(Cerita Idrus tidur.
Reza, Blang Oi.22 Oktober 2008)
Begitu kau lelap, aku berjingkat memanjat tumpukan bukumu. Barangkali kau pura-pura tidur. Maka raut wajahku seperti detektif picis di atas tumpuk buku itu. Tiba-tiba angin di luar menyergap menggerayangi suasana sepi menjadi tragis tak terkira. Tapi suara dengkurmu sepertinya mengisahkan resah. Aku telah sampai di puncak buku-bukumu, catatan-catatanmu. Lalu, bersama gemeretak atap rumah, bersama jam dinding yang malas berdetak, kepalaku tenggelam. mataku benam. Pada sebuah buku catatan, ada puisi di lembar pertama. Ada puisi di lembar kedua, ada puisi di lembar kelima. Sedang sebelumnya, puisi tetap saja. Lembar seterusnya tulisanmu adalah puisi aku kira. Seterusnya dan seterusnya. Puisi..puisi..ah puisi masih saja.
Maka setelah tamat dengan puisimu, aku beranjak turun dari dari tumpukan bukumu dengan langkah gemerisik. Di luar angin masih berkisah tentang badai dan petaka. Aku sampai di bawah.
Kudapati tetap saja lelap dengan nafas menggugah. Kau selimuti dadamu dengan kain sarung murahan bermotif petak-petak yang buruk rupa. Ah.. gaya tidurmu tak seindah puisi-puisimu di buku catatan itu. Entah bagaimana gaya tidurku nanti. Aku tidur di sampingmu saja. Dan malaikat melongok dari balik tirai jendela. Matikan lampu. Istirahatkankan nafsu. Aku imbangi dengkurmu dengan nafas kasarku.
REZA MUSTAFA.