagai agenda kerinduan yang dipuisikan sehabis berak.

Meureudu tumbuh. Merangkak hingga ke halaman meunasah gampong. Dari bineh paya, bayang Po Gade kadang berkelebat memastikan Nurhayati pulang setelah lelah melanglang buana. Po Gade telah pergi. Entah bisa kupuisikan sunyi yang ia tinggalkan di bineh paya itu. Bau lumpur, belantara nipah dan tanah yang tak pernah disambangi matahari.

Teupin Pukat terus memantaskan diri menyambut pembangunan yang diakal-akali. Wangi orde baru masih kentara dari pamflet bertuliskan "tamu wajib lapor 1X24 jam".

Aku tahu tak ada penyair yang bisa menggantikan deru angin laut saat siang mengibarkan terik di pucuk-pucuk galah nelayan. Bahkan seorang novelis dari kota juga tak akan mampu mendeskripsikan secara detil raut nelayan yang "woe soh".

Dari Pante Beureunee, sunyi jarang sampai ke Teupin Pukat. Warkop bang Li dan bang Min mendominasi malam hingga subuh, Saat boat-boat kecil melaut. Suara mesinnya yang memekakkan, kerap memecah fajar. Alunan azan dari Meunasah Balek menyempurnakan pagi kami di bineh krueng.

Singgah di sana dalam keadaan tak lagi kanak-kanak, sungguh terlalu. Karena krueng Meureudu selalu merayu.




Posted via Blogaway